24 March 2023, 05:05 WIB

Gerbang Kemenangan Bashar Al-Assad


Hasibullah Satrawi Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam |

KUNJUNGAN Presiden Suriah Bashar al-Assad ke Rusia, Rabu (15/3), mendapatkan perhatian besar dari banyak media. Tidak semata-mata karena Rusia sedang bertempur secara habis-habisan melawan Ukraina (sekaligus negara-negara Barat), tetapi juga karena posisi dan citra politik Assad selama ini belum sepenuhnya pulih. Alih-alih, Assad dan Suriah dalam beberapa tahun terakhir diisolasi nyaris secara total oleh masyarakat dunia, termasuk dunia Arab dan Islam.

Namun, situasi politik belakangan tampak mulai berubah dan berpihak kepada Assad. Persisnya, setelah sebagian wilayah Suriah dan Turki dilanda gempa besar pada 6 Februari lalu. Dengan alasan kemanusiaan untuk membantu masyarakat Suriah yang terkena gempa, masyarakat dunia mencoba berhubungan kembali dengan otoritas Suriah di bawah kepemimpinan Assad.

Menurut salah satu media di kawasan, tidak lama setelah terjadinya gempa, Menteri Luar Negeri Yordania melakukan kunjungan ke Damaskus. Sementara itu, Presiden Mesir Abdul Fattah as-Sisi diberitakan sempat menelepon Bashar al-Assad, dan membahas dampak gempa yang ada (As-Sharq Al-Awsat, 19/2). Bahkan, Menteri luar negeri Arab Saudi diberitakan sempat melakukan kunjungan ke Suriah, walaupun berita ini kurang mendapatkan respons dari Kerajaan Arab Saudi.

Dalam perkembangan terbaru, beberapa negara Arab yang awalnya ikut mengisolasi Suriah mulai mewacanakan menormalisasi hubungan, sekaligus mengembalikan status keanggotaan Suriah di Liga Arab. Bahkan, sebagian negara Eropa mewacanakan pentingnya mengkaji ulang kebijakan “tiga tidak” untuk rezim Bashar al-Assad di Suriah (al-la’at al-urubiyah), yaitu tidak menjalin hubungan dengan Suriah, tidak terlibat dalam pembangunan Suriah kembali, dan tidak mengangkat sanksi dari rezim Bashar al-Assad di Suriah.

Desakan untuk mengkaji ulang kebijakan di atas, dimaksudkan untuk mempermudah upaya bantuan kemanusian ke wilayah-wilayah yang terdampak gempa di Suriah. Khususnya, di bagian utara yang dahulu menjadi salah satu basis kelompok teroris bernama IS.

Inilah “peristiwa politik langka” yang belakangan mulai biasa terjadi kembali di Suriah. Dikatakan sebagai peristiwa politik langka, tak lain karena semenjak terjadi Arab Spring di Suriah (2011) yang kemudian dilanjutkan dengan perang panjang melawan IS banyak negara mengisolasi Suriah, mulai Amerika Serikat (AS), negara-negara Eropa, hingga negara-negara Arab-Islam dan negara-negara Timur Tengah yang notabene bertetangga dengan Suriah.

Dengan kata lain, Arab Spring dan keberadaan IS di Suriah telah membuat negeri ini terisolasi dari percaturan politik regional dan juga global. Pada masa-masa tersebut, Suriah hanya berhubungan dengan pihak-pihak yang loyal dan menjadi sekutu rezim Bashar al-Assad, mulai Rusia, Iran, hingga Hizbullah di Libanon. Inilah sekutu Bashar al-Assad yang dengan penuh setia membantu Suriah pada masa-masa sulit; menghadapi Arab Spring (kelompok revolusi), menghadapi IS, dan sekaligus menghadapi sekutu AS yang tidak menerima pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah.

Bila Arab Spring dan IS hampir membuat Assad kehilangan segalanya, gempa besar yang terjadi mutakhir di Suriah, secara politik, justru hampir memberikan semuanya kembali bagi Assad. Kini Assad mulai beraktivitas kembali laiknya seorang presiden, termasuk melakukan kunjungan resmi ke Rusia seperti dilakukan pada 15 Maret kemarin.

