07 February 2020, 08:10 WIB

Kuartal IV


Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group |

BADAN Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi 2019 sebesar 5,02%. Kita pantas bersyukur pertumbuhan kita masih bisa di atas 5%. Namun, kita pantas untuk waspada karena pertumbuhan di kuartal IV sudah berada di bawah 5%.

Biasanya, pada kuartal IV pertumbuhan selalu meningkat karena semua akan membelanjakan anggaran. Ternyata yang terjadi perlambatan yang berlanjut. Pertumbuhan hanya 4,96% berarti mengulangi apa yang pernah terjadi pada 2016.

Ini tentunya merupakan sinyal kurang baik dalam menjalani 2020. Apalagi, banyak faktor ketidakpastian yang tiba-tiba harus dihadapi. Kasus Jiwasraya, misalnya, ternyata menimbulkan bolong yang sangat dalam, lebih dari Rp28 triliun. Masuknya unsur politik dalam penanganan kasus itu membuat langkah penyelamatan dana nasabah semakin tidak jelas.

Belum lagi ketegangan di Timur Tengah yang akan mengganggu stabilitas politik dan otomatis juga ekonomi. Ketidakpastian kini bertambah lagi dengan merebaknya virus korona yang menimbulkan kepanikan.

Dalam situasi krisis seperti ini sangat dibutuhkan kematangan. Kita harus cermat mengambil keputusan agar tidak memperparah keadaan. Paling utama ialah menjaga tingkat kepercayaan masyarakat dan dunia usaha.

Mengapa dua hal itu perlu diperhatikan? Karena investasi pengusaha dan daya beli masyarakat penopang utama pertumbuhan kita. Meski juga menunjukkan penurunan, indeks tendensi bisnis angkanya masih 104,82. Artinya, minat pengusaha untuk mengembangkan bisnis masih ada.

Demikian pula dengan indeks tendensi konsumen. Angkanya masih 107,86. Artinya, kondisi ekonomi dan optimisme konsumen membaik jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Dunia usaha, khususnya sektor makanan dan minuman, merasakan bahwa bisnis mereka sudah kembali normal.

Kita mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dan terukur dalam bereaksi atas ketidakpastian global agar kepercayaan dunia usaha dan konsumen ini tidak terlalu terganggu. Sekarang kita justru melihat pemerintah bereaksi terlalu berlebihan. Menteri Perdagangan mengumumkan untuk menghentikan impor pangan dari Tiongkok. Menteri Perhubungan sebelumnya mengumumkan untuk menghentikan penerbangan ke negara itu.

Duta Besar Tiongkok Xiao Qian menilai langkah pemerintah terlalu berlebihan. Seperti halnya Indonesia, Tiongkok itu negara yang sangat besar. Epidemi virus korona hanya terjadi di Wuhan, tidak di seluruh daratan Tiongkok. Pemerintah Beijing sudah mengambil langkah yang tegas untuk mencegah penyebaran virus.

Presiden Xi Jinping sudah melarang warganya untuk bepergian, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri guna mencegah penyebaran virus. Tanpa perlu kita melarang turis Tiongkok untuk datang ke Indonesia, warga 'Negeri Tirai Bambu' itu pun tidak akan bisa bepergian ke luar negeri.

Kita bukan hanya sering berlebihan, tetapi tidak pernah detail dalam membuat pertimbangan. Kasus evakuasi mahasiswa dari Wuhan merupakan salah satu contohnya. Bupati Natuna menyampaikan keberatan karena ia tidak pernah diajak bicara soal penggunaan Pulau Natuna sebagai tempat karantina. Pemberitahuan pun hanya dilakukan melalui pesan Whatsapp.

Sekarang keputusan Menteri Perdagangan untuk menghentikan impor pangan juga tidak dikoordinasikan dengan pengusaha. Dengan entengnya hanya dikatakan untuk mencari alternatif pasokan dan diversifikasi pasar.

Sebagai mantan pengusaha seharusnya Menteri Perdagangan paham bahwa mencari pemasok dan pasar bukan seperti membalikkan telapak tangan. Ada proses panjang untuk menemukan pemasok atau pembeli atau pihak yang akan menjadi agen kita untuk mengimpor ataupun mengekspor barang.

Keputusan yang tidak didasari pertimbangan jelas akan menimbulkan ketakutan pada pasar. Kredibilitas pemerintah dipertaruhkan. Kecenderungannya indeks tendensi bisnis ataupun konsumen pada kuartal I menunjukkan penurunan. Indeks tendensi bisnis diperkirakan turun menjadi 102,90, sedangkan indeks tendensi konsumen turun ke angka 103,23.

Tidak bosan-bosan kita mengingatkan pemerintah untuk bekerja lebih saksama dan berhati-hati. Bahkan, pemerintah harus memiliki jangkauan jauh ke depan. Jangan sampai kemudian negara lain memperlakukan kita tanpa didasari kepercayaan jangka panjang karena kita juga dianggap tidak pernah mempunyai komitmen jangka panjang dalam kerja sama ekonomi.

BERITA TERKAIT