22 February 2020, 07:00 WIB

Ribuan Orang Teken Petisi Tolak RUU Jahiliah


Indriyani Astuti |

RABU (19/2/2020), Olin Monteiro dan jaringan Perempuan Perdamaian Indonesia mengunggah petisi berjudul Stop RUU Ketahanan Keluarga di laman change.org.

Petisi Olin yang ditujukan kepada DPR itu disambut banyak dukungan. Hingga pukul 21.41 WIB tadi malam, 3.000 lebih warga menandatangani petisi yang menolak pengesahan RUU yang dinilai sangat jahiliah itu untuk menjadi undang-undang.

Christina Martini, seorang peneken petisi, menuliskan komentarnya, "Isi undang-undang yang aneh. Ketahanan keluarga itu merupakan tanggung jawab berdua, suami dan istri, dalam mengurus segala hal. Kalau gak sanggup mengurus semua hal berdua, gak usah berkeluarga. Hidup sendiri-sendiri saja, merdeka, bebas, tanpa tanggungan."

Dalam menanggapi keresahan publik atas RUU Ketahanan Keluarga yang sudah masuk Prolegnas Prioritas 2020, Wapres Ma'ruf Amin akan menugasi menteri terkait mengkaji kembali RUU dimaksud.

"Pemerintah melihat urgensi, bagaimana DPR memberi landasan berpikir dan bagaimana reaksi masyarakat," kata Wapres, kemarin.

Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, mengakui sejumlah pasal dalam RUU itu melanggar HAM karena mengatur hal privat warga negara. "Kami perta nyakan apa segitunya negara masuk ke ranah privat. Kalau sampai dianggap melanggar HAM, ya inkonstitusional."

Menurut Dini, sejumlah pasal dalam draf itu pun janggal karena menyentuh hal pribadi seperti  soal kewajiban anak laki dan perempuan tidak tidur dalam satu kamar.

Bahkan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menyebut RUU bersangkutan terlalu mengintervensi entitas keluarga sehingga tidak perlu ada.

"RUU ini mengabaikan HAM dan melegitimasi posisi perempuan sebagai tiyang wingking. Entitas keluarga tidak perlu diintervensi negara. Urusan internal keluarga, pola asuh anak, dan peran anggota keluarga bukan wewenang pemerintah," ungkap Rerie, sapaan akrab Lestari.

Rerie mencontohkan Pasal 77 (1) yang berbunyi, "Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memfasilitasi keluarga yang mengalami krisis keluarga karena tuntutan pekerjaan."

"Banyak persoalan bangsa yang lebih mendesak. Persoalan privat tidak perlu diatur oleh negara," tegas Rerie.

 

Masih jauh

Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi menilai RUU itu belum tentu lolos ke tahap pembahasan tingkat pertama karena masih menunggu persetujuan Panja Baleg.

MI/MOHAMAD IRFAN

Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi.

 

"Berdasarkan UU Nomor 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengusul RUU bisa perseorangan, fraksi, komisi, dan seluruh wakil rakyat. Namun, RUU ini masih harus dimatangkan di panja untuk dinilai poin-poin yang laik, dihilangkan, atau digabungkan dengan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak serta RUU Kependudukan dan Keluarga Nasional. Prosesnya masih jauh untuk menjadi UU. Masih harus masuk ke pembahasan tingkat I dan II. Namanya usulan belum tentu dibahas apalagi menjadi UU," kata Baido wi. (Dhk/Pra/Cah/Pro/X-3)

BERITA TERKAIT