29 March 2023, 05:00 WIB

Merayu Israel demi Palestina


Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group|Podium

img
MI/Ebet

PANDANGAN Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla soal perhelatan Piala Dunia U-20 sebenarnya menarik. Namun, boleh jadi sudah telat. JK menyebut ajang Piala Dunia Sepak Bola U-20 mestinya bisa menjadi momentum bagi Indonesia sebagai tuan rumah untuk mengajak Israel dan Palestina menuju meja perundingan.

Menurut Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia itu, Indonesia seharusnya bisa mengambil kesempatan tuan rumah Piala Dunia U-20 sebagai momentum upaya perdamaian Palestina dan Israel. Kedatangan tim nasional Israel dalam ajang FIFA itu mestinya bisa dibaca sebagai bukti peran aktif Indonesia dalam memperjuangkan hak bangsa Palestina untuk merdeka melalui jalur dialog untuk perdamaian kedua pihak.

Namun, yang semestinya kini tidak selaras dengan yang senyatanya. Jangankan menjadikan kesempatan tuan rumah Piala Dunia U-20 sebagai bagian dari amanat konstitusi untuk menciptakan perdamaian dunia, berbagai elemen di Tanah Air menolak mentah-mentah kehadiran timnas U-20 Israel yang sudah lolos kualifikasi dari zona Eropa.

Dua penolak Israel itu bahkan pejabat nomor satu di dua wilayah tempat Piala Dunia U-20 itu digelar: Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Keduanya kader PDIP. Keduanya mendasarkan penolakan atas amanat Bung Karno (yang dianggap 'bapak ideologis' PDIP). Presiden pertama Indonesia itu memang pernah memerintahkan agar Indonesia menolak bertanding melawan Israel dalam event olahraga karena menganggap negara di Teluk itu sebagai agresor.

Seperti yang pernah terjadi pada penghujung 1950-an. Ketika itu, ajang Kualifikasi Piala Dunia 1958 Zona Asia memasuki putaran kedua. Indonesia dapat dikatakan nyaris menyegel tempat di putaran final Piala Dunia di Swedia jika tidak ada intervensi politik internasional dalam konflik Israel-Palestina.

Saat itu, Indonesia berada di Grup 1 bersama Mesir, Sudan, dan Israel, tetapi tidak ada satu pun tim yang bersedia menghadapi Israel. Hal itu disebabkan Indonesia yang sedang mengumandangkan perlawanan terhadap neokolonialisme menganggap Israel sebagai penjajah Palestina.

Dalam wawancara dengan Historia, kapten timnas Indonesia saat itu, Maulwi Saelan, menyatakan bahwa menghadapi Israel sama saja dengan mengakui Israel sehingga ia mengikuti perintah Presiden Sukarno yang anti-Israel untuk tidak berangkat melawan Israel.

Namun, itu dulu. Geopolitik telah berubah. Negara-negara yang dulu gigih menolak menghadapi Israel dalam beragam event olahraga kini sudah mengubah pandangan politik mereka. Bahkan, mereka mulai paham bagaimana cara yang lebih pas 'merayu' Israel agar mau ke meja perundingan.

Mereka bahkan menggunakan olahraga sebagai 'alat' diplomasi, selain perdagangan. Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Yordania, Turki, dan Mesir, bahkan bukan tidak mungkin Libanon dan Iran, telah merintis jalan menyelami apa maunya Israel tanpa meninggalkan sokongan kepada Palestina. Negara-negara itu meyakini jalan dialog dan perundingan lebih efektif mewujudkan kemerdekaan Palestina.

Geopolitik di Timur Tengah justru sedang adem. Bara panas yang kerap mencapai titik didih kini sedang diikhtiarkan untuk disiram 'air diplomasi' yang sejuk, yakni jalur perdamaian. Apalagi, konflik antara Palestina dan Israel sudah berlangsung 70 tahun. Tiga kali di antaranya meledak menjadi perang besar, yakni 1948, 1967, dan Perang Yom Kippur 1973.

Ironisnya, setiap kali perang, wilayah Arab termasuk Palestina semakin banyak dikuasai Israel. Karena itu, jalan kemerdekaan bagi Palestina bukannya mendekat, yang ada malah menjauh, bahkan Palestina kian banyak kehilangan.

Dalam kondisi seperti saat itu, satu-satunya jalan yang terbaik untuk memperjuangkan dan memulihkan hak-hak bangsa Palestina ialah melalui jalan dialog menuju perdamaian. Itulah jalan yang kini dirintis di Timur Tengah dan diikuti sebagian besar kelompok perjuangan di Palestina, tapi ironisnya justru seperti ditolak di Indonesia.

Baik kiranya pandangan Jusuf Kalla untuk direnungkan. Dalam posisi geopolitik global seperti saat ini, yang harus diperkuat Indonesia ialah mengenal kedua pihak, Palestina dan Israel. Tujuannya agar dapat mendorong mereka maju ke meja perundingan yang adil dan permanen, apalagi Indonesia mengakui solusi dua negara merdeka yang hidup berdampingan secara damai: Palestina dan Israel.

Apalagi, JK sosok yang sahih untuk berbicara resolusi konflik, bicara agama, juga sepak bola. Ia juru damai berbagai wilayah konflik. Ia kini Ketum Dewan Masjid. Ia juga pernah mengelola klub sepak bola Makassar Utama.

JK, juga kita semua di Indonesia, pasti ingin melihat Palestina segera merdeka, diakui dunia, dan rakyatnya hidup dalam kedamaian. Kita, mestinya, juga anti terhadap segala bentuk politisasi kasus Palestina-Israel di ranah apa pun, lebih-lebih lagi di ranah olahraga.

BERITA TERKAIT
BERITA LAINNYA