18 September 2023, 18:00 WIB

Erick Thohir di Gelanggang Pacu Indonesia Maju


Endang Tirtana, Peneliti senior di Maarif Institute |

PILPRES 2024 akan memiliki kekhasannya tersendiri yang sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Hal ini bila ditinjau berdasarkan fenomena yang menyertai prosesnya, terutama pemilih. Diperkirakan pemilu ini akan diikuti oleh 74% dari populasi warga negara. Namun kali ini pemilih akan didominasi oleh kalangan milenial (sekitar 68 juta) dan pemilih pemula yang berasal dari generasi Z (46 juta).

Bagi partai politik pendukung calon presiden, keberadaan milenial dan Gen-Z  membawa konsekuensi serius berupa tantangan untuk mengubah pola dan isu kampanye yang tradisional menjadi isu yang lebih sesuai kebutuhan mereka. Kaum milenial umumnya lebih kritis terhadap figur, dan tidak punya fanatisme pada partai politik.

Baca juga: Pengamat: Cawe-cawe Jokowi Skandal Politik di Akhir Masa Jabatan

Sementara Gen-Z dapat dianggap kelompok pemilih yang sama sekali jauh dari wawasan partai politik yang merupakan mesin penggerak utama proses kampanye dan pemenangan calon.

Konsekuensinya, partai politik dituntut meningkatkan improvisasi yang lebih kreatif, lebih kritis, dan membawa harapan pada peningkatan kualitas hidup kaum milenial.

Baca juga: Pesantren Jangan Jadi Tempat Ritual Dulang Suara 5 Tahunan

Barangkali, di antara kandidat capres yang telah mencoba mengeksplorasi realitas baru itu adalah Anies Baswedan. Itu kelihatan dari upayanya mengeksplorasi isu-isu berlatar populisme agama, menjauh dari 'penguasa lama' (seperti tatkala ia meninggalkan Agus Harimurti Yudhoyono) dan mengambil posisi seolah-olah berseberangan dengan kebijakan pemerintah saat ini. Itu jelas dilakukan demi mendapat simpati dari kelompok milenial yang ditenggarai merupakan pemilih kritis.

Dalam berbagai survei tentang tingkat kesukaan anak muda terhadap tokoh yang diperbincangkan akan maju pada pemilu 2024, Erick Thohir selalu mendapatkan perolehan tertinggi karena dipersepsi oleh anak-anak muda berhasil dalam memajukan BUMN. Disamping itu, keberhasilannya dalam melakukan transformasi sepak bola Indonesia juga menjadi daya tarik yang kuat dikalangan para pemilih muda.

Menurut sebuah laporan khusus situs BBC Indonesia, pilpres kali ini berbeda antara lain karena para kandidat presiden tidak mengumumkan wakilnya. Sampai-sampai berkembang rumor bahwa pemilu 2024 adalah pertarungan cawapres. Tentu ada sedikit kebenaran dalam rumor semacam itu, karena di antara kandidat capres yang telah mengumumkan wakil hanya Anies Baswedan. Tetapi, apa yang lebih menonjol adalah latar belakang figur para kandidat cawapres yang muncul di panggung percakapan politik kini terdiri dari pejabat tinggi birokrasi Kabinet Indonesia Maju yang masih atau pernah menjabat.

Selain Erick Thohir yang selalu teratas di tabel survei dan simulasi laporan hasil dari sejumlah lembaga survei,  mari kita ingat nama-nama berikut; Ridwan Kamil (Gubernur Jabar), Sandiaga Uno (Mentri Parekraf), Mahfud MD (Menkopolhukam), Muhadjir Effendy (Menkobud), Andika Perkasa (mantan Pangab), Gibran Rakabuming Raka (Walikota Solo) hingga Susi Pudjiastuti (mantan mentri Kelautan). Di antara nama yang muncul hanya Agus Harimurti Yudhoyono dan juga Yenni Wahid yang tidak berlatar birokrat. Apa yang bisa diterangkan dari fenomena itu?

Di satu sisi, mitos menjadi pejabat tinggi negara bisa memberi akses VIP ke jenjang capres-cawapres seolah mendapat legitimasi. Tetapi saat bersamaan, fenomena tampilnya kalangan birokrasi itu sebenarnya melempar topik baru yang menarik dikaji secara cermat. Lantaran dapat menjadi penanda munculnya suatu gejala baru dalam proses demokrasi kita, yakni meluasnya distribusi demokrasi ke ranah birokrasi.

Fakta bahwa nama-nama yang muncul merupakan hasil imajinasi dan pandangan publik - merupakan sinyal yang baik karena menampakkan adanya kepercayaan publik yang terus membaik pada birokrasi secara umum. Dengan kata lain, tidak ada pertentangan antara birokrasi dan demokrasi di sini, sebagaimana anggapan klasik yang biasanya menempatkan keduanya dalam status yang selalu berbenturan, di mana birokrasi dianggap penghalang laju demokrasi. Perlu studi lebih mendalam untuk menyimpulkan ketepatan  pandangan ini.

Namun yang jelas, latar belakang birokrasi para kandidat yang ikut berkontestasi, berpotensi membawa proses pilpres pada koridor isu dan visi kampanye yang senada seirama sekalipun mereka berada di kubu yang berseberangan. Visi yang sama pada gilirannya akan membuat pemerintahan baru terdorong melanjutkan program-program strategis dari pemerintahan yang digantikan.

Sepertinya, dengan suasana politik semacam itulah cita-cita pembangunan berkelanjutan dapat direalisasikan. Bukan dengan menggonta-ganti secara sembarangan yang dapat membuat tatanan dan dinamika nasional menjadi mandeg karena terus menerus memulai - tanpa pernah berjalan. Sementara, tantangan dunia global menuntut terciptanya suatu kondisi masyarakat dan negara yang siap maju dan berpacu.
 
Maju berkelanjutan
 
Istilah bola liar pernah dipakai Erick Thohir pada sebuah komentar spontannya di media elektronik saat menjawab pertanyaan pewarta soal namanya yang selalu teratas dalam survei demi survei dari sejumlah lembaga survei. Ia jelas sangat berhati-hati, walaupun belakangan Partai Amanat Nasional menyatakan akan mengusungnya selaku cawapres mendampingi Prabowo Subiantò.

Bagaimana pun, pilihan terbijak bagi Erick tetaplah menampilkan diri sesuai tanggungjawab yang diembannya selaku mentri BUMN, bukan sebagai man on top yang dapat menjadi lubang jebakan mengingat masih liarnya manuver politik para kandidat untuk sosok cawapres.

Bagi Erick sendiri, apa yang terlebih pokok dan urgen adalah mempertahankan modal politiknya yang kompleks, yang sepanjang hampir satu dekade seharusnya telah teruji baik melalui keterlibatannya di kabinet pemerintahan Joko Widodo selaku mentri dan pengemban berbagai tugas umum yang penting, maupun modal sosial selama menjalankan profesi selaku seorang pegiat bisnis yang berhasil, pegiat olahraga, dan juga seorang filantropi.

Tak kecuali, potensinya yang tampak terus berkembang dalam membangun budaya solidaritas dengan berbagai unsur kemasyarakatan. Semua itu, sejauh konsisten dipertahankan dan dijalankan secara wajar, dapat membawa Erick Thohir ke titik terbaik pusaran cawapres. Sehingga, tak hirau dengan adanya macam rupa berbagai manuver politik politisi, namun pada gilirannya, penulis yakin, titik terbaik itu akan mengarah padanya. Ya, mengarah kepada Erick Thohir.

BERITA TERKAIT