25 February 2020, 08:10 WIB

Aceh Baru


Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group |

BERNARD Lewis pernah menulis sebuah buku berjudul What Went Wrong?. Buku itu mengupas benturan antara Islam dan modernitas di Timur Tengah. Islam pernah mencapai kejayaannya pada abad ke-16 saat Kerajaan Ottoman menguasai sebagian wilayah Eropa, Afrika Utara, dan Asia Barat.
       
Pada masa itu Kerajaan Ottoman sangatlah terbuka. Mereka tidak hanya menjadi kerajaan yang multinasional, tetapi juga multibahasa. Penguasaan teknologi militer, ekonomi, seni, dan ilmu pengetahuan membuat Islam begitu maju.
        
Saat Kerajaan Ottoman mencapai kejayaan, di kawasan belahan timur ada Kerajaan Samudera Pasai yang juga meraih kemajuan luar biasa. Sultan Malikul Saleh menjadikan kawasan Aceh sebagai pusat perdagangan yang kaya raya dan paling ternama di Selat Malaka.
         
Sayang kebesaran itu tidak berlanjut. Renaissance yang terjadi di Eropa justru direspons secara negatif. Sikap yang dulu begitu terbuka berubah menjadi inward looking. Bahkan ketika kemudian tertinggal bukan direspons dengan peradaban yang lebih maju, tetapi justru sikap untuk mencari kelemahan dan kambing hitam.
         
Pesan itulah yang disampaikan Pendiri Yayasan Sukma Bangsa Surya Paloh pada acara Kenduri Kebangsaan di Bireuen, Aceh, Sabtu lalu. Sebagai orang yang dibesarkan dari air susu seorang ibu berdarah Aceh dan dididik oleh ayah yang juga berdarah Aceh, Surya Paloh mengaku sedih melihat Aceh sekarang ini. Kepentingan pribadi yang terlalu menonjol dan permusuhan di antara sesama putra Aceh membuat modal kekuatan yang dimiliki Aceh tidak bisa dimanfaatkan secara optimal.
         
Karena itu, ia mengajak cara pandang baru, cara pendekatan baru untuk membangun Aceh yang baru. Aceh harus seperti ketika awal kemerdekaan yang memberi kepada Republik, bukan Aceh yang hanya bergantung kepada Republik.
        
Presiden Joko Widodo menjelaskan, setiap tahun Nanggroe Aceh Darussalam menerima dana otonomi khusus sekitar Rp8 triliun. Ditambah dengan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang ada di provinsi, kabupaten, dan kota, maka anggaran yang ada di Aceh sebenarnya besar. Pertanyaannya, dipergunakan untuk kepentingan apa semua anggaran itu?
        
Presiden merasa prihatin, tingkat pengangguran di Aceh masih di atas 15%. Itu merupakan angka yang besar, jauh di atas kemiskinan nasional yang sudah di bawah 10%. Pengentasan masyarakat dari kemiskinan itulah yang harus menjadi prioritas pemerintah daerah.
         
Kita sering diingatkan, pembangunan sebuah peradaban tidak ditentukan banyaknya materi yang dimiliki. Yang jauh lebih penting ialah kualitas dan sikap orang-orang yang ada. Pikiran-pikiran yang besar dan terbuka itulah yang akan membawa sebuah bangsa mencapai kemajuan.
          
Pikiran besar dan sikap untuk tidak mudah menyerah itulah yang dibutuhkan, bukan hanya oleh masyarakat Aceh, melainkan juga kita sebagai bangsa. Kebiasaan untuk merasa tidak bisa dan kemudian menyalahkan orang lain harus dibuang jauh-jauh.
         
Meski tidak mudah, kita harus memiliki semangat 'pasti bisa'. Sikap penuh optimisme merupakan modal untuk menjawab setiap tantangan yang dihadapi. Kalau tidak bisa dikerjakan sendiri, tidak ada salahnya kita bekerja sama dengan orang lain.
         
Kita bukan bangsa kecil yang tidak pernah menggapai kejayaan. Di zaman Kerajaan Sriwijaya kita pernah dikenal sampai ke seluruh Asia. Demikian pula pada masa Kerajaan Majapahit, bahkan wilayah kekuasaannya sampai Asia Tenggara. Puncaknya Kerajaan Samudera Pasai yang harum sampai ke seluruh dunia.
         
Kita harus memacu diri apabila ingin kembali menjadi negara yang dihormati dunia. Seperti nenek moyang dulu, kita harus menjadi bangsa yang terbuka. Kita kembali harus bergegas untuk menguasai ilmu pengetahuan, meningkatkan rasa seni, dan dengan itulah kemudian kita menguasai ekonomi dan juga teknologi.
         
Bahkan, Presiden mengatakan semua itu harus dilakukan dengan cepat. Sekarang ini bangsa yang akan menang dalam persaingan bukan lagi mana yang lebih besar, melainkan mana yang lebih cepat. Mereka yang lebih cepat pasti akan mengalahkan yang lambat.
          
Apalagi kita sudah memiliki cita-cita bersama, yakni menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor lima di dunia. Pada saat 100 tahun kemerdekaan Indonesia nanti, kita ingin menjadi negara dengan produk domestik bruto US$7 triliun. Itu tidak mungkin bisa dicapai dengan bersantai-santai, tetapi harus penuh dengan disiplin, kerja keras, dan semangat untuk terus berproduksi.

 

 

 

 

 

 

 

BERITA TERKAIT