15 March 2023, 05:00 WIB

Tantangan Ketahanan Keluarga Abad Kedua ‘Aisyiyah-Muhammadiyah


Rita Pranawati Bendahara Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, dosen FISIP UHAMKA Jakarta |

‘AISYIYAH dan Muhammadiyah abad kedua menghadapi tantangan ketahanan keluarga. Perubahan sosial yang dinamis, kehadiran teknologi di era digital, dan globalisasi memberikan pengaruh terhadap tingkat ketahanan keluarga di Indonesia. Pandemi covid-19 juga hadir lebih dari dua tahun dan menguji ketahanan keluarga Indonesia. Di Indonesia sebanyak 91,2 juta keluarga (Susenas 2020) dan 68,4 juta keluarga terdata by name by address (BKKBN, 2021) memiliki kompleksitas ketahanan keluarga yang sangat beragam di seluruh wilayah Indonesia.

Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam membangun bangsa dan peradaban. Keluarga merupakan pranata sosial, pendidikan, serta agama yang fundamental dalam struktur sosial. Keluarga menjadi tempat pertama bagi anak bersosialisasi, membentuk kepribadian, serta berkenalan tentang banyak hal seperti nilai agama, akhlak, perilaku yang baik, dan berbuat kebaikan. Keluargalah tempat seseorang bertumbuh mendapatkan pengasuhan, kasih sayang, dan membangun kepercayaan diri agar menjadi pribadi yang mulia. Sumber daya manusia Indonesia berawal dari keluarga. Oleh karenanya, keluarga menjadi pilar pembangunan bangsa.

Ketahanan keluarga dibangun dengan beragam syarat. Kondisi ketangguhan keluarga di antaranya ditentukan nilai yang menjadi keyakinan, kondisi relasi keluarga, ekonomi, dan kesehatan, yang bermuara pada kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga. Syarat-syarat tersebut seolah sederhana, tetapi dalam praktiknya membutuhkan kerja keras dari semua pihak agar sebuah keluarga tidak hanya baik di awal, tetapi juga dapat terus mencapai kebahagiaan dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Tantangan yang beragam

Keluarga Indonesia memiliki tantangan yang beragam dan kompleks. Perkawinan anak masih menjadi momok pembentukan keluarga yang tidak ideal. Kerentanan keluarga yang dihasilkan dari perkawinan anak terjadi karena ketidaksiapan mereka menjalani perkawinan dan memiliki anak. Dengan perkawinan anak, sejatinya kita mempertaruhkan SDM Indonesia sekaligus membiarkan potensi perceraian menjadi tinggi. Selain itu, perkawinan tidak tercatat menjadi pekerjaan rumah tersendiri karena akan berdampak pada pemenuhan hak perempuan dan anak. Tanpa perkawinan yang tercatat, hak anak dan perempuan semakin lemah secara hukum dan merugikan posisi mereka.

Rapuhnya ketangguhan keluarga dalam menghadapi beragam dinamika hidup, di antaranya ditandai dengan masih tingginya perceraian. Kamar Agama Mahkamah Agung (2022) mencatat adanya fluktuasi kasus perceraian antara 2019 dan 2021, tetapi angkanya masih terbilang tinggi. Kasus perceraian berjumlah kurang lebih 332 ribu-403 ribu cerai gugat dan 113 ribu-121 ribu cerai talak di seluruh wilayah Indonesia. Perceraian memang dibolehkan dalam ajaran agama, tetapi hendaknya menjadi pilihan terakhir, serta melakukan upaya-upaya konseling dan mediasi terlebih dahulu.

Perubahan sosial yang terjadi sejak era industrialisasi, era globalisasi, hingga era digital juga berpengaruh kepada kehidupan individu dan keluarga. Meningkatnya pendidikan perempuan dan partisipasi perempuan di ruang publik sering kali belum diikuti perubahan pandangan tentang fleksibilitas peran dalam keluarga. Dalam keluarga, pandangan kesetaraan tentang relasi pasangan sering kali sulit diterima karena mengakarnya nilai tradisional atau pandangan keagamaan yang kurang moderat. Hal itu sangat berpengaruh terhadap cara pandang dan praktik berkeluarga, yang berdampak pada ketangguhan keluarga.

Globalisasi dan digitalisasi juga berpengaruh pada konsep dan praktik berkeluarga. Migrasi salah satu anggota keluarga atau seringkali disebut long distance marriage (LDM), pola komunikasi virtual, dan kelekatan model 'digital' menjadi warna kehidupan keluarga. Migrasi temporer salah satu pasangan yang dulu sering kali berprinsip keluarga ideal ialah tinggal satu rumah semakin sering kita jumpai. Konsep makna berkeluarga terus terkembang sesuai dengan perubahan zaman. Dalam konteks komunikasi keluarga, tidak jarang, dalam satu rumah berkomunikasi menggunakan gawai. Komunikasi digital antaranggota keluarga yang banyak dipraktikkan dewasa ini secara perlahan mengubah makna 'kelekatan' itu sendiri.

