JIKA ada yang bilang bahwa sepak bola seperti agama di Brasil, hal itu memang tidak berlebihan. Faktanya jika ada dua atau tiga orang tengah berkumpul, yang mereka obrolkan pastilah soal sepak bola. Hampir semua orang Brasil memiliki klub favorit yang merupakan klub lokal. Bahkan jika ada orang asing yang bergabung pun mereka akan 'dipaksa' untuk memilih klub-klub lokal seperti Flamengo, Santos, Corinthians, Palmeira dan lain-lain.
Begitu gemarnya masyarakat Brasil pada sepak bola, sehingga kemudian olahraga itu dikonotasikan sebagai agama kedua di negara Amerika Latin tersebut. Meski begitu hasilnya paralel. Brasil banyak melahirkan bintang sepak bola dunia.
Nama-nama seperti Pele, Zico, Ronaldo, Roberto Carlos, Kaka, Ronaldinho, atau Neymar hanyalah sebagian kecil dari bintang the Selecao. Bukan itu saja, para pemain mereka juga tersebar hampir di semua liga di seluruh dunia. Mereka juga tidak pernah berhenti melahirkan bintang-bintang sepak bola yang siap menyihir dunia.
Itu sebabnya kita sangat senang saat mengetahui tim muda Brasil akan main di ajang Piala Dunia U-20 di Indonesia. Ditambah lagi dengan kehadiran negara-negara raksasa sepak bola lainnya seperti Prancis, Italia, Inggris, atau Uruguay. Tentu menyenangkan menyaksikan aksi dari para calon penerus megabintang Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.
Sayang seribu sayang, ajang prestius itu dipastikan batal. Akibat adanya penolakan dari beberapa organisasi kemasyarakatan dan sejumlah kepala daerah soal kedatangan timnas Israel yang merupakan sebagai salah satu negara peserta ke Tanah Air. Otoritas tertinggi sepak bola dunia FIFA pun akhirnya memutuskan untuk membatalkan posisi Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
Sebagai penggemar sepak bola, saya tentu sangat menyesalkan kejadian tersebut. Karena belum tentu 15 atau 25 tahun atau bahkan 50 tahun lagi kita bisa kembali mendapat kesempatan menggelar ajang tersebut. Namun saya tidak berpolemik jika ada pihak yang menolak kehadiran timnas Israel, karena itu masalah prinsip.
Cuma sangat disayangkan jika penolakan mereka dibalut sentimen politik apalagi dibumbui agama. Apalagi Presiden Joko Widodo sendiri sudah menegaskan bahwa keikutsertaan tim nasional (timnas) Israel dalam ajang olahraga tersebut, tidak ada kaitannya dengan konsistensi posisi politik luar negeri Indonesia terhadap Palestina.
"Saya menjamin keikutsertaan Israel tidak ada kaitannya dengan konsistensi posisi politik luar negeri kita terhadap Palestina, karena dukungan kita kepada Palestina selalu kokoh dan kuat," ujar Presiden dalam keterangannya, Selasa (28/3) di Istana Merdeka, Jakarta dikutip dari laman daring presidenri.go.id.
Tidak merugikan
Sebelumnya, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya juga mempertanyakan masyarakat yang menolak kehadiran timnas Israel. Dia menilai kedatangan timnas tersebut ke Indonesia tidak merugikan posisi Palestina.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Pusat M Jusuf Kalla juga mengatakan bahwa Indonesia seharusnya bisa mengambil kesempatan Piala Dunia U-20 sebagai momentum upaya perdamaian Palestina dan Israel. Kedatangan tim nasional (timnas) Israel dalam ajang FIFA itu bukti peran aktif Indonesia dalam memperjuangkan hak bangsa Palestina.
"Jadi kalau Indonesia menerima kehadiran Israel dalam keikutsertaannya di Piala Dunia U-20, justru menunjukkan peran aktif Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Palestina, melalui jalur dialog untuk perdamaian kedua pihak," tegas JK dikutip mediaindonesia.com.
Sebaliknya, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang sebelumnya menolak keikutsertaan Israel, mengaku menyesal dan bersedih dengan keputusan FIFA yang membatalkan status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
"Kami sangat menyesalkan dan bersedih bahwa akhirnya FIFA membatalkan status tuan rumah Piala Dunia U-20. Ini tentu menjadi pelajaran berharga," ujar Hasto dikutip kantor berita Antara.
Namun terlepas dari polemik tersebut, nasi sudah menjadi bubur. Keputusan pun sudah diambil. Penyesalan memang selalu datang paling akhir. Namun setidaknya hal ini mungkin jadi jalan terbaik bagi bangsa Indonesia untuk berpikir ke depan. Apalagi jika bermimpi ingin mencalonkan diri sebagai tuan rumah olimpiade.
Dengan pembatalan ini juga setidaknya kegaduhan hanya terjadi di dunia maya dan antarwarganet. Sementara situasi dan kondisi nasional tetap kondusif. Kini kita hanya tinggal berharap sepak bola Indonesia tidak terkena sanksi yang berat dan denda yang besar dari FIFA. Karena jika terjadi, bisa dipastikan akan menjadi mimpi buruk kedua bagi pesepakbolaan nasional.
Sejarah mencatat bahwa pada 2015 Indonesia pernah diberi sanksi oleh FIFA. Hukuman itu kemudian dicabut pada 2016 atau setahun kemudian. Namun, akibatnya Indonesia tidak bisa bertanding di babak kualifikasi Piala Dunia 2018 dan Piala Asia 2019.