23 November 2022, 05:00 WIB

PR Pendidikan Tinggi Muhammadiyah Pascamuktamar


Muhammad Sayuti Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pen didikan Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, dan Sekretaris Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah |

PRESTASI pendidikan Muhammadiyah telah teruji 110 tahun, dan tidak ada tanda-tanda kelelahan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana amanah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Prestasi dan capaian itu, bahkan di beberapa tempat melebihi catatan yang dibuat lembaga pendidikan milik pemerintah, yang sepenuhnya dibiayai anggaran negara (APBN).

Belum ada satu pun universitas milik pemerintah yang berhasil membuka cabang di luar negeri, alhamdulillah Muhammadiyah telah menorehkan sejarah itu melalui Universiti Muhammadiyah Malaysia (Umam). Pemerintah, bahkan belum memiliki satu pun sekolah di luar negeri yang diperuntukkan warga negara setempat. Benar, pemerintah memiliki Sekolah Indonesia di Tokyo, Jeddah, Mekah, Riyadh, Bangkok, Kuala Lumpur, Yangon, dan sebagainya. Namun, itu sekolah Indonesia. Kurikulum, peserta didik, pendanaan, dan gurunya pun Indonesia banget. Sementara itu, Muhammadiyah Australia College (MAC) yang di Melbourne, ialah sekolah untuk orang Australia dengan kurikulum hampir 100 % standar dari negeri itu. Saya menyaksikan sendiri, sekolah Muhammadiyah hadir di pulau-pulau kecil jauh di lepas pantai utara Maumere, NTT, di Papua Barat, di banyak tempat yang lain, yang pemerintah pun tidak sanggup untuk mendirikannya.

Pendidikan Tinggi Muhammadiyah ‘Aisyiyah (PTMA) yang saat ini jumlahnya 173 pun eksis di seluruh provinsi di Indonesia, kecuali dua provinsi baru di tanah Papua. Banyak juga PTMA itu yang berprestasi. Di tanah Papua Barat, bahkan Universitas Pendidikan Muhammadiyah Sorong (Unimuda) menjadi kampus terbaik untuk seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta di provinsi ini. Pada level nasional peringkat PTMA besar tidak beda-beda jauh dengan perguruan tinggi negeri (PTN) papan atas.

Meski torehan penting bidang pendidikan pada abad pertama Muhammadiyah memberikan kepercayaan diri dan penerimaan baik oleh masyarakat, Persyarikatan ini harus tetap rendah hati menerima kritik internal. Karena itu, pascamuktamar yang akan dihelat 18-20 November 2022 di Surakarta, daftar pekerjaan rumah (PR) berikut ini kami persembahkan untuk para muktamirin.

MI/Seno

 

Konsolidasi kekuatan PTMA

Jumlah PTMA yang sangat besar, bahkan mungkin di seluruh dunia, untuk kategori organisasi keagamaan Islam membutuhkan konsolidasi yang lebih kukuh. Diakui, bahwa jaringan PTMA ini kuat karena semua memiliki badan hukum tunggal, seluruh asetnya ada dalam satu nama dan satu kepemilikan. Kekuatan ini menjadi fondasi untuk penggabungan dan pada yang sama pengembangan ke lokasi-lokasi strategis yang belum terjangkau. Pemerintah sangat ingin mengurangi jumlah perguruan tinggi swasta. PTMA sering kali dirayu untuk bergabung karena kesatuan kepemilikan dan badan hukum ini sangat memudahkan sebab perguruan tinggi di bawah ormas lain sebenarnya juga banyak. Namun, sesungguhnya kepemilikannya tidak tunggal sehingga sulit untuk digabungkan dan melakukan konsolidasi.

Sudah waktunya bagi Muhammadiyah untuk mengikhlaskan PTMA kecil dan menjadikannya besar dan kuat dengan cara penggabungan (merger) yang lebih signifikan. Kalau muktamar dapat menyepakati pentingnya konsolidasi dan menjadikan 173 PTMA tinggal menjadi separuhnya, akan terjadi pemusatan kekuatan sumber daya manusia dan keuangan yang luar biasa. Ruang untuk program studi di luar kampus utama yang disediakan pemerintah, serta payung baru yang bernama Universitas Siber Muhammadiyah (perguruan tinggi yang sepenuhnya daring dan jarak jauh), akan menjadi masa depan yang sangat strategis.

Kerinduan akan konsolidasi yang lebih maksimal ini, kira-kira akan melahirkan kekuatan baru 80-an universitas besar, sehat, maju, dan tetap aksesibel di seluruh pelosok negeri dan internasional. Muktamar, perlu menguatkan resonansi surat edaran moratorium penambahan PTMA baru, yang belum lama ini diterbitkan Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

PR kedua menyangkut peningkatan kualitas tata kelola PTMA. Sudah bukan masanya perguruan tinggi dikelola dengan cara amatir. Tumbuh diawali sistem konvensional dan manual, dengan sumber daya manusia (SDM) apa adanya. Tujuh tahun terakhir Majelis Diktilitbang menerbitkan banyak buku tata kelola akademik, keuangan dan aset, kemahasiswaan, dan seluruh Catur Dharma pendidikan. Modal ini harus menjadi standar wajib tata kelola PTMA. Beberapa PTMA besar telah memiliki sistem tata kelola berteknologi maju. Peserta muktamar harus terbuka untuk mendapatkan hidayah dan petunjuk agar tata kelola PTMA segera move on. Tidak lagi diatur kepentingan individual -- yang kadang dibungkus dengan baju organisasi -- dan lokal yang akibatnya tentu saja sulit untuk maju.

