26 May 2023, 05:15 WIB

Wajah Ketiga Turki


Hasibullah Satrawi Pengamat Timur Tengah dan dunia Islam |

"ERDOGAN tidak menang, tapi para pesaingnya rugi.” Demikian Sherwan Al-Shamirani, salah satu pengamat dan peneliti berdarah Kurdi, menggambarkan kompleksitas hasil Pemilu Turki (khususnya pilpres) pada 14 Mei lalu. Disebut kompleks karena di satu sisi, pemilu kali ini cukup memberikan angin segar bagi oposisi Turki untuk menjadi pemenang. Di sisi yang lain, pemilu kali ini sangat berat bagi Recep Tayyip Erdogan yang telah menguasai Turki hampir 20 tahun terakhir.

Ternyata, hasil Pemilu Turki kemarin hanyalah memberikan 44,89% bagi Kemal Kilicdaroglu sebagai pesaing dan penantang utama Erdogan. Sementara itu, Erdogan sebagai petahana hanya memperoleh suara 49,5%. Sinan Ogan sebagai capres ketiga mendapatkan 5,17%. Dengan hasil seperti itu, Pilpres Turki harus dilanjutkan ke putaran kedua yang akan dilaksanakan pada 28 Mei mendatang.

Menurut sebagian pengamat di kawasan, pilpres putaran kedua nanti akan memastikan kemenangan Erdogan yang sempat tertunda dari pilpres pertama. Terlebih lagi, pendukung Ogan diperkirakan akan menjadi penentu dalam pilpres putaran kedua nanti. Pada 23 Mei, Sinan secara resmi telah menyatakan dukungan ke kubu Erdogan dalam pilpres putaran kedua nanti walaupun sebagian pengamat memperkirakan dukungan Ogan tidak akan secara otomatis mengalihkan (semua) suara pendukungnya kepada Erdogan.

Namun, sebagaimana analisis Al-Shamirani, hasil pilpres putaran pertama menunjukkan kegagalan para pesaing Erdogan dalam memahami kedalaman dan kematangan politikus yang terkenal dengan julukan 'Muazin Istanbul' itu. Erdogan memang sudah tidak muda lagi, tapi kekuatan dan kematangan politiknya justru meningkat untuk menghadapi tantangan dan mencapai kemenangan. Demikian kurang lebih gambaran lebih lanjut dari Al-Shamirani dalam artikelnya berjudul 'Erdogan Lebih Dalam dari yang Dibayangkan oleh Musuhnya', Aljazeera.net, 16/05.

Pemilu Turki kali ini mendapatkan perhatian dari banyak pihak, tidak hanya dari kalangan masyarakat Turki yang sampai pada tahap keterbelahan, tetapi juga dari masyarakat global. Bahkan, menurut sebagian pengamat, ada tangan-tangan luar yang sampai ikut berperan dalam upaya memenangkan baik Erdogan maupun pesaingnya.

Dalam hemat penulis, di balik panasnya persaingan dan kontestasi politik di Turki mutakhir ada persoalan 'wajah ketiga' Turki yang sejauh ini belum kuat menjadi wajah Turki modern, menggantikan wajah pertama dan wajah kedua. Kondisi itu membuat sebagian pihak berupaya menjadikan Pemilu Turki terakhir sebagai cara legal sekaligus konstitusional untuk memenangkan wajah pertama ataupun wajah kedua Turki ke depan.

 

Wajah pertama

Apa itu wajah pertama Turki? Tak lain ialah islamisme. Sebagai bekas negara yang berabad-abad menjadi pusat dari pemerintahan kekhilafahan Islam (Khilafah Utsmaniyah), Turki modern dikhawatirkan kembali lagi pada wajah pertama mereka. Selama 20 tahun berkuasa melalui sistem demokrasi, Erdogan memang tidak tampak berambisi untuk mengembalikan wajah pertama Turki. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa kebijakan Erdogan (seperti mengembalikan Hagia Sophia) dianggap mengganggu kenyamanan para pihak yang tidak menginginkan Turki kembali berwajah Islam.

