25 February 2023, 05:00 WIB

Pengajian Ibu-Ibu


Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group|Podium

img
MI/Ebet

AWALNYA saya sempat mengamini pernyataan Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Megawati Soekarnoputri yang heran dengan kegiatan ibu-ibu pengajian. Sampai kemudian salah seorang sahabat meruntuhkan keyakinan saya soal itu.

Megawati menyampaikan pidatonya dalam acara 'Kick Off Meeting Pancasila dalam Tindakan: Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting, Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan, Kekerasan dalam Rumah Tangga, serta Mengantisipasinya.

“Saya lihat ibu-ibu tuh ya, maaf ya, sekarang kan kayaknya budayanya, beribu maaf, jangan lagi nanti saya di-bully kenapa toh senang banget ngikut pengajian. Iya, lho. Maaf beribu maaf. Saya sampai mikir gitu, ini pengajian sampai kapan to yo? Anake arep diapakke (anaknya mau diapakan)?" kata Mega di Jakarta, Kamis, 16 Februari 2023.

Ketua Dewan Pengarah BPIP ini menegaskan ia tidak mempersoalkan ibu-ibu mengikuti pengajian karena dirinya juga pernah ikut pengajian. Ia hanya berharap ibu-ibu tetap memperhatikan anak-anak mereka.

Megawati juga meminta Menteri Sosial Tri Rismaharini dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Puspayoga membantu membuat manajemen rumah tangga.

Pernyataan itu memang kontroversial. Namun, kata saya kepada sang teman, jangan-jangan ada kandungan kebenaran dari pernyataan itu. Apalagi, angka prevalensi stunting (hambatan tumbuh kembang) kita masih di kisaran 20%.

Jangan-jangan, kelalaian ibu-ibu itu memang terjadi karena padatnya jadwal mereka di luar rumah. Dalam hati saya juga ragu karena ibu-ibu di sekitar kehidupan saya yang aktif mengikuti pengajian tetap memiliki anak-anak yang sehat dan bugar. Anak mereka tidak ada yang kena stunting.

Ruang keraguan itulah yang 'dimanfaatkan' oleh sang teman untuk mendebat saya. Kata dia, pernyataan Presiden kelima Indonesia, itu bukan sekadar kontroversial, melainkan juga mengandung bias. Ada dua bias malah, yakni bias data dan bias gender.

Bias gender karena pernyataan itu secara tidak langsung hendak meneguhkan bahwa soal mengurus anak dan perkara domestik rumah tangga ialah wewenang perempuan. Ibu-ibu yang mengikuti pengajian itu sedang beraktivitas di rumah. "Namun, bukankah bentuk aktivitas di luar rumah bukan hanya pengajian?" tanya sang teman.

Ia menyodorkan fakta bahwa banyak perempuan pekerja itu juga beraktivitas di luar rumah. Malah waktunya lebih lama dan hampir setiap hari. Kalau aktivitas pengajian dituding menjadi biang kerok perlambatan tumbuh kembang anak, jangan-jangan nanti perempuan pekerja juga bisa jadi kambing hitam.

Bias kedua, soal data. Belum pernah ada riset atau data yang sahih yang menunjukkan bahwa aktivitas ibu-ibu pengajian berkorelasi terhadap ketelantaran anak-anak mereka. Yang ada malah sebaliknya, aktivisme itu kian memperluas jejaring ibu-ibu dengan komunitas beragam serta memperluas pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang tumbuh kembang anak.

Pernyataan teman itu mengingatkan saya akan penegasan penggagas Badan Kontak Majelis Taklim Jakarta, Tutty Alawiyah. Dalam sebuah kesempatan, ia mengatakan bahwa pengajian ibu-ibu majelis taklim tidak melulu bicara pengetahuan agama. Panggung pengajian juga diisi hal-hal terkait muamalah.

Materi yang tak kalah penting yang sering diajarkan di majelis taklim ialah tentang kemasyarakatan. "Kami mengajak jemaah majelis taklim untuk peka terhadap lingkungan sosialnya. Masalah kaum duafa, yatim piatu, hingga bagaimana menanggulangi kenakalan remaja dan mendorong pendidikan anak ialah soal yang kami bahas," kata tokoh Betawi yang kini sudah almarhum itu.

Dari situ, saya mencoba mendebat sang teman dengan mengutip pengakuan Megawati bahwa Bu Mega pernah mengikuti pengajian sehingga bisa dikatakan ia tahu persis isi pengajian ibu-ibu seperti apa.

Sang teman lalu menyergah. Ia mengatakan bahwa pernah ikut pengajian tidak berarti tahu semua tentang pengajian. Kata 'pernah' itu berbeda dengan 'aktif'. Orang yang 'pernah ikut' lalu menilai mereka yang 'aktif ikut' berpotensi tergelincir pada kesimpulan melompat. Sang penilai tidak tahu betapa besar dampak positif pengajian itu.

Perdebatan pun berakhir dengan gugurnya argumentasi saya akan kebenaran pernyataan bahwa rutinitas ibu-ibu mengikuti pengajian bisa berkontribusi dominan pada telantarnya anak-anak mereka. Saya pun mengucapkan selamat kepada teman saya itu, lalu kami berdua menyeruput kopi hitam yang tersaji di meja. Mak sruut….

BERITA TERKAIT
BERITA LAINNYA