06 June 2023, 11:45 WIB

Meminimalisir Sampah Pemilu


Yohanes Manasye, jurnalis Media Group Network |

BALIHO bergambar politisi bertebaran di jalan utama hingga penjuru kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur sejak beberapa bulan lalu. Salah satu yang cukup menyita perhatian yakni di simpang Jalan Yos Sudarso dan Jalan Adi Sucipto. 

Ada yang masih utuh, ada pula yang sudah koyak dan lusuh dihempas angin. Pemandangan yang sama selalu berulang sejak pemilu-pemilu sebelumnya. Pemasangan alat peraga kampanye (APK) kerap mencuri start dan berebutan di lokasi-lokasi strategis sejak gong penanda pesta demokrasi dibunyikan. 

Hajatan pemilihan, entah pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD, pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden, bahkan pemilihan kepala desa pun identik dengan baliho yang bertebaran di mana-mana. Baliho dan APK lainnya menjadi penanda pesta demokrasi sudah dekat. 

Sayangnya, sebagian besar pemilik APK hanya melakukan pemajangan lalu seolah-olah lupa memperhatikan atau mencopotnya ketika sudah rusak atau telah melewati batas waktu kampanye. Akibatnya, setelah pesta demokrasi selesai, APK akan menjadi sampah yang bertebaran di mana-mana. Miris. 

Kala masalah sampah kian sulit dikendalikan dan kondisi lingkungan semakin rusak, pesta demokrasi justru menambah tumpukan sampah yang sulit terurai. Padahal, menebar APK di mana-mana tidak selamanya efektif merebut hati konstituen. Memajang foto disertai penggambaran citra diri calon pemimpin di lokasi strategis tak selamanya mendulang dukungan. 

Lantas, bila tidak lagi efektif, mengapa calon pemimpin justru memboroskan biaya untuk hal yang tidak berbanding lurus dengan efek elektoral? Mengapa tidak mencari cara kreatif yang lebih efektif, efisien dan tentunya ramah lingkungan, mengingat APK rata-rata terbuat dari bahan mengandung plastik yang bakal menjadi sampah? 

Dalam beberapa pemilu terakhir, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mulai mengatur secara spesifik terkait APK. Namun baru sebatas pembatasan jumlah dan pembebanan terhadap APBN untuk pengadaan APK. 

Kebijakan politik kepemiluan belum memperlihatkan pentingnya aspek ekologis. Regulasi berdemokrasi masih abai terhadap lingkungan. Pesta demokrasi masih menambah beban ekologis. 

Padahal, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2022 mengungkapkan produksi sampah di Indonesia mencapai 19,45 juta ton. Sementara di tingkat lokal, kementerian yang sama mencatat Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, sebagai salah satu kota kecil terkotor di Indonesia. 

Para politisi dan pengambil kebijakan mesti peka terhadap kondisi lingkungan sehingga mulai mendorong eco-democracy atau demokrasi yang ramah lingkungan. 

BERITA TERKAIT