‘Jika kita tidak memberi makan orang, kita malah memberi makan konflik’.
SEKRETARIS Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres secara sinis mengatakan itu tengah pekan ini. Guterres seolah meneguhkan pandangan bahwa tidak ada isu yang mahapenting akhir-akhir ini selain soal perut. Tidak ada yang ‘seseksi’ isu perang dan makanan untuk dibincangkan.
Dari markas PBB di New York ia menyeru bahwa tidak terbantahkan lagi invasi Rusia di Ukraina menyulut krisis pangan global. Dengan pilu ia terpaksa menyatakan bahwa krisis pangan tersebut bisa berlangsung bertahun-tahun. Perang memperburuk krisis pangan di negara-negara miskin karena harus menaikkan harga.
Beberapa negara bahkan bisa menghadapi kelaparan jangka panjang jika tingkat ekspor Ukraina tidak kembali seperti sebelum invasi. Sebagai salah satu eksportir besar gandum untuk global, Ukraina menjadi tempat bergantung bagi 12% kebutuhan bahan pangan itu di Afrika. Sepertiga kebutuhan, atau 33,3%, dipasok dari Rusia.
Seperti dilansir dari Asia Plus, Jumat, 20 Mei 2022, konflik Rusia-Ukraina telah memutus pasokan bahan pangan dan kebutuhan lainnya dari pelabuhan Ukraina. Kiev kerap mengekspor sejumlah besar minyak goreng serta sereal seperti jagung dan gandum.
Tentunya, invasi Rusia ke Ukraina memengaruhi pasokan global dari Kiev. Hal tersebut berakibat harga alternatif pangan jenis lain melambung tinggi. Harga pangan global terkerek hampir 30% lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga di waktu yang sama tahun lalu.
Harga jagung dan kedelai juga terus menanjak. Harga jagung telah melambung 37% sepanjang tahun ini dan bertengger di level US$81,4/gantang. Sementara itu, harga kedelai di posisi US$16,7/gantang, melonjak 25,8%. Harga keduanya telah mencapai level tertinggi sejak 2012.
Jika jagung dan kedelai mencapai level tertinggi baru, efeknya akan luas. Sebab, keduanya dipakai sebagai bahan baku di sektor pangan, seperti untuk pakan ternak dan bahan baku minyak nabati.
Konflik, pandemi, dan perubahan iklim telah mengancam puluhan juta orang di tepi jurang kerawanan pangan. Selain itu, ancaman kekurangan gizi hingga kelaparan massal membuntuti.
Tingkat kelaparan global pun berada pada titik tertinggi baru. Hanya dalam dua tahun, jumlah orang yang rawan pangan meningkat dua kali lipat: dari 135 juta sebelum pandemi menjadi 276 juta saat ini.
PBB mencatat, lebih dari setengah juta orang hidup dalam kelaparan. Angka tersebut meningkat lebih dari 500% sejak 2016. Semuanya bakal terkena dampaknya, termasuk Indonesia.
Dampak meroketnya harga pangan bagi Indonesia akan sangat berpengaruh pada neraca dagang hingga harga sembako. Untuk jagung dan kedelai, misalnya. Indonesia ialah importir bersih jagung. Nilai impor jagung Indonesia pada Januari-Februari 2022 senilai US$71,18 juta atau setara Rp1,01 triliun, naik hingga 596% year-on-year (yoy) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Apa boleh buat, kita memang telah dikepung oleh krisis pangan. Dunia sedang tidak baik-baik saja terkait dengan urusan perut ini. Lalu, pemerintah mau melakukan apa?
Meroketnya harga komoditas dunia telah memukul sendisendi daya beli masyarakat kita. Hingga detik ini, pemerintah belum menemukan ramuan cespleng untuk mengendalikan harga pangan tersebut. Beragam resep kendali harga minyak goreng, misalnya, tidak mampu membuat masyarakat bisa menjangkaunya.
Kiranya peringatan Sekjen PBB Antonio Guterres soal bakal datangnya krisis pangan tidak bisa diremehkan. Tidak usah muluk-muluk dulu bicara ketahanan dan kemandirian pangan. Bereskan dulu pengendalian harga pangan, biar rakyat segera mendapatkan resep pening dengan balsam.