09 June 2023, 05:00 WIB

Brutalisasi Politik dan Munculnya Zombie Politik


Pius Rengka Mahasiswa Doktoral Studi Pembangunan UKSW, Salatiga |

FILSUF Hannah Arendt (agak) keliru. Arendt keliru, tatkala dia menduga pendidikan sebagai salah satu variabel kunci yang sanggup menyelesaikan problem sosial. Kenyataannya, terutama dalam konteks politik, justru persis sebaliknya.

Politik kontemporer di Indonesia belakangan ini tampak kian brutal. Brutal lantaran nihil pertimbangan etis, eksotisme diplomasi gagasan dangkal kecuali pertajam sektarianisme, identitas kultural, dan amplifikasi kebencian personal. Bahkan anehnya, ada pihak-pihak yang mengglorifikasi kedengkian. Maka zombisme politik pun menguak kencang.

Dalam banyak urusan, pendidikan memang menyumbangkan banyak hal positif. Pendidikan sekolah, misalnya, memproduksi temuan-temuan ilmiah terkait modernisasi pertanian, teknologi komunikasi, kedokteran dan ilmu-ilmu alam serta ilmu sosial.

Puncaknya, hidup manusia kian tergampangkan atau terluputkan dari ancaman kelaparan dan wabah penyakit (bandingkan: Yuval Noah Harari, 2015). Manusia kian menemukan cara gampang mengelola hidupnya. Namun, serentak dengan itu, ilmu pengetahuan justru ikut memproduksi kegamangan sosial, terutama kegamangan yang ditimbulkan oleh hasil temuan di bidang sains dan teknologi komunikasi. Manusia limbung di tengah badai gelombang media sosial yang kian liar dan brutal melalui aneka warta hoaks dan konten-konten yang diproduksi dan dipublikasi para buzzer. Maraknya akun palsu atau yang dipalsukan. Kabar buruk di sektor politik menampakkan serentak membuahkan serial kedengkian yang dilegitimasi akal sakit.

Pendidikan, ujar Arendt (vide: Henry A Giroux, 2011), adalah titik yang kita memutuskan apakah kita cukup mencintai dunia untuk memikul tanggung jawabnya dan dengan cara yang sama menyelamatkannya dari kehancuran. Pendidikan, kecuali menghadirkan pembaruan, juga tak terhindarkan kedatangan generasi baru.

Pendidikan ialah tempat kita memutuskan apakah kita cukup mencintai anak-anak kita untuk tidak mengeluarkan mereka dari dunia kita dan meninggalkan mereka pada dunia mereka sendiri. Ataukah untuk menyerahkan ke tangan mereka perubahan melakukan sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak diduga, tetapi mempersiapkan diri agar mereka terlebih dahulu memperbaharui dunia bersama.

Pikiran Arendt dirujuk di sini sebagai inspirasi moral pedagogis menyusul serial peristiwa politik belakangan ini di Tanah Air. Terkesan kuat, motif politik beroperasi dengan menggunakan metode hukum atau sebaliknya. Peristiwa hukum dikelola dengan mesin politik. Akibatnya tidak pernah jelas. Mana kiranya yang disebut panglima di negeri ini, politik ataukah hukum.

Tampak amat kasat mata, politik dan hukum, terkait (langsung maupun tidak langsung) dengan aneka anasir kepentingan politik di baliknya. Banyak dugaan penyelewengan uang negara terjadi justru melibatkan para aktor elite birokrasi dan politik.

Elite politik dan partai politik, semula diandaikan sebagai kumpulan orang terpelajar sekurang-kurangnya diduga pernah terpelajar. Komunitas terpelajar diasumsikan selalu pro patria pro bonum commune. Mereka berpendidikan tinggi, dan memiliki pengalaman luas di bidang tatakelola kepentingan umum. Bahkan mereka umumnya secara apriori sebagai pemangku setia ajaran moral seturut agama yang dianut.

 

Heboh sosial

Heboh sosial terjadi belakangan ini ketika Menteri Kominfo Johny G Plate dinyatakan sebagai tersangka atas kasus pidana korupsi dana proyek menara BTS senilai Rp8,1 triliun. Kompas TV (27/5) menyiarkan skandal mega korupsi tersebut sangat mengagetkan, menjengkelkan, dan mengkhianati konstitusi. Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan, dari anggaran Rp28 triliun pada 2020 sudah dicairkan Rp10 triliun, tetapi barangnya tidak ada.

Permintaan perpanjangan hingga Maret 2021 dijanjikan akan dibangun 1.200 tower, tetapi setelah dicek hanya 900-an yang terbangun. BPKP memperkirakan kerugian negara mencapai Rp8,2 triliun. Modus korupsi kasus BTS ini sederhana. Ada program pembangunan tower, tetapi tower-nya tidak dibangun, akhirnya mangkrak. Ada penggelembungan dana sehingga harga proyek menjadi mahal. Ada jasa konsultan, tetapi ternyata juga konsultan fiktif.

