APARAT penegak hukum harus jeli dan tegas saat menangani kasus yang melibatkan mafia tanah. Termasuk dalam peradilan kasus pemalsuan sertifikat tanah di Cakung, Jakarta Timur.
Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Barita Simanjuntak mengingatkan hal ini agar kasus mafia tanah terbebas dari upaya rekayasa atau intervensi hingga persidangan.
"Saya kira masukan kepada penegak hukum khusus sengketa pertanahan, apalagi persoalan penipuan, itu tidak boleh hanya memegang bukti-bukti formal. Karena bukti-bukti formal banyak direkayasa," ujar Barita, Jumat (5/3)
Khusus untuk hakim diminta Barita teliti dalam upayanya menggali kebenaran. Hakim jangan hanya berpatokan pada bukti-bukti autentik tanpa mendengarkan sisi historis. Sebab dokumen autentik itu bisa saja dibuat dengan keterangan tidak benar.
Hakim juga harus tegas memutus pejabat yang terlibat kasus pertanahan, baik itu pejabat notaris atau pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Ia mendorog oknum yang terlibat kasus mafia tanah harus dihukum lebih berat.
"Kita mengharapkan hakim menggali kebenaran materil, tidak hanya berpedoman kepada bukti-bukti yang banyak merugikan masyarakat kecil soal kepemilikan tanah. Hakim harus teliti agar masyarakat kecil tidak jadi korban permainan mafia tanah," terangnya.
Barita menambahkan, mafia tanah kerap memanfaatkan ketidakpahaman dan ketidaktahuan masyarakat mengurus kepemilikan tanah. Karena itu, menurutnya, sanksi hukum bagi mafia tanah harus lebih diperberat.
Komisi Kejaksaan juga meminta mafia tanah diberantas dari hulu ke hilir. Sebab dia yakin kasus ini melibatkan suatu sindikat.
Oleh karena itu, begitu ada laporan penipuan soal tanah, penegak hukum harus cepat menanganinya hingga dan tak berlarut.
Sementara itu, pengamat hukum Pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad juga mengingatkan lembaga peradilan agar tetap independen. Hakim tidak boleh diintervensi oleh oknum-oknum ynag terlibat mafia tanah.
Suparji juga meminta penegak hukum teliti saat menangani kasus pertanahan. Karena dia yakin, semua pihak sebenarnya bisa menelusuri terbitnya sertifikat tanah palsu yang merupakan bukti kepemilikan tanah bagi orang yang tidak berhak.
“Semangat memberantas mafia tersebut harus otentik alias nyata, sekarang adalah momentum yang baik untuk merealisasikannya,” ujar Suparji.
Supardji juga berpendapat, komitmen pemberantasan mafia tanah oleh pemerintah adalah tugas bersama para penegak hukum, baik Polri, Kejaksaan, bahkan lembaga peradilan.
“Tidak bisa hanya membebankan pada Polri, semua harus berkolaborasi dan sinergi termasuk lembaga peradilan," ujarnya.
Sementara itu, Dirjen Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan ATR/BPN Agus Wijayanto mengakui, tanpa kerja sama dengan pihak kepolisian, kejahatan pertanahan akan lama atau sulit terungkap. Sebaliknya, dengan kerja sama dengan Polri, maka masalah pidananya bisa diselesaikan.
"Dan lebih lanjut, kalau terbukti ada pemalsuan dalam peralihan hak misalnya, secara administrasi BPN dapat membatalkan pendaftaran peralihan haknuya," tegas Agus.
Untuk diketahui, salah satu terdakwa pemalsuan sertifikat tanah di Cakung, Ahmad Djufri saat ini sedang menunggu sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ia dituntut 1 tahun 6 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Kasus pemalsuan sertifikat tanah di Cakung ini menyeret tiga orang tersangka, yakni mantan juru ukur BPN Jakarta Timur Paryoto, Benny Tabalujan dan Achmad Djufri.
Saat ini, Benny berada di Australia dan masuk daftar pencarian orang (DPO). (OL-8)