PEBISNIS berbondong-bondong menempati posisi strategis di tingkat legislatif dan eksekutif. Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai ramainya posisi eksekutif dan legislatif diisi pebisnis karena alasan ganda. Pertama, mereka berniat untuk mengabdi kepada bangsa dan rakyat.
"Karena dengan menjadi pejabat, pengusaha politisi itu bisa berbuat banyak terutama pada level kebijakan. Idealnya begitu. Yang penting kebijakannya untuk rakyat banyak bukan untuk diri dan kelompoknya," jelasnya.
Kedua, kata Adi, belakangan memang terdapat kecenderungan pengusaha menjadi pejabat untuk menaikkan derajat dan kasta sosial mereka di mata publik. "Suka tidak suka, di negara ini pepsepsi publik terhadap pejabat itu wah sekali, penghormatan terhadap pejabat luar biasa," ujar Adi.
Namun, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berpendapat kepentingan pebisnis menjaga kelangsungan usaha lebih kuat, ketimbang berkhidmat dan melayani masyarakat.
"Dalam praktik yang saya amati selama ini para pengusaha yang masuk ke lembaga-lembaga publik, baik eksekutif maupun legislatif masih kental membawa kultur bisnis mereka ke dalam pekerjaan yang mereka jalankan," ujar Titi kepada Media Indonesia, Selasa (29/12).
Menurut dia, fenomena ini banyak menimbulkan banyak benturan kepentingan dan pada akhirnya berujung terjadinya tindak pidana korupsi. Beberapa dari mereka bahkan akhirnya terkena operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Titi mengatakan maraknya pebisnis mengisi jabatan strategis pemerintahan tidak lepas dari mandeknya kaderisasi partai politik. Padahal kaderisasi mampu memberi pemahaman utuh mengenai ideologi ataupun pemahaman atas tugas dan fungsi mereka sebagai pejabat publik.
"Banyak di antara pengusaha itu yang masuk lembaga legislatif dan eksekutif karena kekuatan modal yang mereka miliki," katanya.
Partai memberi lampu hijau bagi pebisnis untuk direkomendasikan ke ruang legislatif dan eksekutif juga akibat politik biaya tinggi. Mahalnya ongkos kontestasi membuat partai politik berlomba-lomba merekrut pengusaha untuk mengatasi persoalan biaya tersebut.
Sayangnya, partai politik mengimbanginya dengan desain pendidikan politik dan skema kaderisasi yang optimal bagi mereka yang berlatar belakang pengusaha.
"Makanya saat mereka menjabat, karakter sebagai pejabat publik yang mestinya menghindari benturan kepentingan tidak sepenuhnya terinternalisasi dengan baik oleh mereka yang berlatar pengusaha ini," pungkas Titi. (P-2)