12 February 2023, 05:00 WIB

Mengurai Pola Pikir


Adiyanto Wartawan Media Indonesia |

SEBUAH foto yang saya lihat di sebuah situs berita online memperlihatkan kemacetan di sebuah ruas jalan di Jakarta. Antrean mobil dan motor terlihat mengular. 'Pengendara Kena Macet di Jakarta: 4 Jam Stuck, Bisa Makan dan Nonton Netflix'. Begitu judul berita yang diunggah situs tersebut pada Jumat, 10 Februari 2023, pukul 18.33 WIB. Namun, pada caption (keterangan foto), tertulis Kamis (9/2).

Saya bukan ingin mempersoalkan ketidaksinkronan antara keterangan foto dan peristiwa kemacetan tersebut. Toh, itu sudah menjadi pemandangan rutin sehari-hari di Ibu Kota, terutama weekday, saat jam pulang dan pergi kerja. “Bukan Jakarta namanya kalau nggak macet,” begitu anekdot yang sering kita dengar tentang kota ini. Mungkin, saking seringnya, fenomena itu dianggap sebagai suatu kewajaran.

Padahal, seperti sering diungkapkan sejumlah pakar, entah dari hasil studi, diskusi, entah seminar, fenomena itu dapat menyebabkan berbagai efek turunan, baik dari sisi ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan. Meski berbagai upaya telah dilakukan, dari rekayasa lalu lintas, penerapan sistem ganjil genap, hingga memperbaiki dan memperbanyak fasilitas transportasi publik, toh Jakarta masih tetap macet. Malah, kini makin menjadi-jadi.

Kepada Media Indonesia, pengamat transportasi dan tata kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan ada peningkatan jumlah kendaraan semenjak kebijakan ganjil genap diterapkan di DKI Jakarta. Menurut dia, sebagian orang akan mencoba menambah jumlah kendaraan untuk menghindari aturan tersebut. Adapun Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai kemacetan disebabkan orang belum menjadikan angkutan umum sebagai moda transportasi prioritas sehari-hari.

Pendapat kedua pakar itu saya kira ada benarnya. Sistem apa pun yang diberlakukan, selama tidak ada pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, Jakarta bakal tetap macet. Volume jalan tidak akan pernah sebanding dengan jumlah kendaraan. Solusinya, selain dengan regulasi, seperti penerapan biaya yang tinggi, baik untuk pajak maupun parkir, ialah menumbuhkan kesadaran warga untuk mengurangi kendaraan pribadi.

Harus diakui, dalam masyarakat kita, mobil dan kendaraan pribadi lainnya bukan sekadar dianggap sarana mobilitas, melainkan juga prestise. Nggak percaya? Lihat saja drama di jalan raya yang sering kita lihat. Cuma gara-gara bumper terserempet saja, mereka bisa bertengkar, bahkan terlibat adu jotos. Padahal, fungsi bumper memang untuk melindungi bodi kendaraan. Jika nggak ingin kena seruduk, ya, simpan saja di garasi.

Dari contoh kecil itu saja, kita bisa menilai bagaimana masyarakat kita memperlakukan kendaraan itu, seolah ia sebanding dengan harga diri. Tidak jarang ada yang merasa bangga jika punya empat hingga lima sekaligus meski yang dibutuhkan sebenarnya cuma satu. Padahal, di negara produsen asalnya, masyarakat sudah mulai mengurangi penggunaan moda transportasi tersebut.

Setelah mesin uap, penemuan mobil (dan sepeda motor) memang awalnya disambut sukacita karena dapat menunjang mobilitas manusia. Namun, mereka akhirnya menyadari dampak buruk yang dihasilkan teknologi itu. Beberapa negara mulai mengambil langkah untuk membatasi penggunaannya dan beralih ke sarana transportasi yang lebih ramah lingkungan dan angkutan umum. Namun, sebagian lainnya, termasuk di negeri ini, masih memperlakukannya sebagai ‘berhala’. Selama cara pandang itu tidak diubah, sampai kapan pun kemacetan sepertinya bakal sulit terurai. Atau, jangan-jangan mereka memang senang menjadi tua di jalan? Wasalam.

BERITA TERKAIT