04 February 2023, 05:00 WIB

Nilai Tambah


Abdul Kohar Dewan Redaksi Media Group|Podium

img
MO/Ebet

SAYA harus selalu angkat topi untuk menteri yang satu ini: Bahlil Lahadalia. Sebagai Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, ia tak pernah ngeles saat diberi target tinggi. Adrenalinnya justru menggelegak saat ia diberi tantangan.

Seperti tahun ini, 2023, saat dunia diliputi ketidakpastian, ia tertantang untuk membuktikan bahwa target realisasi investasi Rp1.400 triliun bukan misi mustahil.

Tahun lalu saja, saat ia dibebani target realisasi investasi Rp1.200 triliun, Bahlil dan jajarannya mampu merealisasikan target tersebut. Malah, terlampaui dengan capaian Rp1.207 triliun. Lebih besar Rp7 triliun.

Saat memberikan Kuliah Umum HUT ke-53 Media Indonesia, ia pun menyebutkan bahwa senjata andalannya ialah memaksimalkan hilirisasi. Baginya, hilirisasi bukan sekadar sanggup meraih nilai tambah, melainkan juga pancingan paling afdal mendatangkan investasi.

 

Dengan hilirisasi, para investor bakal berbondong-bondong karena ada 'mainan' baru.

Memang, kesadaran akan hilirisasi di kita agak terlambat. Padahal, kata ini sudah dikenalkan sejak puluhan tahun lalu. Mirip kata reboisasi, yang oleh generasi seusia saya sudah dikenalkan saat kami masih sekolah dasar.

Kami kerap diingatkan tentang pentingnya reboisasi. Awalnya, reboisasi bermakna penanaman kembali hutan-hutan yang gundul.

Lambat laun, karena kampanye reboisasi di era '90-an sebatas meriah di meja-meja kelas, diperdebatkan secara sengit di forum-forum seminar, dan jadi bahan pidato di mimbar-mimbar pejabat, makna reboisasi pun terpaksa meluas. Menjadi, 'penanaman kembali hutan-hutan yang digunduli'.

Kini, kampanye hilirisasi juga sangat meriah. Saat saya mengetikkan kata 'hilirisasi' pada kamus bahasa Indonesia daring, saya dituntun membuka kata 'penghiliran'. Maka, ketika saya ketikkan kata 'penghiliran', makna yang muncul ialah, 'proses, cara, perbuatan untuk melakukan pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai'. Sama dengan reboisasi, hilirisasi atau penghiliran ialah kata kerja. Karena itu, mestinya ya dikerjakan.

Namun, saya tidak hendak mengajak Anda berdebat soal kata. Yang pasti, penghiliran atau hilirisasi sudah terjadi di lapangan. Sudah berjalan, bahkan melampaui kata-kata. Walk the talk, istilah yang kerap dipakai.

Hilirisasi atau penghiliran bukan sekadar tekad dan kampanye. Hilirisasi sudah dimulai dengan menghentikan ekspor bahan mentah seperti bijih nikel mulai 1 Januari 2020. Hasilnya, ekspor bijih nikel berganti menjadi ekspor utuh besi baja (olahan dari bijih nikel mentah). Nilainya pun tidak main-main.

Saat bijih nikel diekspor mentah-mentah, nilai yang dihasilkan cuma sekitar US$3 miliar. Namun, begitu ekspor bijih nikel dilarang, nilai ekspor penghiliran nikel pun bisa mencapai lebih dari US$30 miliar. Ada nilai tambah hingga sepuluh kali lipat.

Itu baru dari satu komoditas. Padahal, pemerintah sudah menyusun peta jalan terhadap 41 komoditas yang layak dihilirkan hingga tahun 2040. Maka, bisa dibayangkan bakal berapa nilai tambah yang dihasilkan. Untuk mencapai ke titik itu, maka investasi pun terus digenjot.

Tidak salah mengapa kita ngotot agar bangsa ini bergegas melakukan penghiliran sumber daya alamnya? Padahal, ekspor bahan mentah selama ini menghasilkan devisa yang tidak main-main. Bijih nikel, misalnya, Indonesia menguasai 27% pasokan bijih nikel dunia.

Itu menjadikan Indonesia sebagai eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa. Itu sebabnya, banyak industri logam di Eropa sangat bergantung pada bahan mentah dari Indonesia.

Nilai ekspor bijih nikel Indonesia ke Uni Eropa juga meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat, ekspor bijih nikel Indonesia naik signifikan sebesar 18% pada kuartal kedua 2019 jika dibandingkan dengan periode yang sama di 2017. Sepanjang 2019, nilai ekspor nikel Indonesia mencapai US$1,7 miliar.

Kendati demikian, Indonesia selama puluhan tahun hanya mengekspor nikel mentah. Uangnya pun langsung masuk dalam jangka pendek. Namun, untuk jangka panjang, bangsa ini jelas merugi.

Tanpa hilirisasi, saat barang mentah itu sudah habis, kita akan bergeser menjadi konsumen yang harus membeli lagi bijih nikel yang sudah diolah negara tujuan ekspor itu dengan harga berlipat ganda. Dampaknya, cadangan devisa yang kita dapat dari hasil penjualan bijih nikel itu bakal habis untuk membeli lagi produk turunan nikel.

Apalagi, menurut para ahli, nikel merupakan mineral yang sangat berharga di masa depan karena pesatnya perkembangan kendaraan listrik. Nikel ialah salah satu logam terbesar dalam pembuatan baterai listrik. Ia bahan litium-ion, yang bisa diibaratkan jantungnya revolusi mobil listrik.

Maka, untuk jangka panjang, penghiliran bahan mentah kita ialah keniscayaan. Ia aset dan harapan cerah masa kini dan masa depan. Dengan mengolah bijih nikel menjadi feronikel, misalnya, harganya dapat meningkat dari US$55 per ton menjadi US$232 per ton, atau memberikan nilai tambah sekitar 400%.

Jadi, jangan pesimistis dengan hilirisasi karena ia dijalankan secara berbeda dengan saat awal-awal kampanye masif reboisasi. Hilirisasi sudah terjadi. Keputusan berani penghiliran nikel bukannya tanpa risiko. Gugatan keras Uni Eropa yang selama ini amat bergantung pada bijih nikel Indonesia ialah risiko yang tidak main-main atas keputusan berani tersebut.

Tapi, mengapa harus takut risiko. Tidak ada jalan yang mudah dan mulus untuk meraih kejayaan bangsa. Seperti kata sejarawan HG Wells. “Apa yang menentukan besar-kecilnya suatu bangsa?” Lantas ia simpulkan sendiri, bahwa, “Anasir terpenting yang menentukan nasib suatu bangsa ialah kualitas dan kuantitas tekadnya.”

Bangsa ini sudah bulat bertekad mengolah hasil buminya sendiri, dan itu tidak akan ditarik kembali. *

 

 

BERITA TERKAIT
BERITA LAINNYA