MI/Seno

 

Komitmen program keluarga sakinah

Sejak berdirinya, ‘Aisyiyah menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitra dalam berdakwah sekaligus dalam membangun keluarga. Membangun sumber daya manusia keluarga tidak bisa hanya menitikberatkan pada perempuan, tetapi juga kepada laki-laki. Kemitraan, sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan Khadijah, tergambar dalam sejarah Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah dalam menempatkan perempuan dalam mewujudkan keluarga sakinah dan berdakwah.

Dalam sejarah ‘Aisyiyah, keluarga menjadi tema penting dan menjadi program prioritas sepanjang masa. Kongres Bagian ‘Aisyiyah ke-29 pada 1940 di Purwokerto membuat keputusan penting tentang keluarga, yaitu, pertama, ‘Aisyiyah bekerja sama dengan Muhammadiyah memberi pengetahuan kepada laki-laki dan perempuan, tentang hak dan kewajiban keduanya. Kedua, menerbitkan buku tentang tuntunan mencapai rumah tangga yang tenteram. Ketiga, menetapkan juru nasihat untuk menengahi perselisihan antara suami istri. Hisako Nakamura (1983) menemukan bahwa ibu-ibu ‘Aisyiyah di Kotagede berperan sebagai konselor dan mediator perkawinan, baik melalui BP4 maupun sebagai aktivis ‘Aisyiyah.

Keluarga merupakan isu yang sangat penting bagi peradaban bangsa. Kuntowijoyo (1991) menegaskan ‘Aisyiyah tetap menempatkan urusan keluarga menjadi prioritas program yang terus disesuaikan dengan tantangan zamannya. Pembaruan ‘Aisyiyah dalam ketahanan keluarga diwujudkan dalam penerbitan buku Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah (1989).

Pandangan ‘Aisyiyah yang progresif tentang prinsip perkawinan di antaranya monogami sebagai keutamaan berkeluarga. Bersikap adil dan mendatangkan kemaslahatan jika dibandingkan dengan madharat lebih baik bagi keluarga dan merupakan jalan untuk mencapai ketakwaan. Prinsip yang lain ialah pengakuan keberadaan negara dalam pencatatan perkawinan dan perceraian. Perkawinan dan perceraian yang tercatat merupakan bentuk sikap ‘Aisyiyah dalam menguatkan posisi perempuan dan anak serta perlindungan hak-hak mereka.

 

Memperkuat ketahanan keluarga

Kelentingan keluarga dalam menghadapi berbagai problem yang dihadapi menjadi hal yang harus diupayakan. Upaya tersebut bertujuan agar keluarga Indonesia memiliki daya lenting yang baik ketika menghadapi beragam problem, mengingat bahwa setiap fase di dalam perkawinan memiliki tantangan yang berbeda. Apa pun tantangan yang dihadapi keluarga, jika keluarga dibangun atas dasar keimanan, penyelesaiannya menggunakan nilai kemaslahatan. Hal itu disebabkan perkawinan bukanlah soal komitmen duniawi semata, melainkan juga menjadi jalan mencapai tujuan akhirat.

Keluarga sakinah dalam perspektif ‘Aisyiyah dibangun atas asas-asas yang menguatkan keluarga. Pertama, karamah insaniyyah, menempatkan pasangan sebagai manusia yang memiliki kemuliaan sebagai hamba Allah, yang sama-sama memiliki kedudukan utama. Prinsip menghargai kemulian manusia mengajarkan bahwa sesama pasangan dan anggota keluarga harus saling menghargai, menghormati, mendukung, berlaku adil, tidak melakukan kekerasan, dan mendukung pengembangan potensi.

Kedua, hubungan kesetaraan, yaitu bahwa seluruh anggota keluarga memiliki nilai kemanusiaan yang sama. Dengan nilai tersebut, muncullah sikap saling memahami, toleran, menghargai dan membuka ruang dialog.

Ketiga, asas keadilan yang tidak hanya teori, tetapi juga dipraktikkan kepada seluruh anggota keluarga yang meliputi hak diri dan pemenuhan kebutuhan jasmani rohani sebagai manifestasi ketakwaan.

Keempat, asas mawaddah wa rahmah, yaitu membangun keluarga sebagai tempat yang nyaman, tenteram, aman dan damai, serta saling memberikan kasih sayang.

Kelima, pemenuhan kebutuhan hidup sejahtera dunia akhirat dengan melakukan pemenuhan spiritual, pendidikan, ekonomi, sosial, kesehatan serta lingkungan.

