21 May 2023, 20:50 WIB

Memperkuat Legalitas Rupiah Digital 


Saraswati Harsasi, Peneliti dan Pemerhati Hukum Fintech |

INTRODUKSI rupiah digital kembali digaungkan dalam Festival Ekonomi Keuangan Digital (FEKDI) pada awal Mei lalu. Event yang terselenggara atas kerja sama Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ini menjadi sarana sosialisasi produk dan kebijakan dalam ranah ekonomi dan keuangan digital Indonesia.

Digitalisasi di berbagai sektor telah mendorong pengembangan teknologi dalam bidang ekonomi keuangan yang mengubah kehidupan kita secara fundamental. Dulu, berbagi foto kepada orang lain memerlukan proses panjang. Kita harus menggunakan klise, kemudian menuju toko pencetakan untuk mencetak foto pada selembar kertas, baru dapat memberikannya kepada orang lain.
 
Perkembangan teknologi kemudian memudahkan kita berbagi foto melalui aplikasi. Hanya dengan gawai, foto dapat diambil dan dibagikan dalam waktu singkat, tanpa biaya yang berarti. Fasilitas teknologi ini juga berkembang dalam sistem pembayaran. 

Inovator di seluruh dunia berlomba-lomba menghadirkan inovasi pembayaran yang cepat dan mudah. Kemajuan ini menjadi langkah akselerasi keuangan inklusif yang mampu melibatkan jumlah masyarakat secara masif, bahkan mereka yang belum terlayani perbankan.

Tidak berhenti di situ, penemuan teknologi blockchain melahirkan fenomena crypto currency yang digemari dunia. Konsep crypto currency yang beroperasi tanpa batas yurisdiksi negara seolah-olah menjadi one world currency. Satu mata uang untuk seluruh dunia.

Namun demikian, tanpa adanya regulasi yang mengikat, disruptif crypto currency rentan merugikan masyarakat. Nilainya yang tidak stabil dan tanpa jaminan dari bank sentral kerap membuat investor kehilangan uang, khususnya mereka yang sekedar kompulsif mengikuti tren.

Konsep crypto currency yang memudahkan transaksi pembayaran dan konversi secara global telah membuka mata bank sentral di dunia untuk memberikan perhatian penuh terhadap fakta ini. Alih-alih menutup diri terhadap perkembangan teknologi, bank sentral mulai beradaptasi.

Managing Director IMF Kristalina Georgieva mengatakan, "Ini adalah era di mana bank sentral menyingsingkan lengan baju dan membiasakan diri dengan bit dan byte uang digital." Hampir seluruh bank sentral di dunia saat ini tengah mengembangkan Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai produk moneter terbaru.

Adopsi teknologi distributed ledger sedang dibangun sebagai platform penerbitan CBDC, sejenis blockchain yang dikelola bank sentral. Melalui gagasan ini, mata uang negara bertransformasi lebih luwes untuk digunakan dalam dunia digital, sekaligus menjaga kedaulatan mata uang.
 
BI juga secara aktif merespons perubahan dinamika zaman tersebut dengan memprakarsai Proyek Garuda sebagai whitepaper pengembangan rupiah digital. Rupiah digital hadir sebagai solusi untuk mengurangi fragmentasi sistem pembayaran dengan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam transaksi dan konversi nilai secara daring. 

Legalitas rupiah digital

Inisiasi CBDC Indonesia dimaksud telah diatur dalam UU No.4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang mengamandemen UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dengan menambahkan ketentuan mengenai rupiah digital. 

Pengertian rupiah digital menurut UU tersebut adalah rupiah dalam bentuk digital yang dikeluarkan dan merupakan kewajiban moneter Bank Indonesia (BI). Pada dasarnya rupiah digital sama dengan uang fiat rupiah (kertas dan logam) hanya dikonversi ke bentuk digital.

Kehadirannya tidak mempengaruhi jumlah uang beredar, nilainya pun stabil, berdenominasi sama dengan mata uang rupiah. Rupiah digital akan menjadi uang bank sentral yang selain bebas risiko, juga dapat digunakan untuk pembayaran lintas negara.

Meski telah disematkan dalam UU P2SK, penulis memandang ketentuan rupiah digital masih sangat minim.  Tata cara pengelolaannya perlu dijabarkan lebih lanjut di tingkat UU sebagaimana ketentuan rupiah kertas dan logam, tidak hanya sebatas Peraturan BI. Hal ini penting mendapat perhatian karena keseluruhan tahapan pengelolaan rupiah merupakan eksistensi fungsi otoritas Bank Indonesia dalam sistem pembayaran.

Untuk memperkukuh implementasi rupiah digital, setidaknya terdapat beberapa materi yang penulis coba uraikan untuk melengkapi ketentuan yang ada. 

