16 January 2021, 15:20 WIB

Jadikan Putusan DKPP Berhentikan Ketua KPU sebagai Bahan Evaluasi


Cahya Mulyana |

PUTUSAN Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengenai pemberhentian Arief Budiman dari jabatannya sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) mesti menjadi bahan evaluasi dan perbaikan seluruh lembaga penyelenggara pemilu. Untuk itu, semua pihak harus menahan diri dan tidak perlu berpolemik karena dapat mengikis kepercayaan publik terhadap mutu demokrasi.

"SPD menyayangkan kondisi saat ini terkesan ada kubu yang mendukung dan keberatan atas putusan DKPP. Padahal putusan dewan etik ini bersifat final dan mengikat," ujar peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Aqidatul Izza Zain pada diskusi bertajuk Ada Apa antara KPU dan DKPP?, Sabtu (17/1).
Hadir pula Koordinator Nasional Sekretaris Nasional (Seknas) JPPR Alwan Ola Riantoby dan Sekretaris Komite Pemantau Pemilu (KIPP) Kakak Suminta.

Menurut Izza, putusan DKPP harus dihormati dan menjadi bahan evaluasi besar-besaran penyelenggara pemilu. Terlebih lagi, persoalan etik sangat mendasar serta menjadi penentu mutu demokrasi.

"Sementara sejauh ini terkesan ada pihak yang tidak menerimanya dengan kemunculan sindiran juga meme. KPU dan DKPP tidak boleh seperti Tom and Jerry, (tokoh kartun dengan karakter tikus dan kucing)," ujarnya.

Meskipun putusan ini bersifat personal tapi sangat berpengaruh terhadap keseluruhan jajaran KPU. Untuk itu KPU mesti menjadikan putusan DKPP sebagai momentum perbaikan kelembagaan.

"Jadi harus dipisahkan juga ego pribadi dan kelembagaan. DKPP juga harus merefleksi perubahan paradigma etika penyelenggara pemilu. DKPP tidak boleh melihat etik dari satu sisi saja tapi juga dari sisi KPU dan lainnya," pungkasnya.

DKPP menjatuhkan sanksi kepada Arief Budiman melalui sidang etik terkait penerbitan surat yang berisi meminta anggota KPU Evi Novida Ginting Manik kembali aktif sebagai komisioner. "Memutuskan mengabulkan pengaduan pengadu untuk sebagian, menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir, dan pemberhentian dari jabatan ketua KPU kepada teradu Arief Budiman sejak putusan dibacakan," kata Ketua DKPP Muhammad.

Sebelumnya, Rabu (18/3/2020), DKPP telah memberhentikan tidak hormat Evi Novida sebagai anggota KPU masa jabatan 2017-2022. Adapun amar keempat putusan PTUN Jakarta pada Kamis (23/7/2020) pada intinya membatalkan keputusan DKPP atas pemberhentian Evi Novida merupakan putusan yang tidak dapat dilaksanakan sehingga tidak menjadi bagian dari keputusan presiden.

Arief Budiman diadukan ke DKPP dengan dalil aduan mendampingi/menemani anggota KPU nonaktif Evi Novida yang telah diberhentikan DKPP pada 18 Maret 2020 mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta. Pada pertimbangan yang dibacakan anggota DKPP Ida Budhiati, Arief dinyatakan melanggar kode etik sebagai penyelenggara pemilu.

Tindakan Arief yang menerbitkan surat nomor 663 dan meminta anggota KPU Evi Novida Ginting Manik aktif kembali sebagai anggota KPU periode 2017-2022 merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang sebagai ketua KPU. Menurut Ida, teradu terbukti melanggar Pasal 11 huruf a dan b juncto Pasal 15 huruf a, b, c, dan d juncto Pasal 19 huruf c, d, dan e Peraturan DKPP Nomor 2/2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.

"DKPP berpendapat teradu tidak lagi memenuhi syarat menyandang jabatan ketua KPU. Teradu sama sekali tidak punya dasar hukum memerintahkan Evi Ginting aktif kembali sebagai anggota KPU karena menurut hukum dan etika tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU berdasarkan putusan DKPP," ujar Ida.

Ida menambahkan tidak satu pun tindakan atau keputusan hukum Presiden sebagai dasar merehabilitasi atau mengembalikan Evi Novida sebagai anggota KPU, kecuali teradu selaku Ketua KPU menerbitkan surat KPU RI Nomor 665/SDM.13.SD/05/KPU/VIII/2020 tanggal 18 Agustus 2020 yang ditandatangani oleh Arief Budiman. (OL-14)

BERITA TERKAIT