Intervensi mewujudkan keluarga sakinah harus dilakukan sebelum dan selama perkawinan. ‘Aisyiyah perlu menyiapkan anak-anak agar mereka terhindar dari perkawinan anak. Mereka belajar menyiapkan diri menjadi pribadi yang mulia, memahami adab relasi laki-laki dan perempuan, serta norma berkeluarga.

Pelatihan bimbingan perkawinan diberikan kepada mereka yang akan menikah, dengan tujuan memahami prinsip dasar agama dalam membangun keluarga, membangun kesalingan dalam kehidupan keluarga, mengelola konflik, manajemen keuangan, pemahaman tentang kesehatan reproduksi, serta persiapan menjadi orangtua. Pelatihan hendaknya mengarah kepada keterampilan calon pasangan untuk berkomunikasi, menyampaikan pendapat, mengambil keputusan, hingga belajar mencari solusi bersama.

Dalam hal keuangan, pasangan belajar tentang perencanaan sumber pendapatan dan pengelolaan ekonomi keluarga agar lebih efisien dan manfaat. Training kewirausahaan sebagai bekal ketangguhan ekonomi keluarga dapat diberikan kepada calon pasangan yang membutuhkan. Dalam hal kesehatan reproduksi, pasangan dapat menghargai fungsi reproduksi pasangan, menjaga kesehatan, serta menyiapkan anak-anak yang sehat bebas stunting.

Fase perkawinan menjadi fase yang krusial dengan dinamika problem tiap keluarga. Peran ‘Aisyiyah menyediakan pelatihan dan konseling keluarga menjadi sangat penting karena dinamisnya kehidupan keluarga. Media digital dapat digunakan sebagai medium konsultasi dan edukasi agar para pasangan belajar untuk terbuka dalam komunikasi serta memiliki keberanian dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah keluarga. Sering kali, pasangan mencari bantuan ketika persoalan keluarga sudah dalam situasi yang kompleks.

Selain itu, penguatan pemahaman tentang pengasuhan dalam keluarga memiliki makna yang penting, apalagi anak-anak tumbuh di era media sosial. Seberapa pun dinamisnya perubahan sosial dan teknologi, anak-anak membutuhkan kedua orangtua mereka untuk mengasuh. Anak yang saleh dan salehah lahir dari orangtua yang tangguh.

Usaha ‘Aisyiyah mewujudkan keluarga Indonesia menjadi keluarga sakinah masih terus menjadi khidmat prioritas ‘Aisyiyah abad kedua. Kehadiran sosialisasi hukum tentang keluarga melalui Posbakum ‘Aisyiyah, pelatihan keluarga melalui Bina Keluarga Sakinah (Biksa), dan Gerakan ‘Aisyiyah Cinta Anak (GACA) harus terus dimasifkan dan didiversifikasi bentuk layananannya di seluruh Indonesia.

Salah satu isu strategis kebangsaan, yang diputuskan Muhammadiyah dalam muktamar yang lalu ialah memperkuat ketahanan keluarga. Dalam pandangan Muhammadiyah, keluarga memiliki peran yang signifikan dalam menanamkan nilai, pengetahuan, dan akhlak bagi generasi masa depan. Perubahan sosial telah memengaruhi dan 'melemahkan' peran keluarga sebagai lembaga yang memiliki peran pendidikan, pengasuhan, dan penguatan keagamaan. Munculnya kebijakan Muhammadiyah tentang keluarga menegaskan bahwa isu keluarga merupakan kepentingan seluruh elemen bangsa, bukan hanya urusan ‘Aisyiyah atau perempuan.

Isu keluarga yang terus memiliki tantangan sesuai dengan zamannya menjadi perhatian Muhammadiyah. Perubahan struktur keluarga yang cenderung semakin mengecil menjadi keluarga inti, keengganan berkeluarga, hingga kerentanan perceraian pada keluarga muda, masih tingginya perkawinan anak, situasi ekonomi, dan perkawinan tidak tercatat menjadi tantangan keluarga Indonesia. Tantangan yang lain ialah masih kurangnya edukasi agar keluarga menjadi tangguh, dalam menghadapi beragam risiko.

Ketahanan keluarga dapat dilakukan dengan pemenuhan kebutuhan material dan spiritual, pembinaan agama dan pendidikan demi menjaga keluarga agar tetap penuh kasih sayang, damai dan harmonis. Penguatan keluarga melalui penyediaan konsultasi keluarga, advokasi, dan pendampingan sosial diharapkan menjadi usaha menjaga ketahanan keluarga Indonesia.

Pada akhirnya, keluarga tempat kita kembali tetaplah menjadi salah satu elemen penting dalam melakukan pembangunan bangsa.

BERITA TERKAIT