29 February 2020, 08:10 WIB

Gubernur Saleh


Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group |

GUBERNUR saleh bukan gubernur bernama Saleh. Gubernur saleh maksudnya gubernur taat beragama, mungkin termasuk taat menggunakan agama ketika pilkada dulu, rajin sembahyang, pandai mengaji, plus doanya senantiasa terkabul. Gubernur dimaksud namanya sama sekali bukan Saleh, melainkan Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta.

Bicara soal doa terkabul, ada satu cerita yang saya dengar di media tempat saya bekerja dulu. Saya tidak tahu apakah cerita itu fakta atau fiksi atau setengah fakta separuh fiksi.

Ceritanya, ada seorang teman di media tersebut bergabung dengan satu aliran keagamaan. Satu hari dia memindahkan buku dan barang-barang lainnya dari mejanya di lantai bawah ke lantai atas. Ketika teman teman lain bertanya mengapa dia melakukan itu, dia menjawab, menurut gurunya, Jakarta bakal dilanda banjir besar. Itulah sebabnya dia memindahkan buku-buku dan barang-barangnya ke tempat lebih tinggi supaya terselamatkan dari banjir.

Pada hari yang disebut si teman pengikut aliran keagamaan itu bakal terjadi banjir, ternyata tak ada banjir, hujan pun tidak. Teman-teman lain mempertanyakannya. Dengan enteng dia menjawab, "Itu karena kemarin semalaman kami berdoa dan doa kami rupanya terkabul."

Kembali ke soal gubernur saleh, berikut ini kejadian sungguhan alias fakta. Dalam segmen bincang-bincang di program berita satu televisi yang membahas banjir Jakarta, Wakil Ketua Badan Musyawarah Betawi Rahmat HS mengatakan kira-kira berkat doa Pak Gubernur saleh, banjir terjadi pada hari libur. Ia menambahkan, kalau bukan karena doa gubernur saleh, banjir terjadi Senin, Selasa, Rabu.

Banjir di DKI waktu itu memang terjadi di hari Minggu. Celakanya, banjir kemudian terjadi di hari Selasa. Entah apa komentar Rahmat HS ketika banjir terjadi juga di hari kerja.

Saya membayangkan beberapa kemungkinan komentar Rahmat. Pertama, banjir terjadi di hari kerja karena gubernur saleh sedang bekerja, tetapi lupa berdoa. Kedua, kalaupun gubernur berdoa, doanya tidak terkabul karena gubernur tidak saleh lagi sehingga banjir terjadi di hari kerja.

Karena terjadi di hari kerja, aktivitas masyarakat pun terganggu. Salah satunya sidang gugatan banjir warga terhadap Anies tertunda gara-gara banjir di hari kerja itu. Jangan-jangan gubernur saleh sebetulnya berdoa juga supaya banjir terjadi di hari kerja sehingga gugatan terhadapnya tertunda?

Apa yang disampaikan Rahmat menunjukkan hal-hal beraroma agama telah dirasuki post-thruth, pascakebenaran, melampaui kebenaran. Pascakebenaran atau melampui kebenaran, bukanlah kebenaran, melainkan kebohongan. Bayangkan agama pun dipakai untuk menyemburkan kebohongan atau firehose of falsehood.

Agama dijadikan tameng untuk menjawab serangan atau kritik terhadap Anies. Dulu Anies menggunakan agama sebagai senjata untuk menyerang rivalnya di pilkada. Mereka berpikiran agama akan menundukkan dan menaklukkan para pengkritik gubernur saleh. Bila berani melawan agama, tuduh saja para pengkritik Anies itu telah menistakan agama.

Namun, bukannya berhenti, serangan terhadap para pembela Anies makin kencang, terutama di media sosial. Saya, misalnya, mendapat kiriman lelucon bahwa Rahmat HS menjadi salah satu penerima Hadiah Nobel 2020 dalam bidang 'salehologi' atau ilmu kesalehan.

Pernyataan Rahmat yang bisa dikatakan juru bicara informal Anies, dalam pikiran normal, jelas tidak menguntungkan Anies. Celakanya, omongan model post truth dan firehose of falsehood dengan menyenggol terminologi agama juga sering keluar dari juru bicara resmi, yakni Sekretaris Daerah DKI Saefullah.

Saefullah, misalnya, menjawab kritik Presiden Megawati soal Formula E dengan mengatakan perhelatan balapan mobil listrik itu supaya Indonesia terkenal di dunia dan akhirat. Akhirat terminologi agama.

Saefullah juga pernah meminta warga menikmati saja banjir yang terjadi karena dua pertiga tubuh manusia terdiri atas air. Dalam konteks bencana, menikmati setara maknanya dengan pasrah, ikhlas, sabar, ketika menerima cobaan dari langit.

Serupa Rahmat, Saefullah pun 'diserang' di media sosial. Dikatakan dalam lelucon yang saya dapat di media sosial bahwa Saefullah juga masuk nominasi penerima Nobel 2020 di bidang 'banjirologi' alias ilmu banjir.

Sekali lagi, dalam logika normal, jawaban model Rahmat dan Saefullah menjadi reklame buruk bagi Anies. Bila satu survei mengatakan elektabilitas Anies sebagai calon presiden 2024 tergerus banjir, pernyataan-pernyataan model Rahmat dan Saefullah membuat elektabilitasnya makin tergerus. Anies membutuhkan para pembela yang bisa menangkis kritikan para pengkritiknya secara rasional.

Namun, Anies rasanya justru menikmati sebutan 'doa gubernur saleh' untuk merawat popularitas dan elektabilitasnya yang terbilang tinggi. Mungkin.

BERITA TERKAIT