PAKAR hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar, menilai vonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Joko Tjandra dalam perkara suap pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) maupun penghapusan nama dari daftar pencarian orang (DPO) masih rendah. Seharusnya, lanjut Fickar, Joko dijatuhi hukuman sampai 20 tahun.
"Seharusnya hukuman lebih berat sampai maksimal 15 atau 20 tahun," ujar Fickar kepada Media Indonesia melalui keterangan tertulis, Senin (5/4).
Menurutnya, Joko selalu berusaha untuk membeli keadilan dengan sumber daya ekonomi yang dimilikinya. Hal tersebut dilakukan agar Joko terlepas dari hukumannya. Oleh sebab itu, ia menilai adalah hal yang wajar jika hakim memberikan vonis lebih berat ketimbang tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
"Sangat wajar jika hakim memutus melebihi dari tuntutan jaksa. Bahkan mungkin belum memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat," tandasnya.
Majelis hakim yang diketuai Muhammad Damis diketahui memvonis Joko dengan pidana penjara 4 tahun dan 6 bulan. Sebelumnya, JPU hanya menuntut hakim menjatuhkan hukuman 4 tahun.
Majelis hakim menyatakan Joko terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyuap mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan Dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejagung Pinangki Sirna Malasari sebesar US$500 ribu. Suap itu diberikan untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung.
Selain itu, Joko juga terbukti menyuap dua jenderal Polri, yakni mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo.
Sebanyak Sing$200 ribu serta US$370 ribu diserahkan ke Napoleon, sedangkan suap ke Prasetijo sebesar US$100 ribu. Suap yang dilakukan melalui perantara pengusaha Tommy Sumardi ditujukkan untuk penghapusan nama Joko dari DPO berdasarkan red notice dalam sistem ECS Direktorat Jenderal Imigrasi.
Vonis di Pengadilan Tipikor melengkapi hukuman yang dijatuhkan terhadap Joko setelah ditangkap di Kuala Lumpur, Malaysia, atas kerja sama Polri dan Polisi Diraja Malaysia pada 30 Juli 2020 lalu.
Sebelumnya, Joko juga sempat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas kasus tindak pidananya terkait surat jalan palsu. Dalam kasus tersebut, Joko divonis 2 tahun dan 6 bulan.
Kasus pemalsuan surat jalan itu bermula saat Joko yang masih berstatus buronan meminta Anita Kolopaking untuk melakukan upaya hukum PK ke PN Jakarta Selatan. Dalam hal ini, Joko meminta Anita mengatur segala urusan, termasuk kedatangannya ke Indonesia untuk mendaftarkan langsung PK-nya melalui Bandara Supadio, Pontianak pada 6 Juni 2020.
Pengurusan kedatangan Joko Tjandra tersebut dibantu oleh Prasetijo karena diminta oleh Anita untuk menyiapkan polisi di Pontianak yang dapat menemani Joko mencari rumah sakit untuk kelengkapan dokumen berupa surat rapid test bebas covid-19 dan surat keterangan sehat. (OL-8)