30 March 2023, 09:15 WIB

Menanti Masa Suram Sepakbola Nasional


Eko Suprihatno, Editor Harian Media Indonesia |

ALINEA pertama Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 berbunyi, 'Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.'

Dalil inilah yang menjadikan sebagian masyarakat menolak kehadiran tim sepak bola Israel dalam gelaran Piala Dunia U-20 yang bakal dihelat di Indonesia, 20 Mei-11 Juni 2023. Selain itu kebijakan luar negeri Indonesia pun tak pernah berubah sejengkal pun terkait dengan kemerdekaan Palestina, negeri yang hingga kini masih berkonflik dengan Israel.

Dengan kata lain, apapun kegiatannya, kalau sudah bersentuhan dengan Israel, sebisa mungkin tidak dilakoni termasuk di olahraga. FIFA, sebagai pemilik gelaran Piala Dunia U-20 sejatinya sudah mengumumkan Israel lolos sebagai peserta pada akhir Juni 2022. Akan tetapi, penolakan di Indonesia baru santer pada Maret ini atau berselang hampir satu tahun. Inilah yang dinilai ada tendensi politis terkait hajat akbar Pemilu 2024. 

Sejatinya, Indonesia ditabalkan sebagai tuan rumah pada 2019 untuk perhelatan 2021 setelah mengalahkan niat Brasil dan Peru. Namun, pandemi covid-19 yang membuat gelaran ini diundur hingga 2023. Untuk mendapatkan posisi itu tak mudah karena harus melampirkan jaminan resmi dari pemerintah. Pada Agustus 2019 Presiden Joko Widodo menandatangani jaminan itu disertai surat jaminan dari Menteri Keuangan, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informasi, serta Kapolri.

Persiapan demi persiapan pun dilakukan dan sejumlah kepala daerah yang memiliki stadion sebagai tempat hajat akbar pun sudah menyatakan kesiapannya; Jakabaring (Palembang/Sumsel), Gelora Bung Karno (Jakarta), Si Jalak Harupat (Bandung/Jabar), Manahan (Solo/Jateng), Gelora Bung Tomo (Surabaya/Jatim), dan Kapten I Wayan Dipta (Gianyar/Bali).

Semua itu menjadi buyar seketika ketika Gubernur Bali I Wayan Koster pada Selasa (14/3) menyatakan sikap menolak Israel berlaga di Bali. Dia menjilat ludahnya sendiri setelah Januari 2023 menyatakan siap mendukung ajang itu di Pulau Dewata. Setali tiga uang dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang mengungkapkan hal serupa pada Kamis (23/3). Kedua mendasari penolakan itu karena mengikuti teriakan Bung Karno di masa lalu terkait dengan Israel.

Kalau akhirnya FIFA membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah, tak lepas dari penolakan dua gubernur tersebut. Aroma politik pun menyeruak karena masih banyak yang menganggap olahraga dan politik tak bisa dipisahkan. Bahkan ada juga yang menyebutkan politik dan olahraga tak boleh disatukan. Semua sah-sah saja dan punya dalil masing-masing. 

Penolakan terhadap Israel memang menjadi isu yang seksi dimainkan. Sentimen terhadap negeri zionis tersebut selalu muncul karena dianggap menganeksasi Palestina. Politik Indonesia tak mundur sejengkal pun terkait kemerdekaan Palestina, dan itu disuarakan di berbagai forum internasional.

Ketika sepakbola akhirnya terkena imbas, pada akhirnya bukan pemerintah yang melarang tim Israel tampil, tapi karena regulasi FIFA yang harus ditaati setiap anggotanya. Indonesia tidak mengundang tim ini dan juga tim-tim lain, tapi menjadi hak mereka untuk tampil karena lolos kualifikasi.