Pengaturan pertama berkaitan dengan prinsip-prinsip umum. Bagaimana rupiah digital berpijak di Indonesia dan bagaimana melangkah bahkan melewati batas negara perlu dirumuskan dengan pemikiran yang penuh pertimbangan. 

Prinsip umum tentu dapat berlandaskan pada UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) oleh karena rupiah digital merupakan bagian dari transaksi elektronik. Selain itu UU No.3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana juga dapat dijadikan referensi dalam menentukan parameter pengaturan operasional.

Selanjutnya identifikasi rupiah digital perlu dijelaskan lebih lengkap untuk membedakan obyek hukum ini dari jenis rupiah atau CBDC lainnya. Di dalamnya berisi pengaturan mengenai ciri-ciri keaslian rupiah digital, termasuk pengamanannya dari pemalsuan.

Aspek penting lainnya adalah bagaimana syarat platform teknologi yang menjadi pondasi pengoperasian rupiah digital. Distributed ledger bagaimana yang akan dipilih dan bagaimana ketentuan operasionalnya. Ketentuan ini juga mengatur mengenai perlindungan keamanan cyber dan kontinuitas sistem. UU harus menegaskan penggunaan platform teknologi yang kompatibel, aman dan handal.

Oleh karena penerbitan rupiah digital melibatkan lembaga distribusi (wholesaler), perlu dirumuskan ketentuan mengenai perizinan dan pengawasan untuk menetapkan hak, kewajiban dan larangan. Ini merupakan eksposur dari fungsi BI sebagai otoritas dan regulator sistem pembayaran.

Subyek hukum pengguna juga perlu diatur untuk menjaga ketertiban dan keamanan transaksi rupiah digital. Bagaimana syarat-syarat umum pengguna dan verifikasinya untuk menghindari pengguna fiktif atau robot yang dikhawatirkan dapat mengganggu sistem.Tentunya perlindungan data pribadi juga perlu ditegaskan agar pengguna terlindungi.

Oleh karena beroperasi dalam sistem elektronik, perlu diatur materi mengenai pencegahan kejahatan serta tindakan yang dilarang. Pencegahan tindak pidana pencucian uang dan terorisme juga perlu mendapatkan perhatian mengingat teknologi digital rentan disalahgunakan.

Ketentuan mengenai kejahatan terhadap rupiah digital tentu harus diperkuat dengan sanksi pidana yang hanya dapat diimplementasikan dalam bentuk UU. Untuk itulah urgensi pembentukan amandemen UU Mata Uang yang lebih komprehensif sangat dibutuhkan untuk mengawal rupiah digital.

Setidaknya beberapa hal di atas dapat menjadi pertimbangan BI untuk mempersiapkan perangkat legal lebih lanjut. Agar aplikasi rupiah digital mampu memberikan keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan, sekaligus perlindungan hukum yang mencukupi, legalitasnya juga harus dirancang mengiringi pengembangan inovasi ini.

Masih banyak hal yang perlu direnungkan secara mendalam pada penyusunan ketentuan UU. Sebagai kebijakan baru yang mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia secara fundamental, layaknya ketentuan rupiah digital tidak sekadar apa yang diatur dalam UU P2SK saat ini.
 
Rupiah digital akan selalu bertransformasi sesuai dengan kebutuhan zaman dan sifatnya agile, selalu dikembangkan secara responsif terhadap perubahan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian hukum harus lebih cepat bergerak membaca dan memprediksi perkembangan teknologi agar dapat berlaku efektif.

Penelitian aspek hukum rupiah digital perlu secara iteratif dilakukan dengan melibatkan akademisi dan praktisi sejalan dengan progres pengembangan karakteristik dan pengoperasiannya. Dengan demikian ketentuan hukum sebagai landasan operasional rupiah digital mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pengguna, pihak terkait, otoritas, dan masyarakat sebagai satu kesatuan sistem hukum Indonesia.

Sistem hukum menurut Lawrence M Friedman (Friedman, 1984) terdiri dari substansi hukum (peraturan),  struktur hukum (lembaga), dan budaya hukum. Dalam perspektif dimaksud, BI menjadi bagian dari struktur hukum, yaitu regulator yang berwenang mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
 
Oleh karena itu peran BI menjadi begitu penting dan strategis guna memastikan operasional rupiah digital berjalan dengan tertib dan lancar. Penulis optimistis rupiah digital akan menjadi bagian penting sistem pembayaran yang digunakan secara kolosal di masa depan.

Jack Ma mengatakan, di era internet ini orang harus berlari seperti kelinci, namun bersikap sabar seperti kura-kura (Erisman, 2018). Metafora ini menggambarkan bahwa inovasi yang agresif ini harus terus diiringi oleh kehati-hatian yang direfleksikan melalui ketentuan.

BERITA TERKAIT