PANDEMI Covid-19 yang terjadi telah memberi pelajaran berharga bahwa kemandirian dalam bidang kesehatan sangat esensial. Gagalnya sistem layanan kesehatan sehingga sampai sekarangpun pandemi covid 19 belum berakhir dan data sampai 22 November 2022 terdapat 6.565.912 kasus postiif, jumlah meninggal 159.442 orang dengan tren kenaikan jumlah kasus positif.
Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan mewujudkan kemandirian di bidang kesehatan, antara lain biaya kesehatan yang meningkat, namun tidak efektif dan efisien dalam pemanfaatannya; permasalahan kesehatan yang persisten; peningkatan kualitas layanan primer; keterbatasan akses ke layanan rujukan; ketergantungan kefarmasian dan alat kesehatan pada impor; kebutuhan peningkatan deteksi dini dan surveilans, penguatan respons terhadap situasi krisis; pengeluaran kesehatan yang fokus pada upaya kuratif; skema pembiayaan kesehatan yang perlu diharmonisasikan; kekurangan jumlah dan pemerataan SDM kesehatan yang berkualitas; perencanaan kebutuhan dan pemetaan jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga kesehatan belum terintegrasi dengan penyediaan dan pemenuhannya; pemanfaatan teknologi digital yang masih terbatas; dan keterbatasan layanan laboratorium kesehatan masyarakat.
Sejak penetapan Renstra Kementerian Kesehatan pada 2020, terjadi disrupsi besar-besaran dalam kehidupan manusia pada skala global karena pandemi covid-19. Wabah yang diperkirakan akan menjadi endemi, memaksa pemerintah di seluruh dunia menyesuaikan kebijakan sekaligus membangun konsep untuk perubahan cara hidup masyarakat. Menkes pada 22 April 2022 mengeluarkan Permenkes 13 tahun 2022 sebagai perubahan atas Permenkes 21 tahun 2020 tentang Restra 2020-2024, yang kemudian disebut sebagai Transformasi Kesehatan yang berfokus pada 6 pilar transformasi sistim Kesehatan.
Membangun kemandirian bidang kesehatan dapat dimulai dengan pilar ketiga yaitu fokus riset dan membangun industri bidang kesehatan termasuk alat kesehatan dan obat, vaksin baik yang sudah tersedia ataupun masih dalam pengembangan. Tujuannya meningkatkan produksi, sehingga dapat menjaga ketersediaan stok baik saat normal maupun saat ada lonjakan seperti pada wabah.
Pengadaan dan Peningkatan mutu dan jumlah SDM Kesehatan khususnya dokter dan dokter Spesialis yang rationya dengan jumlah penduduk masih di bawah standar WHO dan negara ASEAN. Program Beasiswa dan afirmasi daerah dapat digunakan membuka pusat Pendidikan Spesialis dengan tetap memperhatikan mutu pendidikan. Hal ini juga meminimalissasi WNI yang berobat keluar negeri dan mendorong medical tourism di Indonesia sehingga dapat meningkatkan devisa.
Membangun pusat rujukan baru di daerah dengan layanan unggulan memberikan dampak kemandirian luar biasa sehingga pengeluaran devisa berobat keluar negeri bisa ditekan.
Tidak kalah penting adalah program kesehatan promotif dan preventif di tingkat layanan primer seperti puskesmas, puskesmas pembantu, polindes, parawat dan bidan didesa. Selain itu, meningkatkan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan Kesehatan sesuai amanah UU 36/2009 pasal 174. Di Era 4.0 dan 5.0, digitalisasi layanan kesehatan dapat dimanfaatkan untuk promotif dan preventif sedangkan untuk kuratif dan rehabilitatif perlu landasan hukum dan etik yang jelas dan pasti.