26 February 2020, 08:10 WIB

Sok Pintar Sok Pakar


Usman Kansong Dewan Redaksi Media Group |

KATA Evan Davis, ini era post-truth, orde pascakebenaran, masa melampaui kebenaran. Sejatinya pascakebenaran atau melampaui kebenaran bukan kebenaran, melainkan kebohongan.

Di zaman ini, orang doyan menyatakan sesuatu di luar kebenaran ilmiah. Orang gemar melakukan kebohongan ilmiah.

Ketika melontarkan pernyataan berisi kebohongan ilmiah itu mereka mengambil alih porsi dan posisi para pakar, orang yang punya otoritas menyampaikan ilmu pengetahuan. Inilah yang oleh Tom Nichols disebut the death of expertise, matinya kepakaran.

Orang berbicara seolah dirinya pakar. Setiap orang merasa berhak menjadi pakar, mengaku pintar. Bahasa gampangnya, ini era ketika banyak orang merasa pintar, sok pintar; orang merasa pakar, sok pakar.

Pada 2013, Presiden Czech Milos Zeman mengatakan merokok setelah berusia 27 tahun tak membahayakan kesehatan. Katanya, setelah berusia 27 tahun, fisik manusia berkembang sempurna. Padahal, ilmu pengetahuan mengatakan 'merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, gangguan kehamilan dan janin'.

Presiden Amerika Donald Trump pernah mengatakan tidak ada yang namanya pemanasan global, global warming. Padahal, ilmu pengetahuan membuktikan suhu bumi terus meningkat yang menyebabkan es di kutub mencair, permukaan air laut naik.

Ketika gonjang-ganjing Pilpres 2019, Fadly Zon, Fahri Hamzah, Hanum Rais, dan kawan-kawan mereka dengan penuh percaya diri mengatakan wajah Ratna Sarumpaet bonyok karena penganiayaan bermotif politik. Fadli Zon dan Fahri bukanlah dokter bedah, tetapi berbicara serupa dokter bedah plastik. Hanum Rais memang dokter, tetapi dokter gigi, yang berbicara serupa dokter bedah plastik.

Dokter bedah plastik yang punya otoritas kepakaran yang semestinya berbicara. Tompi, dokter bedah plastik, sejak awal kasus ini mencuat mengatakan wajah Ratna Sarumpaet babak belur karena operasi plastik.

Celakanya, banyak orang sepertinya lebih percaya dengan omongan trio Fadli, Fahri, Hanum daripada Tompi. Ketika orang lebih percaya omongan bukan pakar daripada pakar, di situlah kepakaran betul-betul mati. Kepakaran betul-betul mati di kasus Ratna Sarumpaet.

Paling mutakhir, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Indonesia Sitti Hikmawatti mengatakan perempuan berenang sekolam dengan laki-laki bisa hamil. Sitti berbicara serupa dokter spesialis obstetri dan ginekologi atau dokter kandungan.

Imajinasi Bu Sitti kelewat tinggi sampai membayangkan lelaki gampang terangsang dan ejakulasi ketika berenang sekolam dengan perempuan di ruang publik bernama kolam renang. Andaipun ada lelaki terangsang dan mengalami ejakulasi, kata dokter Made Chock Irawan, sel sperma yang keluar langsung tewas di air kolam renang yang biasanya mengandung klorin.

Syukur, orang tak percaya dengan Sitti. Kepakaran belum mati di kasus Sitti. Ia malah mendapat 'serangan' bertubi-tubi di media sosial sampai harus meminta maaf.

Konsekuensi sok pakar dan sok pintar paling tidak mendatangkan kegaduhan, perselisihan, dan persengketaan. Menurut agama, manusia terbuat dari tanah. Manusia-manusia sok pakar dan sok pintar yang suka bikin persengketaan jangan-jangan terbuat dari tanah sengketa.

Konsekuensi sesungguhnya dari sikap sok pakar dan sok pintar sebetulnya lebih besar daripada sekadar persengketaan.

Sikap sok pakar Presiden Czeck boleh jadi membuat orang berusia 27 tahun ke atas ramai-ramai merokok sehingga prevalensi penyakit jantung, kanker, dan lahir cacat meningkat.

Sikap sok pakar Donald Trump bahwa tak ada pemanasan global mungkin menjadi penyebab Amerika menarik diri dari Paris Agreement, kesepakatan untuk mengurangi emisi karbon.

Sikap sok pakar Sitti bisa saja menyebabkan, maaf, perempuan hamil di luar nikah melapor ke orangtua bahwa kehamilannya tidak disengaja akibat berenang sekolam dengan lelaki.

Karena itu, berhentilah sok pintar, sok pakar. Kita pun jangan lekas percaya kepada omongan mereka yang sok pintar, sok pakar. Dengarkan dan serahkan pada pakarnya. Kalau tidak, tunggulah kehancuran.

BERITA TERKAIT