DI tengah makin meluasnya penyebaran virus korona di dunia, kasus pertama terjadi di Indonesia. Presiden Joko Widodo mengumumkan seorang ibu dan anak positif terkena virus korona. Sang anak tertular terlebih dulu oleh warga Jepang yang tinggal di Malaysia dan pertengahan Februari lalu berkunjung ke Indonesia.
Belajar dari pengalaman Singapura, yang lebih harus kita waspadai dari virus korona ialah kepanikan. Sikap panik sering justru membuat persoalan tidak bisa tertangani baik dan bahkan menjadi lebih ruwet. Apalagi jika diikuti tindakan-tindakan tidak proporsional. Sekarang kita perlu memberi kesempatan kepada petugas kesehatan mengambil langkah yang diperlukan untuk melokalisasi penyebaran. Masyarakat perlu mendukung dengan menjaga kesehatan sebaik mungkin dan melaporkan diri apabila ada gejala mirip dengan penyakit akibat virus korona. Seperti juga masyarakat dunia, kita memang belum tahu bagaimana mengendalikan dan mengeradikasi virus korona itu. Sekarang tentu kesempatan bagi para ilmuwan di lembaga-lembaga penelitian seperti Lembaga Eijkman untuk berbuat yang terbaik bagi kemanusiaan.
Virus korona telah memukul kegiatan perekonomian dunia. Ketidakpastian akan masa depan membuat proyeksi bisnis ke depan ikut menjadi suram. Indeks harga saham seperti Dow Jones di AS mencapai titik terendah dengan anjlok sampai 5.000 poin dalam sebulan terakhir ini. Hal sama terjadi Bursa Efek Indonesia terutama dalam sepekan terakhir. Indeks harga saham gabungan yang sebelumnya sempat menembus angka 6.000 kini turun hampir 600 poin. Bahkan pada perdagangan pekan ini, indeks kembali tertekan 1,68%. Pukulan juga dirasakan di pasar uang. Nilai tukar rupiah tiba-tiba bergejolak dari semula di bawah 14.000 per dolar AS melemah sampai 14.500.
Protokol stabilisasi dilakukan Bank Indonesia terutama untuk menjaga nilai surat berharga negara. Hari-hari ke depan keadaan pasti masih ditandai ketidakjelas an. Apalagi dunia sekarang begitu terbukanya dan orang bebas bepergian ke mana saja. Masa-masa sulit ini hanya bisa dihadapi dengan kebersamaan. Kita buang jauh-jauh sikap menyalahkan pihak lain. Semua harus mau melakukan hal terbaik yang bisa dikontribusikan. Langkah seperti yang dilakukan penggagas Java Jazz Festival Peter F Gontha bisa menjadi contoh. Ia tetap mempromosikan Indonesia di tengah kampanye negatif yang beredar. Hasilnya 120 ribu orang hadir dalam festival yang digelar tiga hari akhir pekan lalu. Hampir semua musisi jazz dunia yang diundang tetap mau datang ke Jakarta. Dalam situasi seperti sekarang, kita membutuhkan lebih banyak orang seperti Peter Gontha. Yayasan Puteri Indonesia sedang mengupayakan untuk menghadirkan Miss Universe dalam penganugerahan Puteri Indonesia 2020. Kita tidak bisa terus larut dalam situasi yang kelabu. Tantangan yang sedang kita hadapi tidak bisa dijawab dengan sikap kecil hati. Kita harus berupaya sebisa mungkin untuk memberikan respons yang positif. Apalagi kondisi yang tidak menguntungkan ini bukan di hadapi kita sendiri. Seluruh bangsa di dunia dihadapkan pada tantangan yang sama. Yang membedakan ialah respons yang diberikan untuk membuat negara tidak larut dalam kesedihan dan keterpurukan. Hanya kebersamaan di antara kita yang bisa menyelamatkan negara ini. Jangan ada di antara kita yang kemudian lepas tangan dan tidak melihat persoalan yang kita hadapi sebagai tantangan bangsa. Inilah momentum untuk menunjukkan bahwa kita adalah bangsa besar. Terutama para pemimpin dan kelompok yang tercerahkan perlu terus menyalakan lilin agar bisa menerangi bangsa ini. Semua pikiran positif dibutuhkan untuk membuat bangsa ini tetap optimistis menghadapi jalan yang tidak mudah ini. Sekecil apa pun kontribusi yang diberikan, sepanjang positif, akan sangat bermanfaat bagi bangsa dan negara. Apalagi jika diikuti tindakan yang nyata. Kita semua harus berlomba untuk menjadi manusia produktif yang membawa kemajuan bagi seluruh warga bangsa.