08 September 2021, 21:00 WIB

Bangun Sistem Pencegahan Perundungan dan Pelecehan Seksual


Dhika Kusuma Winata |

MEMBANGUN sistem pencegahan perundungan dan pelecehan seksual di lingkungan kementerian/lembaga dinilai makin penting menyusul hebohnya dugaan kasus yang dialami seorang pegawai di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS. Kasus-kasus serupa dinilai banyak terjadi namun tidak muncul ke publik 

"Penting kita membangun sistem pencegahan di kementerian/lembaga untuk memastikan perundungan dan pelecehan seksual bisa dicegah. Ini kasus menjadi pelajaran penting, ada atau tidak, sebenarnya banyak kasus yang muncul tidak ada solusi," kata Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga dalam program Hot Room Metro TV bertajuk Merisak itu Merusak dipandu Hotman Paris Hutapea, Rabu (8/9).

Menurut Sandrayati, kasus dugaan perundungan maupun pelecehan seksual banyak terjadi di tempat-tempat lain namun tak ada solusi lantaran absennya mekanisme pencegahan maupun pengaduan yang bisa diandalkan.

Pada kasus pegawai KPI, MS, imbuhnya, Komnas pada 2017 memang menerima aduan melalui surat elektronik dan setelah dikaji mengarahkannya untuk melapor ke kepolisian karena menilai unsur pidananya kuat. MS melapor ke kepolisian namun disarankan menyelesaikan persoalannya ke atasan di KPI. Kuasa hukum MS saat ini melaporkan langsung dugaan kasus itu ke Komnas HAM.

"Kami koordinasi dengan kuasa hukum terduga korban dan komisioner KPI. Sudah memanggil kuasa terlapor dan mengirim surat ke KPI dan kepolisian untuk meminta keterangan. Mudah-mudahan mereka kooperatif," kata Sandrayati.

Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menilai dugaan kasus itu berlarut-larut. Pengakuan terduga korban perundungan serta pelecehan terjadi kurun 2011 hingga 2019. Pelaporan ke kepolisian juga tak mendapat tindak lanjut.

"Ini karena yang bersangkutan tidak punya kekuasaan. Kalau korban punya kekuasaan saya rasa bisa berlanjut ke proses hukum. Karena dianggapnya candaan saja tapi ini (diduga terjadi) sudah tahunan. Karena tahunan dianggap enteng," kata politikus Partai NasDem itu.

Dari sudut pandang masyarakat, Sahroni mengaku dugaan kasus itu ironis lantaran menyangkut nama institusi yang menjaga moral di lingkup penyiaran. Meski begitu, dia mengimbau semua pihak untuk tetap menunggu proses hukum.

"Kita tunggu saja. Kebenaran akan terwujud di persidangan. Sebagai masyarakat, saya melihatnya geli," ujarnya.

Kuasa hukum terlapor, Tegar Putuhena, membantah tudingan-tudingan yang disebutkan MS. Pihaknya juga akan melaporkan balik MS lantaran merasa sudah mencemarkan nama baik.

"Data pribadi klien kami disebar, foto keluarganya juga disebar. Kami ingin membuat laporan karena melawan bullying tidak boleh dengan bullying. Klien kami akan kooperatif tapi kami juga punya hak ada cyber bullying yang terjadi," ujarnya.

Adapun kuasa hukum MS, Rony E Hutahean, menegaskan yang dialami kliennya benar-benar terjadi. Ia mengatakan MS amat terdampak psikologis akibat dugaan tindakan perundungan dan pelecehan tersebut. Upaya ke Komnas HAM dan kepolisian saat ini akan dimaksimalkan.

"Kami berkeyakinan ini benar-benar terjadi terhadap klien kami. Akan kami perjuangkan. Intinya yang dialami (MS) tidak pernah direkayasa," ujarnya.

Pengamat hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menilai kelanjutan kasus hukumnya akan bergantung pada bukti-bukti dan saksi. Pasalnya, dugaan kejadiannya sudah tergolong lama. Ia menilai kasus itu perlu menjadi pelajaran untuk pencegahan ke depan.

Budayawan Sudjiwo Tejo menilai psikologi masyarakat saat ini negatif kepada KPI lantaran hanya kerap menyensor tayangan yang dianggap berbau seksual. Ketika muncul dugaan kasus MS, kata dia, tak heran masyarakat kemudian menilai miring KPI. (OL-8)

BERITA TERKAIT