Ditengarai korupsi tersebut tak hanya melibatkan Johny G Plate. Ikut terlibat sejumlah aktor lain dari partai politik berpengaruh dan pengusaha yang terhubung dengan politisi di parlemen. Follow the money harus menjadi strategi untuk melacak dana rakyat itu mengalir. Tentunya, itu menjadi tanggung jawab Jaksa Agung St Burhanuddin untuk membongkarnya. Hukum harus dijadikan panglima, bukanlah politik.

Johny ditahan sebagai tersangka pelanggaran pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 5 KUHP. Kejagung memastikan bahwa kasus korupsi tidak menghentikan proyek penyediaan infrastruktur base transceiver station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5. Sebagai proyek strategis nasional, proyek tersebut dilanjutkan sehingga kepentingan masyarakat yang tinggal di kawasan terdepan, terluar dan tertinggal (3T) dapat menerima jaringan 4G.

Namun, gejala serupa sesungguhnya telah lama menarik perhatian sangat luas ketika hingga hari ini kasus Harun Masiku tidak pernah jelas ekor penyelesaian hukumnya. Sejak Januari 2020, Harun Masiku tak kunjung tertangkap. Khalayak mencatat KPK memasukkan Harun Masiku ke daftar buron pada 29 Januari 2020. Pada 30 Juli 2021 namanya sudah bertengger di Interpol. Begitu juga dengan kasus bansos yang melibatkan anggota DPR RI Herman Herry dan sejumlah kasus lainnya yang melibatkan politisi dari PDIP. Terkesan jelas, sikap dan tindakan penegak hukum tidak berimbang.

Mencermati gejala unbalance sikap penegak hukum ini, masuk akal jika Ketua Umum NasDem, Surya Paloh, mengatakan pihaknya meminta agar penegak hukum membongkar semua pelanggaran hukum di negeri ini, termasuk para aktor partai politik dan elemen elite politik lain. Seruan Surya Paloh menonjok semua pihak agar bertindak dengan distingsi jelas antara perbuatan melanggar hukum dan tindakan politik.

Menyusul seruan Ketua Umum Partai NasDem itu, tampaklah jelas, kritik sedemikian terang-benderangnya tentang tebang pilih tindakan hukum. Hal itu ditegaskan Surya demi membendung imajinasi khalayak ramai yang cenderung menuding bahwa hubungan aparatur hukum dengan geliat partai politik, tak terpisahkan secara tegas lantaran ada kepentingan partai-partai politik di dalam setiap peristiwa hukum.

Seruan Surya Paloh fungsional untuk meniadakan kekaburan relasional antara krisis politik dan krisis penegakan hukum. Hal itu diperlukan agar masyarakat di lapisan bawah tidak selalu dihantui zombie politik lantaran elite politik tidak sanggup mengelola konflik kepentingan dengan narasi yang lebih edukatif. Nihilnya narasi edukatif di Tanah Air kian keruh, lantaran brutalisme politik yang disiarteruskan oleh para buzzer melalui media sosial tanpa nurani humanisme.

Mencermati situasi dan kondisi itu peranan political leadership mestinya mengemuka untuk menenangkan atau sekurang-kurangnya menetralkan situasi. Karena itu, Presiden Jokowi dituntut untuk sanggup menengahi hal itu dengan aksi-aksi politik kekuasaannya sebagai political leadership. Ia diminta untuk bertindak tegas non-cooperative dengan semua jenis pelanggaran hukum entah siapa pun yang melakukannya.

Namun, tampaknya Presiden Jokowi 'dikurung dan terbimbing' dalam tradisi partai sebagai petugas partai dari PDIP. Ia terkesan belum sempurna memperlihatkan sikap netral dan negarawan. Ia dengan lantang akan melakukan cawe-cawe dalam skema politik di Indonesia ke depan. Tampaknya, Jokowi tidak rela membiarkan proses dan dinamika politik di Tanah Air mengalir sebagaimana spirit panggilan konstitusi negara. Jokowi berpihak.

Arjen Boin dan Paul Hart (2020) menyebutkan, kepemimpinan dalam situasi masyarakat krisis mungkin disebabkan oleh krisis kepemimpinan politik atau justru krisis politik mempertegas dilema pemenuhan ekspektasi publik dengan realitas krisis kepemimpinan politik. Rosenthal, Boin, dan Comfort (2001), menyebutkan pengalaman krisis sejatinya sebagai episode ancaman sosial dan ketidakpastian politik.

Meski krisis politik ini dianggap sebagai kecenderungan natural, tetapi serentak dengan itu krisis sosial politik seharusnya mengundang hadirnya pemimpin yang memberi harapan dan ketenangan. Pemimpin harus melakukan sesuatu yang menenangkan semua pihak. Karena itu, krisis politik tidak lagi ditularkan melalui saluran tindakan dan sikap pemimpin yang unbalance. Sikap pemimpin itu justru fungsional untuk mengatasi krisis politik demi mengurangi tensi politik, sekaligus menormalisasikan relasi antarpara politisi yang berkompetisi.

BERITA TERKAIT