21 February 2020, 08:10 WIB

Insentif Wisata


Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group |

ANCAMAN resesi dihadapi banyak negara. Singapura mengoreksi angka pertumbuhan ekonomi 2020 dengan memperhitungkan potensi resesi karena terpuruknya kunjungan wisatawan dan juga perdagangan. Hal yang sama dilakukan Jepang karena menjadi negara kedua di luar Tiongkok yang mengalami penularan virus korona dari manusia ke manusia.

Pariwisata merupakan tulang punggung perekonomian negara-negara Asia. Pada 2017 kontribusinya kepada produk domestik bruto sebesar US$884 miliar. Sekarang, ketika 75% rencana kunjungan wisatawan Februari dan Maret ke kawasan Asia Tenggara dibatalkan, tentu merupakan sinyal buruk bagi industri pariwisata.

Agen-agen perjalanan, operator, juga industri perhotelan sangat menyadari ketakutan orang untuk bepergian sekarang ini. Karena itu, banyak di antara mereka tidak mengenakan pemotongan atas pembatalan pemesanan sepanjang mau diubah jadwalnya dalam tahun ini.

Tepat juga kalau pemerintah kemudian membuat langkah penyelamatan bagi industri pariwisata dalam negeri. Presiden Joko Widodo sudah memerintahkan pemberian insentif kepada industri itu. Salah satunya dengan memberikan pemotongan biaya tiket sampai 50%.

Apa yang kita alami sekarang mengingatkan pada pengalaman bom Bali 2002. Serangan teror yang meminta banyak korban jiwa itu membuat industri pariwisata terpuruk. Salah satu yang menyelamatkan ialah wisatawan Nusantara. Ketika orang asing khawatir untuk bepergian, kita sendirilah yang menjadi kekuatan. Kekayaan alam dan budaya yang ada di seluruh Tanah Air memang tidak kalah menarik untuk dikunjungi.

Namun, untuk mendorong orang mau berwisata, bukan hanya biayanya yang harus terjangkau, tetapi waktu untuk itu pun harus tersedia. Pemerintahan Megawati Soekarnoputri ketika itu membuat terobosan dengan memperpanjang waktu liburan. Kalau dalam satu pekan ada libur yang jatuh pada Kamis, Jumat dinyatakan libur bersama sehingga orang bisa pergi dari Kamis hingga Minggu. Atau kalau hari libur jatuh pada Selasa, Senin dijadikan libur bersama.

Langkah itu terbukti efektif menghidupkan pariwisata. Pulau Bali yang paling terpukul kemudian kembali menggeliat pariwisatanya. Ketika orang Indonesia tidak takut dan merasa aman untuk berwisata, lambat laun wisatawan mancanegara mau kembali berkunjung ke Pulau Dewata dan Indonesia.

Tentu tantangan yang dihadapi kali ini tidak sama dengan kasus bom Bali dulu. Sekarang ancaman tidak terlihat dan bisa ada di mana-mana. Kita tentu berharap jangan sampai ada kasus korona di Indonesia. Upaya untuk berjaga-jaga harus terus ditingkatkan.

Masyarakat akan lebih yakin apabila tindakan preventif terus ditingkatkan. Seperti kampanye yang dilakukan Bandar Udara Changi Singapura, misalnya, mereka tidak hanya menaruh lebih banyak dispenser otomatis untuk sanitasi tangan, tetapi juga menyemprot disinfektan di tempat-tempat yang banyak dikunjungi orang dan juga toilet.

Angkasa Pura sudah juga menempatkan dispenser untuk sanitasi tangan. Namun, hal itu harus diikuti sosialisasi supaya memberi keyakinan kepada masyarakat bahwa kesehatan mereka terlindungi. Orang tidak akan pernah mau berwisata apabila tak ada jaminan keselamatan dirinya.

Kita tidak boleh lupa, langkah untuk memberi insentif bagi industri wisata tetap membutuhkan waktu agar bisa membawa hasil. Apalagi mekanisme pemberian insentif masih akan dirumuskan. Time lag yang terjadi akan memberi pengaruh besar kepada kegiatan ekonomi.

Kita harus bersiap menghadapi kondisi yang terburuk. Perlu dipikirkan langkah lain yang bisa memperlambat penurunan ekonomi. Setidaknya sampai semester I tahun ini pasti akan ada perlambatan pertumbuhan.

Tidak bosan-bosannya kita ingatkan, dalam kondisi sesulit apa pun kita harus membuat masyarakat tetap memiliki harapan. Sebisa mungkin untuk kebutuhan pokok yang bisa kita penuhi sendiri, kita lakukan sendiri. Jangan terlalu mudah untuk melakukan impor. Kita harus berupaya agar warga bangsa ini tetap menjadi manusia produktif.

Dana desa bisa menjadi salah satu andalan untuk tetap membuat banyak orang memiliki pekerjaan. Program Membangun Ekonomi Kesejahteraan Rakyat (Meekar) milik Kementerian Badan Usaha Milik Negara perlu terus dihidupkan karena memberdayakan kelompok perempuan yang ada di desa.

Fokus utama kita ke depan tidak salah apabila sebesar mungkin menciptakan lapangan kerja. Tentu arah besarnya bagaimana angkatan kerja yang ada bisa masuk ke sektor formal. Meski demikian, kita tidak boleh juga melupakan sektor informal karena itu bisa memberi kesempatan bekerja kepada mereka yang tidak pernah mengecap pendidikan, dan itu jumlahnya tidak sedikit.

BERITA TERKAIT