JIKA saja berumur panjang, ia mungkin akan gembira menyaksikan putri semata wayangnya yang cantik itu berseragam SMA. Namun, siapa sangka, dua tahun lalu, virus korona keburu merenggut paksa nyawanya. Ia pergi meninggalkan istri dan bidadari kecil kesayangannya yang kala itu baru menginjak remaja. Entah bagaimana nasib ibu dan anak itu setelah pria yang amat mereka cintai dan menjadi tumpuan keluarga kecil itu berpulang.
Kisah di atas bukan fiksi, juga bukan bagian dari lirik lagu Coldplay. Tokoh yang saya ceritakan di atas adalah rekan kerja saya. Meski tidak sama persis, kisah semacam itu juga mungkin lekat dengan keseharian sebagian dari kita ketika virus yang menyerang sistem pernapasan itu berubah ganas menjadi pandemi dalam dua tahun terakhir. Ada anak kehilangan orangtua, istri kehilangan suami, keponakan kehilangan paman, dan seterusnya. Tidak hanya merenggut nyawa orang-orang tercinta, virus itu juga telah menggerus impian dan masa depan keluarga. Entah berapa juta anak yang kini menjadi yatim piatu atau mereka yang kehilangan pekerjaan.
Menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dirilis pada Jumat (19/5), hampir 337 juta tahun kehidupan hilang dalam dua tahun pertama pandemi covid-19 karena jutaan orang meninggal sebelum waktunya. Pandemi, kata laporan statistik tahunan itu, telah memicu kehancuran global dan secara resmi membunuh hampir tujuh juta orang walau angka sebenarnya diyakini mendekati 20 juta jiwa. Dari jumlah itu, salah satunya mungkin termasuk teman yang saya ceritakan di atas, yang notabene masih tergolong usia produktif.
Laporan badan kesehatan PBB itu kiranya perlu kita perhatikan, cermati, dan kalau perlu direnungkan dengan sungguh-sungguh. Meski pandemi telah berubah menjadi endemi, faktanya dunia belum baik-baik saja. Bahkan, resesi ekonomi kini membayangi sejumlah negara. Tiongkok, salah satu raksasa ekonomi dunia saat ini, juga belum sepenuhnya pulih. Amerika Serikat, negara yang selama ini dianggap adidaya, bahkan justru kolaps dan terancam gagal membayar utangnya. Jika itu terjadi, urusannya tentu bisa panjang dan berimbas ke mana-mana.
Lantas, bagaimana dengan kondisi perekonomian Indonesia sendiri? Dalam sebuah webinar awal Februari lalu, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyebut pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal IV 2022 tercatat sebesar 4,93% secara tahunan atau year on year (yoy).Meski tumbuh positif, dalam pandangannya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga tersebut menunjukkan daya beli masyarakat masih tergolong rendah. Itu disebabkan, kata dia, konsumsi pada tahun lalu lebih besar dialokasikan untuk barang yang habis pakai seperti makanan dan kebutuhan dasar rumah tangga.
Lalu, bagaimana kita melihat fenomena perburuan tiket seharga puluhan juta rupiah untuk sebuah konser band mancanegara yang disambut antusias sebagian masyarakat baru-baru ini atau fenomena flexing kekayaan yang dilakukan sebagian keluarga pejabat yang viral di media sosial? Para akademisi, terutama ekonom, baik individu maupun yang tergabung di berbagai lembaga penelitian dan kajian, kiranya mungkin perlu memeriksa kembali indeks rasio gini. Jangan-jangan jurang kesenjangan di negeri ini telah semakin dalam pascapandemi. Tentunya itu harus dilakukan dengan hati-hati, jujur, dan sesuai kaidah-kaidah ilmiah. Maklum, statistik semacam itu kerap jadi kosmetik, apalagi pada tahun politik.
Namun, terlepas dari itu semua, sebuah studi yang komprehensif rasanya memang perlu dilakukan untuk melihat dampak pandemi di negeri ini dan menyiapkan langkah antisipasinya ke depan. Apalagi, dalam laporannya yang baru saja dirilis, WHO tegas memperingatkan bahwa pandemi telah memorakporandakan sejumlah indikator terkait kesehatan global yang telah membaik selama bertahun-tahun. Selain itu, wabah tersebut juga telah menguak adanya borok kesenjangan di masyarakat dalam mengakses layanan kesehatan, termasuk vaksin.
Temuan dalam laporan itu, menurut lembaga kesehatan PBB tersebut, menunjukkan perlunya upaya serius untuk meningkatkan investasi dalam bidang kesehatan dan memperbaiki sistem kesehatan secara keseluruhan. Kita tentu belum lupa bagaimana pasien bergelimpangan di bangsa-bangsal rumah sakit. Begitu juga mereka yang kelimpungan mencari tabung oksigen. Belum lagi mereka yang kehilangan pekerjaan dan mesti ikutan antre sembako. Kita tentu berharap peristiwa yang terjadi dalam dua tahun terakhir itu tidak terulang. Investasi di bidang kesehatan kiranya memang harus menjadi skala prioritas dan fokus perhatian serius pemerintah, siapa pun pemimpinnya yang terpilih kelak. Wasalam.