15 March 2023, 13:20 WIB

Kualitas Dokter dan Larinya Pasien ke Luar Negeri


Berlian I. Idris - Dokter Jantung, Pengurus IDI Tangerang dan Policy Center ILUNI FKUI |

BERAGAM alasan masyarakat berobat ke luar negeri; di antaranya adalah ketidakpuasan atas kualitas dokter di Indonesia. Dua orang pesohor, seorang komika, serta menantu almarhum Wapres RI kelima Sudharmono, menceritakan ‘kesalahan’ penanganan dokter di Indonesia yang terungkap saat pasien berobat ke luar negeri. Saya menggunakan tanda kutip, karena kita perlu mengedepankan asas praduga tak bersalah.

Kasus tersebut, dan kasus lain di mana penanganan dokter ‘bermasalah’, perlu dibahas secara objektif kemudian hasilnya diumumkan ke publik. Pemerintah selaku regulator perlu mengundang pasien dan dokter terkait, organisasi profesi dokter dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.

Bila memang ada kesalahan, pelaku perlu dihukum. Bila ternyata tidak, maka dokter tersebut harus dipulihkan nama baiknya. Ini penting agar dokter bisa belajar dari kasus tersebut, dan kepercayaan publik dapat dikembalikan.

Saat ada kritik terhadap profesionalisme dokter, komunitas dokter tidak perlu membela diri secara berlebihan. Kritik memang pedas; namun layaknya nasi Padang, ia juga menggairahkan. Masyarakat juga perlu tetap objektif.

Memantau percakapan di media sosial, saya melihat masyarakat cukup adil, tidak serta merta menganggap dokter bersalah, dan tidak menggebyah uyah, seolah seluruh dokter Indonesia payah.

Pemerintah sebagai regulator tentu perlu melihat lebih utuh hal-hal yang berperan dalam profesionalisme dokter. Selain faktor dokter, banyak hal lain yang menyebabkan masyarakat berobat ke luar negeri.

Jika yang bermasalah adalah kualitas pendidikan dokter secara umum, Pemerintah bersama dengan Kolegium Dokter Indonesia perlu mengkaji kurikulum dan metode pendidikan dokter saat ini. Untuk oknum dokter yang memang tidak profesional, Pemerintah perlu membuat hotline tempat masyakarat mengadu dengan kerahasiaan terjamin. Agar strategi ‘viralkan di medsos untuk mendapat penyelesaian’ tidak menjadi jalan keluar utama masyarakat.

Permasalahan lain adalah distribusi dan beban kerja dokter di Indonesia, khususnya di daerah perifer. Kita prihatin dan menghaturkan doa tulus untuk almarhumah dan keluarga dr. Mawartih Susanthy, satu-satunya dokter paru (!) di Papua Tengah, yang minggu lalu diduga kuat dibunuh.

Dokter juga manusia; faktor keselamatan dan kesejahteraan dalam maknanya yang luas, menjadi pertimbangan kuat dalam memilih di mana ia akan berkarya. Tidak boleh lagi ada pemikiran: karena sudah disumpah untuk mengabdi, dokter harus siap menderita.

Pembangunan rumah sakit internasional mungkin saja bisa menjadi solusi untuk ‘mencegah’ pasien berobat ke luar negeri. Jika mempelajari rumah sakit di luar negeri yang menerima banyak pasien dari luar negaranya, bukanlah status internasional yang mendatangkan pasien, namun kultur profesionalisme dan hospitality yang kuat dan terbangun sejak lamalah yang menjadi daya tarik. Selain itu, motif berwisata ke luar negeri menjadikan berobat atau periksa kesehatan perjalanan yang menyenangkan.

Sudah banyak kajian mengenai pasien yang berobat ke luar negeri. Layaknya nyeri dada pada serangan jantung, membalur minyak angin dapat membantu meredakan, namun tentu tidak menyembuhkan. Jangan pula salah diagnosis dikira masuk angin. Masyarakat tentu berharap Pemerintah dapat memberikan solusi yang tepat dan utuh atas permasalahan ini.

BERITA TERKAIT