27 February 2020, 08:10 WIB

Mundurlah sebelum Dimundurkan


Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group |

PEJABAT publik ialah setiap orang yang dipilih atau diangkat atau mendapat tugas memangku dan menjalankan fungsi kenegaraan dan pemerintahan. Tidaklah mudah menjadi pejabat publik karena tutur katanya menyedot sorotan masyarakat.

Ada syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk menjadi pejabat publik, misalnya menjadi anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Salah satu syarat ialah berwibawa, jujur, adil, dan memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Tidak kalah pentingnya ialah sehat jiwa dan raga.

Salah satu tolok ukur jiwa yang sehat ialah lisan pejabat terukur, tidak mengeluarkan pernyataan yang melawan akal sehat sekalipun pernyataan tersebut dicabut kembali.

Pembentukan KPAI berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Pasal 74 menyebutkan, dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, dengan undang-undang itu dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.

Komisioner KPAI diangkat Presiden setelah terlebih dulu mendengarkan pertimbangan DPR. Dengan demikian, anggota KPAI merupakan orang pilihan yang satu kata dengan perbuatan.

Sebagai orang pilihan, anggota KPAI mestinya tidak termasuk dalam enam ciri manusia Indonesia yang disebut Mochtar Lubis. Enam ciri itu ialah hipokrit alias munafik, enggan bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, berjiwa feodal, percaya takhayul, artistik, dan berwatak lemah.

Agar anggota KPAI, juga pejabat publik lainnya, bertanggung jawab atas perbuatan dan keputusannya, baik kiranya ia membaca dengan cermat Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan itu belum dicabut, masih berlaku.

Terkait dengan etika sosial dan budaya, Tap MPR menegaskan perlunya menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu, juga perlu ditumbuhkembangkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat.

Malu berbuat salah termasuk di dalamnya malu asbun, asal bunyi, asal bicara tanpa didukung kebenaran ilmiah. Contoh aktual asbun ialah pernyataan seorang pejabat yang menyebutkan kehamilan bisa terjadi pada perempuan yang sedang berenang bersama laki-laki.

Pernyataan soal kehamilan karena berenang itu sudah dicabut. Akan tetapi, harus tegas dikatakan bahwa mencabut pernyataan salah tidaklah cukup. Ada etika pemerintahan yang dicantumkan dalam Tap MPR VI/2001.

Etika pemerintahan mengamanatkan agar penyelenggara negara siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.

Persoalannya kini, tidak ada pejabat publik yang mundur karena malu atas ucapannya. Karena itu, penting dibuatkan undang-undang etika penyelenggara negara. Dewan Perwakilan Daerah pada 2017 sudah berinisiatif menyusun RUU Etika Penyelenggara Negara. Usul itu sempat masuk Prolegnas 2019, tapi kini hilang tak berjejak.

Moralitas bangsa harus dibangun melalui keteladanan para pejabat publik. Terus terang, negara ini miskin keteladanan. Nama besar para pahlawan hanya dijadikan nama jalan, tanpa ada upaya untuk merawat nilai-nilai keteladanan mereka.

Adalah benar bahwa hampir seluruh lembaga dan profesi telah memiliki kode etik. Hanya saja miskin dalam tingkatan implementasinya. Satu-satunya cara ialah ada pemaksaan melalui undang-undang agar penyelenggara negara tunduk pada etik.

Kajian Eka Martiana Wulansari menarik untuk disimak. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara harus dijawab dan diantisipasi dengan membuat perencanaan politik hukum negara dalam bentuk undang-undang yang responsif terhadap krisis kepercayaan masyarakat. Apabila krisis kepercayaan masyarakat tidak ditanggapi dengan baik, dapat menimbulkan delegitimasi terhadap penyelenggaraan negara walaupun prosesnya diklaim telah dilakukan secara demokratis.

Jika undang-undang terkait etik sudah ada, tidak perlu lagi kelompok masyarakat membuat petisi daring hanya untuk meminta Presiden memecat anggota KPAI terkait dengan heboh hamil di kolam renang.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 61/2016 tentang KPAI, anggota KPAI bisa diberhentikan dengan tidak hormat karena melanggar kode etik. Diberhentikan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri di hadapan Dewan Etik KPAI, yang dibentuk KPAI.

Elok nian bila para pejabat publik dalam berbahasa, tidak hanya mengutamakan keindahan susunan kata, jauh lebih penting lagi ialah kesantunan isinya. Bila lisan jauh dari keindahan dan tak ada kesantunan isinya, mundurlah sebelum dimundurkan dengan tidak hormat.

BERITA TERKAIT