RENCANA amendemen UUD 1945 diyakini tidak hanya terbatas pada keinginan MPR memasukkan pasal mengenai Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) saja. Pasalnya, keberadaan PPHN berimplikasi terhadap keberadaan pasal lainnya yang ada dalam konstitusi. Demikian diungkapkan Direktur Puskapol UI Aditya Perdana, Peneliti Formappi Lucius Karus, dan Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo dalam diskusi daring bertajuk ‘Siapa Butuh Amandemen?’, Minggu.
Lebih lanjut Ari menyebutkan, berbagai kalangan menyangsikan apabila amendemen konstitusi hanya dilakukan secara terbatas. Apalagi keberadaan PPHN nantinya berimplikasi terhadap kedudukan presiden sebagai pelaksana PPHN. “Presiden tidak lagi bertanggung jawab ke rakyat tapi MPR. Konsekuensinya bisa secara luas. Jadi PPHN merupakan pintu masuk merombak UUD secara umum,” ujarnya.
Baca juga: Pembatalan Dakwaan 13 Manajer Investasi Akibat Kecerobohan dan Tidak Profesional
Ia menjelaskan, seharusnya elite di MPR tidak terburu-buru mengusulkan amendemen UUD demi memasukkan PPHN. Apalagi keberadaan PPHN ini masih bisa diperdebatkan efektivitasnya bagi tujuan bernegara. “Tidak perlu PPHN, cukup mengacu ke pembukaan UUD 1945. Dan presiden dan UU hanya mengacu ke tujuan bernegara di Pembukaan UUD 1945,” tegasnya.
Dirinya khawatir amendemen konstitusi menjadi menjadi bola liar di tengah situasi pandemi covid-19 saat ini. “Jadi sangat berisiko,” pungkasnya.
Hal senada diungkapkan Lucius Karus yang menyebutkan tidak ada istilah dalam hukum di Indonesia mengenai klausul amendemen terbatas. “Tidak ada jaminan bahwa MPR hanya merevisi UUD 1945 terkait PPHN. Bisa juga melebar ke pasal-pasal yang lain,” ungkapnya.
Karena itu, tambahnya, masyarakat sipil perlu mewaspadai agenda amendemen yang diusulkan elite di MPR dan kemudian disetujui Presiden Joko Widodo ini. “Apalagi ada kemungkinan untuk mengubah masa jabatan presiden dan mengubah pemilu langsung menjadi tidak langsung,” jelasnya.
Masyarakat sipil
Sementara itu Aditya menyebutkan adanya kemungkinan agenda amendemen konstitusi bakal didukung banyak partai politik. “Walaupun sqat ini hanya 2 parpol yang setuju dan 6 lainnya menolak, bisa jadi berubah drastis tahun depan. Terutama kalau pemerintahan Jokowi berhasil mengatasi pandemi, ada kemungkinan amendemen didukung,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, problem serius dalam sistem politik saat di Indonesia saat ini yaitu elite, kelompok ekonomi, dan oligarki mensinergikan kekuatannya. “Sementara publik hanya dijadikan alat legitimasi aja,” jelasnya.
Karena itu, tambah Aditya, hal yang perlu mendapat perhatian ke depan yaitu bagaimana kelompok masyarakat sipil kritis yang bisa mengimbangi elite, oligarki, dan kelompok kepentingan ekonomi. Apalagi masyarakat sipil punya banyak keterbatasan dalam hal sumber daya. “Belum lagi ruang geraknya dibatasi yang membuat masyarakat sipil tidak mudah untuk berbeda suara dengan pemerintah atau negara,” ujarnya. (OL-6)