Tentu, tidaklah adil membaca dan menghakimi Erdogan hanya dari satu kebijakannya. Adalah benar bahwa Erdogan mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid. Namun, Erdogan juga peduli dengan kebutuhan dan kondisi keagamaan umat beragama di luar Islam. Bahkan, tak sedikit tempat-tempat ibadah di luar masjid yang diperbaiki Erdogan.

Persoalannya ialah pada tahap tertentu, Erdogan justru seakan sengaja menggunakan semangat islamisme sebagai salah satu peluru politiknya untuk memenangi pertarungan politik yang ada. Menurut sejumlah media di Timur Tengah, menjelang hari tenang, contohnya, Erdogan datang ke Masjid Hagia, bahkan menyampaikan ceramah keagamaan. Bahkan pada hari pemilihan kemarin, Erdogan berangkat menuju tempat pencoblosan suara dengan diiringi yel-yel 'Allah Akbar' dari para pendukungnya.

Itulah yang membuat kaum oposisi semakin merasa tidak nyaman terhadap Erdogan mengingat Erdogan dikhawatirkan membawa Turki kembali ke wajah pertama mereka walaupun faktanya selama 20 tahun berkuasa Erdogan konsisten dengan wajah ketiga Turki. Itulah yang penulis maksud bahwa di balik Pemilu Turki saat ini, ada pertarungan untuk mengembalikan wajah pertama atau wajah kedua negara itu.

 

Wajah kedua

Wajah kedua Turki tak lain ialah sekularisme yang dipelopori Kemal Ataturk. Dari capres yang ada, Kemal Kilicdaroglu sering dianggap sebagai representasi dari kaum sekuler Turki walaupun secara koalisi, para pendukung Kilicdaroglu tidak bisa hanya disebut sebagai kaum sekuler mengingat capres pesaing utama Erdogan itu juga didukung beberapa partai berhaluan Islam. Tak mengherankan sebagian pihak menyebut koalisi Kemal sebagai koalisi kontradiksi (at-tahaluf at-ta’arudh).

Bila Erdogan secara sengaja menjadikan islamisme sebagai salah satu senjata politik untuk memenangi pertarungan yang ada, Kilicdaroglu justru sebaliknya: menggunakan semangat sekularisme Turki untuk memenangi pertarungan yang ada. Menurut sebagian media di kawasan, pada akhir masa kampanye, Kilicdaroglu mendatangi kuburan Ataturk sembari menabur bunga. Bahkan pada hari pemilihan, Kilicdaroglu berangkat menuju tempat pencoblosan suara dengan diiringi yel-yel penyebutan namanya sendiri oleh para pendukungnya.

 

Wajah ketiga

Jika dilihat dari pengalaman yang ada sejauh ini, wajah pertama dan wajah kedua acap menjadi trauma bagi tiap lawan. Kaum islamis sedemikian trauma bila Turki kembali dikuasai kaum sekuler mengingat kekuasaan kaum sekuler acap membumihanguskan simbol-simbol keislaman dari ruang publik, seperti larangan azan atau baca Al-Qur'an di ruang-ruang publik. Sebaliknya, kaum sekuler juga sedemikian trauma dengan islamisme di Turki mengingat islamisme dianggap sebagai penyebab keterbelakangan Turki modern.

Menurut hemat penulis, salah satu keberhasilan Erdogan selama ini ialah merintis pembentukan wajah ketiga Turki, yaitu wajah Turki yang demokratis, terbuka terhadap pelbagai macam perkembangan, tetap mengakar pada tradisi dan kebudayaan masyarakat Turki yang ada, memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk menggunakan hak politik mereka, termasuk menjadi pemimpin dan ada kepastian suksesi kepemimpinan (setiap lima tahun).

Itulah elemen dasar dari wajah Turki yang baru, dan tidak dimiliki banyak negara lain di Timur Tengah, khususnya negara-negara Arab. Kalaupun ada yang memiliki tradisi demokrasi yang mirip dengan Turki di Timur Tengah, negara itu ialah Iran, bahkan Israel pada beberapa bagian.

Oleh karena itu, siapa pun pemenang Pilpres Turki nanti sejatinya bisa mempertampan sekaligus menguatkan wajah ketiga Turki, yaitu wajah demokrasi. Bukan justru membawa Turki ke masa lalu dalam trauma islamisme dan sekularisme.

BERITA TERKAIT