Bukan hal baru

Tak bisa dipungkiri bahwa politik kerap mengintervensi sepak bola dan menjadikan sebagai pertaruhan. Jangan heran kalau hal ini selalu runyam. Padahal kalau menyoal Israel, Indonesia bukan sekali dua kali kedatangan delegasi resmi. Simak saja di Nusa Dua Bali pada 20-24 Maret 2022 ada sidang Inter-parliamentary Union (IPU) ke-144 dan dihadiri Knesset (DPRnya Israel). Toh Koster enggak menolak tuh. Enggak ada juga unjuk rasa penolakan, legislator Senayan pun dingin-dingin saja. 

Atau kisah yang lain ketika pebulutangkis Misha Zilberman tampil di kejuaraan dunia di Istora Senayan pada 11 Agustus 2015. Kemudian ada Yuval Shemla dan Noa Shiran berlaga di kejuaraan dunia panjat tebing 2022 di SCBD, 24-26 September 2022. Begitu juga dengan tiga pembalap sepeda yang tampil di UCI Track Cycling Nations Cup 2023 di Velodrome, Rawamangun, Jakarta pada 23-26 Februari 2023. 

Untuk hal yang lain misalnya, dalam buku Menari di Angkasa yang merupakan biografi mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Marsekal Muda Djoko Poerwoko terungkap pada 1980 beberapa penerbang tempur TNI AU mendapat pelatihan di Israel. Operasi ini bersifat rahasia karena dua negara ini memang tak memiliki hubungan diplomatik.

Barangkali untuk hal yang lain pun Indonesia tak pernah secara terbuka punya hubungan dengan Israel. Kecuali Gus Dur yang terang-terangan pada 1994 pernah diundang secara langsung oleh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin untuk menyaksikan penandatanganan perjanjian damai antara Israel dan Yordania. Saat ini, Israel berencana mencaplok wilayah Tepi Barat yang sudah berdiri banyak permukiman Yahudi, terutama di Yerikho dan Lembah Yordania. Permukiman tersebut dinilai banyak pihak sebagai permukiman ilegal. (gusdurian.net)

Bila melihat konteks keolahragaan, sejatinya timnas Palestina pernah dilatih orang Israel, Azmi Nassar. Bahkan sentuhan Nassar sukses membawa tim ini menyabet medali perunggu di Pesta Olahraga Arab 1999 di Amman, Yordania.

Nah, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun, pun memahami posisi Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20. Mereka juga tak mempermasalahkan kehadiran Israel karena melalui cara yang sah dan sesuai aturan. Katanya, hal ini tak terkait dengan suka tidak suka dari suatu negara dalam sebuah kompetisi yang berjalan sesuai aturan yang berlaku.

Bagaimana dengan politik di Timur Tengah? Geopolitik saat ini jelas berbeda ketika masa Bung Karno dulu. Bahwa Palestina adalah negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Indonesia pada 6 September 1944, fakta yang tak bisa dibantah. Artinya, sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, mereka sudah mengakui Indonesia secara de facto.

Jangan juga dilupakan, kini sejumlah negara-negara Arab pun mulai menjalin hubungan diplomatik atau setidaknya mulai terlibat dialog dengan Israel. Sejauh ini ada puluhan negara yang tak mengakui Israel sebagai negara, di antaranya dua dari ASEAN yaitu Indonesia dan Malaysia.

Rasanya patut juga didengar pendapat Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla. Ia menyebut ajang Piala Dunia U-20 mestinya bisa menjadi momentum bagi Indonesia sebagai tuan rumah untuk mengajak Israel dan Palestina menuju meja perundingan. Indonesia seharusnya bisa mengambil momentum upaya perdamaian Palestina dan Israel. 

Tapi semua sudah terlambat karena FIFA memutuskan membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah. Kini kita tinggal menunggu saja apa sanksi yang akan dijatuhkan untuk Indonesia. Kalau akhirnya negeri ini dilarang mengikuti kegiatan sepak bola dunia, begitu juga dengan banyak cabang olahraga lainnya untuk berlaga di tingkat internasional, apakah para penolak tim U-20 Israel itu mau bertanggung jawab?

BERITA TERKAIT