 

Tata kelola PTMA berkemajuan

Pengalaman panjang mengelola PTMA menghasilkan hikmah, bahwa kualitas SDM terutama dosen ialah kunci kemajuan institusi. Saat ini kita memiliki jumlah 3.000 doktor, angka ini besar, tapi masih sangat kurang kalau kita menggunakan benchmark PT di negara-negara maju yang 100% dosen ialah doktor. Hikmah yang sama ialah pembibitan dosen untuk menjadi doktor harus dilakukan secara eksponensial. Investasi pendidikan doktor untuk dosen menjadi kunci. Tanpa itu, PTMA tidak akan bisa mencapai level unggul.

PTMA wajib mengirimkan dosen-dosennya untuk belajar ke kampus-kampus top dunia, untuk membangun tradisi akademik yang puluhan abad tertinggal. Superpower baru Tiongkok ialah contoh nyata hasil “mencuri” ilmu pengetahuan dan teknologi dari Barat untuk kemajuan domestiknya. Pengalaman penulis enam tahun belajar di negara maju menjadi saksi bahwa mahasiswa dari Tiongkok menguasai isi perpustakaan dan mendudukinya hampir 24 jam waktu operasionalnya. Pascamuktamar, Muhammadiyah harus berani memutuskan peningkatan investasi SDM yang jauh lebih signifikan agar kesenjangan bumi dan langit kemajuan Ipteks Indonesia dan Barat/Tiongkok dapat dipersempit segera.

 

SDM 

Dilema antara kebutuhan untuk ekspansi dan kualitas sering kali tidak mudah untuk diputuskan. Pada daerah-daerah atau pulau-pulau yang negara pun tidak bisa hadir menyediakan pranata dasar pendidikan, orang Muhammadiyah sering tergoda (juga) untuk membuka amal usaha pendidikan. Meskipun dengan modal yang sangat minim. Semangat dakwah dan mencerdaskan kehidupan bangsa kadang mengaburkan kalkulasi pemenuhan standar minimal pendidikan.

Dilema antara tidak ada pendidikan sama sekali dan lebih baik sesederhana apa pun, yang penting anak bangsa tidak bisa mengenyam pendidikan menutup mata akan pentingnya penyediaan ruang kelas memadai, serta guru dan dosen yang dibayar layak. Pemerintah pasti akan mempertimbangkan kalkulasi ini dan itu sebelum memutuskan untuk membuka sekolah baru. Sementara itu, orang Muhammadiyah tidak bisa tinggal diam, nekat. Kenekatan yang dilandasi dengan ayat-ayat dan hadis dakwah.

Karena itu, kualitas kemudian menjadi nomor sekian. Sebagai contoh, pada sebuah pulau yang hanya terdiri atas 80 kepala keluarga, tentu tidak mungkin anak-anak sekolah dasar menyeberang pulau pergi-pulang setiap hari ke pulau lain yang tersedia sekolah. Muhammadiyah hadir. Kualitas tentu kemudian menjadi tidak relevan pada situasi seperti ini. Akan tetapi, cara kerja yang sama tidak boleh dilakukan untuk daerah dengan yang daya dukung infrastrukturnya telah memadai. Pada daerah seperti ini, kualitas ialah mimpi yang harus diwujudkan.

 

Kemandirian pendidikan Muhammadiyah

PR terakhir yang penting untuk diwujudkan ialah kemandirian Muhammadiyah di hadapan ekosistem pendidikan pemerintah. Di Australia misalnya, ada yang disebut dengan independent school. Sekolah swasta yang secara sengaja tidak terlalu menaati kurikulum pemerintah. Pengalaman 110 tahun Muhammadiyah mengurus persekolahan, seharusnya menguatkan pilihan untuk tidak sedikit-sedikit manut (ikut) apa pun maunya pemerintah. Padahal, banyak fakta yang membuktikan bahwa sering kali pemerintah mengambil kebijakan juga tanpa studi yang komprehensif. Nihilnya evidence based policy pada kebijakan pendidikan pemerintah. Nah, jangan sampai Muhammadiyah terombang-ambing pada kebijakan-kebijakan yang cenderung ganti menteri-ganti kebijakan. Capek!

Karakter sebagian pengelola pendidikan di Muhammadiyah yang terlalu mengagungkan pemerintah perlu diakhiri. Pengurus yang karakternya seperti itu juga perlu dicelup lagi kemuhammadiyahannya. Sementara itu, fakta membuktikan bahwa pemerintah belum pernah berhasil mendirikan sekolah yang baik. Orangtua masih merupakan kontributor kualitas sekolah.

PR untuk penguatan fondasi dan praksis pendidikan Muhammadiyah, agar semakin kukuh ini, penting untuk dibaca dan direnungkan pascamuktamar. Seluruh pemangku kepentingan pendidikan Muhammadiyah harus terus terbuka untuk belajar hal-hal baru. Dunia pendidikan mengalami perubahan terus-menerus. Karena itu, cara Muhammadiyah mengurus sekolah dan mengelola organisasinya harus terus kompatibel dengan tuntutan zaman.

BERITA TERKAIT