25 March 2023, 05:00 WIB

Ruang Kritik


Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group|Podium

img
MI/Ebet

BANYAK orang mulai merasakan ruang kritik yang kian sumpek. Meskipun alam demokrasi semakin terbuka, tidak sedikit pejabat bersikap resisten terhadap kritik. Padahal, kritik dalam demokrasi merupakan manifestasi daulat rakyat.

Sesungguhnya, rakyatlah yang memberi kuasa kepada pemerintah. Seyogianya bila pemerintah, dalam berbagai tingkatan dan institusi, tidak tipis kuping terhadap kritik. Sekeras dan selantang apa pun kritik itu mestinya para pemimpin mesti berlapang dada. Tidak boleh ciut hati.

Maka, wajar belaka bila banyak yang kecewa saat ada kepala daerah baper ketika disapa dengan sebutan maneh atau 'kamu'. Sang kepala daerah mempersoalkan sapaan, bukan substansi kritik yang disampaikan. Ia baper. Terlalu sensitif.

Menyaksikan Muhammad Sabil Fadhillah, guru honorer di Cirebon, dipecat oleh yayasan tempat ia mengajar gara-gara mengkritik Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di Instagram, hati ini menjadi kecut. Sabil secara terbuka mengomentari unggahan video Ridwan Kamil saat pemberian hadiah kepada anak SMP yang patungan untuk membelikan sepatu bagi temannya.

Dalam komentarnya, Sabil menyoal jas warna kuning yang dikenakan Ridwan Kamil. Warna jas itu dinilai identik dengan warna Partai Golkar, tempat Ridwan Kamil menjadi pengurus di partai tersebut. Sabil lantas bertanya, dalam acara tersebut Ridwan Kamil berposisi sebagai Gubernur Jabar, kader Golkar, ataukah sebagai pribadi.

Dalam unggahan Instagram-nya, pria yang akrab disapa Kang Emil tersebut mengunggah video saat sedang melakukan zoom bersama siswa-siswi SMPN 3 Kota Tasikmalaya. Kemudian Sabil berkomentar dalam unggahan Ridwan Kamil.

“Dalam zoom ini, maneh teh keur jadi Gubernur Jabar ato kader partai ato peribadi @ridwankamil?" tulis @sabilfadhillah, yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan ia bertanya dalam zoom tersebut Ridwan Kamil menjadi gubernur atau kader partai atau pribadi.

Sontak, komentar Sabil langsung dibalas oleh Ridwan Kamil. "@sabilfadhillah ceuk maneh kumaha (menurut kamu gimana)?”

Selain memberi balasan, Ridwan Kamil juga memberikan pin pada komentar Sabil tersebut sehingga komentar tersebut berada di posisi teratas kolom komentar. Oleh sebagian warganet, komentar Sabil dinilai tak pantas karena menggunakan kata maneh yang dianggap tidak sopan.

Bersamaan dengan itu, beredar pula tangkapan layar yang memperlihatkan Emil mengirimkan bukti komentar dari Sabil melalui Direct Message (DM) Instagram ke akun SMK Telkom Sekar Kemuning, sekolah tempat Sabil mengajar. Tangkapan layar itu diunggah oleh akun Twitter @zanatul_91.

"Tidak pantas seorang guru seperti itu," tulis Emil setelah mengirim bukti komentar itu.

Pihak sekolah pun merespons dengan permohonan maaf atas nama institusi dan menyebut akan menindak Sabil secara tegas dan terukur. “Hatur nuhun. Sekolahnya jadi kebawa-bawa oleh netizen," balas Emil.

Hingga pada akhirnya, setelah berkomentar seperti itu, Sabil dipecat dari sekolah tempatnya mengajar. Jagat maya pun riuh. Pihak sekolah lalu menganulir keputusan pemecatan tersebut begitu kegaduhan mencapai titik didihnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Sabil menolak kembali. Ia memilih tetap di luar. Ia merasa tidak ada yang salah dari sikap kritisnya.

Saya menjadi ingat pernyataan seorang Indonesianist, William Liddle, dalam ceramahnya di Jakarta, empat tahun lalu. Liddle menyebut empat ancaman demokrasi dengan tindak pidana korupsi sebagai bahaya paling mengerikan bagi demokrasi. Namun, Liddle sepertinya luput memasukkan 'pembonsaian' kebebasan berpendapat sebagai ancaman yang tidak kalah berbahayanya bagi demokrasi kita.

Saat ruang kritik kian sempit, orang mulai bertanya ke mana keterbukaan pergi? Masih di jalur yang tepatkah demokrasi? Orang-orang mulai bercakap, "Kita ingin tempat di mana percakapan warga tidak dicurigai. Kita ingin tumbuh di tempat di mana akal sehat menjadi tuntunan."

Ada banyak cara kekuasaan mengepung pikiran kita. Namun, pikiran selalu bisa lolos. Apalagi, kalau yang terbentuk ialah kumpulan pikiran, bukan sekadar kumpulan orang. Demokrasi akan tetap mekar bila lalu-lalang yang terbentuk ialah lalu-lalang pikiran, bukan sekadar lalu-lalang tubuh.

Sabil ialah bagian kecil dari lalu-lalang pikiran itu. Ia membuka ruang kritis. Bila banyak Sabil lainnya, ruang kritis akan meluas kembali. Demokrasi berkecambah lagi. Akal sehat menjadi penuntun lagi.

BERITA TERKAIT
BERITA LAINNYA