06 February 2020, 08:10 WIB

Partisipasi Basa-basi


Gaudensius Suhardi Dewan Redaksi Media Group |

BENARKAH partisipasi publik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sekadar basa-basi? Partisipasi publik yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya pemanis teks, praktiknya jauh panggang dari api pada penyusunan omnibus law.

Komnas HAM menilai penyusunan omnibus law tidak akuntabel dan partisipatif. Ombudman RI pada Desember 2019 mengirimkan surat kepada Menko Perekonomian untuk minta dipaparkan RUU omnibus law demi memberikan masukan. Namun, balasannya ialah ditolak karena draf belum disetujui presiden.

Omnibus law pertama kali diperkenalkan Joko Widodo saat dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2019. Saat itu ia mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang besar. Pertama, UU cipta lapangan kerja. Kedua, UU pemberdayaan UMKM. Jokowi menyebut dua UU ini sebagai omnibus law.

Ada 79 undang-undang dan 1.244 pasal telah direvisi terkait UU omnibus law cipta lapangan kerja yang telah diselesaikan pemerintah hingga rapat terbatas pada 15 Januari.

Sejauh ini pemerintah tidak menyebutkan perincian 79 undang-undang yang direvisi itu. Padahal, perintah Presiden sangat tegas, tiap-tiap kementerian melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar pada saat pembahasan ini masyarakat mengetahui tujuan omnibus law cipta lapangan kerja.

Perintah Presiden itu tidak dijalankan sehingga tak sejalan dengan salah satu asas pembentukan undang-undang yang baik, yakni keterbukaan (Pasal 5 huruf g UU 12/2011).

"Yang dimaksud dengan 'asas keterbukaan' adalah bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan," demikian bunyi penjelasan Pasal 5 huruf g itu.

Partisipasi masyarakat diatur dalam Bab XI dalam UU 12/2011. Pasal 96 menyebutkan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Masukan secara lisan dan/atau tertulis itu dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Masyarakat yang dimaksud undang-undang ini, menurut Pasal 96 ayat (3), ialah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-undangan. Dalam penjelasan ayat (3) itu disebutkan bahwa termasuk kelompok orang antara lain kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat.

Karena itulah, Pasal 96 ayat (4) memerintahkan setiap rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Dapat diakses agar memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis.

Partisipasi masyarakat diatur lebih lanjut dalam Pasal 188 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014. Disebutkan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pertisipasi itu dalam rangka melaksanakan konsultasi publik.

Undang-Undang 12/2011 maupun Peraturan Presiden 87/2014 boleh-boleh saja mengatur soal pertisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, aturan itu miskin dalam pelaksanaan terkait omnibus law.

Teks mengenai partisipasi masyarakat memang tampak indah sebagai jargon karena tidak diatur konsekuensi hukum yang mengikat DPR ataupun pemerintah dalam hal partisipasi masyarakat.

Disebut jargon jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. MK mengakui adanya cacat prosedural, antara lain terkait prinsip keterbukaan. Akan tetapi, MK tidak serta-merta membatalkan undang-undang tersebut. Menurut MK, meskipun terdapat cacat prosedural dalam pembentukan UU 3/2009, secara materiel undang-undang tersebut tidak menimbulkan persoalan hukum.

Meski demikian, keterlibatan masyarakat dalam pembentukan undang-undang mestinya mutlak dalam negara demokrasi sebab demokrasi dan partisipasi publik itu ibarat dua sisi sekeping mata uang yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan.

Dalam konteks demokrasi itulah, tegas dikatakan bahwa adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan omnibus law justru menggenapkan, tiadanya malah mengganjilkan, jangan-jangan ada penyelundupan kepentingan.

 

 

 

BERITA TERKAIT