Dalam konteks seperti ini bisa dikatakan gempa besar yang terjadi di sebagian Turki dan Suriah tak hanya memberikan dampak positif secara politik bagi Assad. Lebih daripada itu, gempa ini bisa menjadi gerbang kemenangan bagi Assad. Hingga pemerintahan Assad bisa menguasai Suriah kembali seutuhnya dan berhubungan dengan negara-negara luar kembali.

Bila pada akhirnya Assad benar-benar bisa mendapatkan kekuasaannya kembali di Suriah, kemenangan ini bisa disebut sebagai kemenangan taktik jangka panjang, yang dijalankan secara rapi oleh Suriah bersama sekutu-sekutunya; Rusia, Iran, dan Hizbullah. Hingga Assad berhasil menjadi pemenang dalam satu perang melawan tiga musuh sekaligus, yaitu musuh pertama, masyarakat Suriah yang pada awalnya menuntut Bashar al-Assad untuk mundur sebagai presiden seperti dialami Zainal Abidin di Tunisia, Hosni Mubarak di Mesir, dan Qadafi di Libya.

Musuh kedua ialah AS bersama segenap sekutunya yang sejak awal Arab Spring memihak kelompok revolusi/masyarakat Suriah melawan pemerintahan rezim Bashar al-Assad. Musuh ketiga ialah kelompok IS dan kelompok jihadis lainnya yang datang ke Suriah akibat penerapan strategi perang sektarian; perang Suriah dicitrakan sebagai perang kelompok Sunni melawan kelompok Syiah.

Dalam hemat penulis, musuh ketiga inilah yang justru membuat Assad bersama sekutunya berhasil mengalahkan dua musuh yang sebelumnya sulit ditaklukkan. Dengan kata lain, keberadaan IS dan kelompok jihadis lain di Suriah sesungguhnya menjadi faktor utama kemenangan Assad, melawan kelompok revolusi dan sekutu AS. Dengan adanya IS dan kelompok jihadis lainnya di Suriah, sekutu AS tak lagi fokus kepada pemerintahan Assad. Dengan keberadaan IS dan kelompok jihadis lain di Suriah, legitimasi kelompok revolusi sebagai pejuang rakyat Suriah menjadi runtuh, bahkan berbalik dianggap menjadi pejuang kelompok teroris.

 

Titik balik

Singkat kata, keberadaan IS yang pada awalnya hendak melengserkan Bashar al-Assad (bersama-sama kelompok revolusi), justru menjadi titik balik bagi kemenangan Assad secara perlahan. Meminjam istilah yang sering digunakan oleh salah satu mantan pelaku terorisme, misi kelompok jihadis yang awalnya hendak memerangi musuh-musuh Islam justru berbanding lurus, bahkan memberikan keuntungan bagi mereka yang disebut sebagai musuh Islam.

Dalam konteks krisis politik di Suriah, kelompok jihadis mulai masuk ke Suriah (termasuk IS) setelah konflik yang terjadi dikesankan sebagai konflik sektarian (sebagaimana telah dijelaskan), tapi sebagaimana terlihat sekarang, keberadaan kelompok-kelompok jihadis di Suriah (khususnya IS) justru memberikan keuntungan bagi Assad dan sekutunya yang dianggap sebagai “musuh Islam” oleh kelompok jihadis yang ada. Dengan adanya kelompok jihadis di Suriah, menjadi terbukti bahwa rezim Assad memang berperang melawan kelompok teroris (bukan revolusi rakyat).

Hal terpenting, dengan adanya kelompok jihadis di Suriah, rezim Assad berhasil mengalihkan fokus AS bersama negara-negara sekutunya kepada kelompok ini daripada kepada rezimnya. Inilah salah satu gerbang kemenangan Assad. Namun demikian, gerbang kemenangan utama Assad ialah gempa karena gempa inilah yang membuat Assad kembali mendapatkan citra dan posisinya sebagai Presiden Suriah.

Namun, gerbang tetaplah gerbang. Ia bisa terbuka, juga bisa tertutup. Apakah gerbang kemenangan Assad akan terus terbuka ke depan? Belum dapat dipastikan. Apalagi ada tanda-tanda api revolusi berusaha dipantik kembali di Suriah, sebagaimana terlihat dari aksi demonstrasi besar-besaran dalam rangka memperingati 12 tahun revolusi Suriah yang bersamaan dengan kunjungan Assad ke Rusia.

BERITA TERKAIT