20 December 2022, 05:15 WIB

Neokorporatisme Negara terhadap Desa


Gregorius Sahdan Dosen Ilmu Pemerintahan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa ‘APMD’ Yogyakarta, dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial Fisip Undip |

PEMBERITAAN soal korupsi dana desa, dengan berbagai motifnya, sering muncul di media massa. Salah satu motif yang diberitakan, ialah penggunaan dana desa untuk pembayaran utang kepala desa (Kompas, 27 Oktober 2022).

Terlepas dari berbagai motif korupsi dana desa, problem serius sebenarnya ialah neokorporatisme negara terhadap desa yang melemahkan tradisi konstitusionalisme desa dan mematikan demokrasi desa. Tradisi konstitusionalisme, pada hakikatnya memperkuat pengawasan masyarakat terhadap penggunaan dana desa. Demikian pula, dengan demokrasi desa, dapat memaksimalkan partanggungjawaban penyelenggara pemerintahan desa dalam menggunakan anggaran publik (desa). Namun, neokorporatisme negara, tidak hanya melemahkan tradisi konstitusionalisme, tetapi juga mengebiri demokrasi desa.

Neokorporatisme merupakan model korporatisme baru yang oleh Baccaro disebut dengan democracy corporatism. Korporatisme demokratis, atau neokorporatisme merupakan pola pengambilan kebijakan negara yang dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan kepatuhan dan ketundukan terhadap masyarakat (Baccaro 2002).

Dalam model old corporatism, untuk menciptakan ketundukan dan kepatuhan terhadap masyarakat, dilakukan dengan dua strategi, yaitu dengan cara segmenter dan bifrontal. Cara segmenter ialah cara dimana negara menciptakan organisasi-organisasi di luar negara (extra state), dengan tujuan untuk dikendalikan dan dikuasai seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dsbnya. Sementara itu, cara bifrontal ialah cara dimana negara menyebarkan berbagai program dan gagasan untuk menciptakan loyalitas masyarakat seperti melalui program INPRES, polisi tidur, patung polisi, dan sebagainya (Firdaus, 2022).

Sejalan dengan runtuhnya pemerintahan otoritarian tahun 1998, bangunan korporatisme Orba tidak serta merta lenyap, dan bahkan sampai dengan sekarang menjelmakan dirinya ke dalam bentuk yang baru yang disebut dengan neokorporatisme. Menurut Schmitter, korporatisme sebenarnya sangat kompatibel dengan pemerintahan otoriter (Phillippe C Shmitter, 1991).  Namun, sebagaimana Baccaro, korporatisme terbukti telah melakukan pembaruan dirinya. Korporatisme baru melakukan dua strategi untuk menundukkan dan mengendalikan masyarakat, yaitu dengan strategi agregasi dan deliberasi.

Strategi agregasi ialah cara negara menyerap aspirasi masyarakat, sambil menggelar berbagai program untuk kemajuan masyarakat. Adapun strategi deliberasi ialah cara negara menyediakan arena dan ruang untuk ekspresi demokrasi masyarakat. Pada saat yang sama, diarahkan dan dikendalikan agar berjalan seiring dengan kehendak negara. Kedua strategi tersebut telah mematikan demokrasi desa dan menyebabkan Musyawarah Desa (MUSDES) sebagaimana diatur dalam Pasal 54 UU Desa No 6 Tahun 2014, hanya sekadar formalitas belaka.

 

Neokorporatisme terhadap desa

Desa saat ini sebenarnya terjebak dalam neokorporatisme negara. Neokorporatisme negara terhadap desa, dilakukan dalam bentuk agregasi berupa penjaringan aspirasi masyarakat desa, melalui forum Perencanaan Pembangunan Desa. Namun, yang terjadi di sana adalah masyarakat dipandu untuk menerima berbagai program lintas sektoral yang masuk ke desa, seperti program stunting, BLT Dana Desa, SDG’s, dsbnya dari berbagai kementerian. Dalam pelaksanaannya, program lintas sektoral tersebut, membebani anggaran desa.

Implikasinya, dana desa yang bersumber dari APBN, habis dibagi untuk membiayai program lintas sektoral yang masuk ke desa (Minardi, 2022). Di samping itu, negara juga melakukan deliberasi terhadap desa melalui MUSDES yang dimandatkan oleh UU Desa. Namun, mekanisme deliberasi tidak dilakukan dalam kerangka untuk mendemokratisasikan desa, hanya menjadi arena yang digunakan negara untuk menyetujui program lintas sektoral yang dibuat pemerintah. Akibatnya, otoritas politik desa lemah berhadapan dengan neokorporatisme negara.

Di sisi yang lain, neokorporatisme negara terhadap desa menyebabkan melemahnya tradisi konstitusionalisme desa, dan membawa desa ke ruang involusi demokrasi. Tradisi konstitusionalisme, adalah tradisi yang membiasakan desa untuk meminta pertanggungjawaban kekuasaan, termasuk di dalamnya, adalah melakukan kontrol terhadap penggunaan dana desa (Sahdan, 2022). Sedangkan, involusi demokrasi desa adalah, tidak berjalannya mekanisme demokrasi dalam menuntut pertanggungjawaban kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Neokorporatisme negara, seperti yang dipraktikkan sekarang, bertentangan dengan spirit UU Desa, yang memberikan regognisi terhadap desa untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri, tanpa adanya intervensi pemerintah melalui berbagai pola kebijakan yang membebani desa. Meluasnya ekpresi neokorporatisme negara terhadap desa, dapat ditemukan juga melalui berbagai kebijakan pengetatan pengawasan terhadap desa. Saat ini, bahkan tidak hanya inspektorat daerah yang melakukan pengawasan terhadap desa, tetapi kepolisian, kejaksaan dan bahkan KPK masuk ke desa. Sayangnya, pengetatan pengawasan terhadap desa, bahkan tidak mengurangi praktik korupsi penggunaan dana desa, malah sebaliknya, korupsi semakin meningkat dengan motif yang makin beragam (KumparanNews, 27 Oktober 2021).

 

Kesimpulan dan rekomendasi

Negara, telah menjadi aktor utama yang melemahkan tradisi konstitusionalisme, dan mengebiri demokrasi desa. Hal ini, bertentangan dengan spirit UU Desa, yang mendorong perubahan penyelenggaraan pemerintahan desa dari state led development atau negara membangun desa, ke society led development atau desa membangun negara. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah; pertama, menghentikan atau mengurangi berbagai kebijakan sektoral, yang tidak hanya membebani desa, tetapi juga mematikan inisiatif dan prakarsa masyarakat dalam mengatur dan mengurus desa.

Kedua, menghentikan pengendalian dan pengetatan pengawasan terhadap desa dengan cara memperkuat MUSDES, tidak hanya sebagai arena dan forum demokrasi desa, tetapi juga sebagai tempat bagi masyarakat desa untuk saling mengontrol, dan mengawasi penggunaan dana desa untuk kepentingan masyarakat. Ketiga, mengoptimalkan peran dan fungsi masyarakat desa dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan desa.

Dengan tradisi konstitusionalisme yang kuat dan demokrasi desa yang berkembang, ada harapan yang cukup besar, munculnya perubahan penyelenggaraan pemerintahan dari desa. Desa yang maju, makmur dan sejahtera, tentu saja menjadi kata kunci untuk pengelolaan negara yang semakin baik. Tanpa mengubah prilaku negara (neokorporatisme) terhadap desa, jangan berharap korupsi akan berkurang.

BERITA TERKAIT