21 November 2022, 11:12 WIB

Membaca Islam, Negara dan Pasar Industri Halal


Asep Saepudin Jahar, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta |

Gelaran Halal Industri (H20) menjadi momentum penting presidensi G20 Indonesia. Kegiatan ini berlangsung 17-19 November 2022, di Hotel Padma, Candisari, Semarang dengan mengusung tema “Global Halal Partnership for a Robust Sustainable Future”, diinisiasi Kementerian Agama melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Dalam kesempatan ini, Menteri Agama H. Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan peran penting Halal Industri bagi Indonesia di dunia. 

Indonesia dinyatakan menjadi Global hub untuk Pasar, Industri dan Ekosistem Halal pada 2024. Isu mendasar dalam forum ini mengetengahkan ekosistem halal industry Global, yaitu, optimalisasi halal industri Indonesia dalam pasar global, fasilitasi sertifikasi halal untuk industry, khususnya UMKM.

Kerja sama pengembangan produk halal antar negara seperti teknologi, SDM dan sarana prasarana. Keberpihakan negara pada halal industry berkaitan erat dengan pasar global, dimana produk halal telah menjadi komoditas ekonomi bukan perdebatan ideologi Islamisme.

Posisi Indonesia dalam isu industri halal saat ini menjadi penting dimana masyarakat dunia melihatnya sebagai kekuatan ekonomi baru. Simbolisme halal sebagai doktrin syariat telah bergeser kepada nilai instrinsik komoditas ekonomi negara dalam memperkuat income perkapita. Di sinilah industri telah menjadi perebutan pasar internasional baik di dunia muslim maupun barat. Sebagai potensi pasar dunia dengan penduduk Muslim mayoritas, apakah Indonesia akan menjadi consumer (pengguna) industry halal, atau sebagai producer (key player). 

Deideologisasi industri sebenarnya terjadi karena adanya dua sisi yang saling melekat, yaitu kepentingan ekonomi dan jaminan halal. Pada hal yang pertama berlaku teori pasar dimana demand (permintaan) menjadi sumber ekonomi dan sumber kekuatan negara dalam memperkuat income. 

Sementara yang kedua adalah ditempatkan sebagai biaya dalam proses produksi bersamaan dengan bahan mentah. Perjumpaan dua sisi inilah dikemas menjadi komponen pokok bagaimana halal industry menjadi perhatian dunia, termasuk dunia negara-negara non-muslim. 

Sebab itu, perebutan pasar produk halal terletak pada kepentingan ekonomi, bukan lagi pada ideologi keagamaan. Perbankan syariah, kosmetik, fashion dan tourisme, misalnya, telah menjadi perhatian negara-negara kapitalis seperti Jepang, China, Amerika dan Eropa. 
Simbolisme dalam ekonomi telah melebur kepada kommodifikasi bagi kekuatan negara. Sebab itu perhatian dunia dalam masalah halal industry berlomba untuk memberikan fasilitas dan insentif sebagai potensi pasar unggul masa depan.  

Pasca diundangkan jaminan produk halal melalui Undang Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 ditopang oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja posisi industri halal memainkan peran penting bagi Indonesia. Kehadiran UU ini secara umum bukan semata memberikan jaminan kehalalan sebagai hak masyarakat muslim juga sebagai potensi ekonomi dan pasar global. 

Lebih dari itu, logika UU cipta kerja medorong produktivitas usaha, kemudahan, keadilan dan perlindungan ekosistem aktifitas industry, khususnya UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). 

Menurut data “The State Global Islamic Economic Report 2018/2019,” Indonesia masuk 10 besar di dunia dalam pasar keuangan Islam, Fashion dan Travel. Sementara di bagian halal food, media dan rekreasi, farmasi dan kosmetik posisinya tersingkir oleh negara-negara lain seperti Malaysia dan Uni Emirat Arab. 

Pada 2020, dalam riset yang sama Indonesia meningkat menjadi negara terbesar ketiga dengan nilai investasi produk halal mencapai 6,3 miliar dolar AS atau tumbuh 219 persen dari tahun sebelumnya. 

Pertumbuhan industri halal ini menunjukkan adanya pergerakan yang berarti dalam mendorong pertumbuhan positif. Namun kita perlu melihat bahwa kelemahan yang mengemuka masih menjadi kendala, jika dibandingkan dengan produktivitas halal negara-negara yang populasi Muslimnya lebih sedikit.

Halal Network

Keunggulan pasar industri halal kembali kepada kemampuan membangun jaringan usaha sebagaimana diuraikan Manuel Castells: 2000, dalam bukunya “the Rise of Network Society.” 

Ia menjelaskan bahwa paradigma baru teknologi informasi telah menyajikan basis material penting untuk ekspansi jaringan dalam struktur sosial yang melingkup lokal, nasional dan global. Jaringan dan aktivitas industri halal menjadi instrumen penting yang diperkuat oleh teknik dan cara-cara individu, kelompok, negara dan organisasi kemasyarakatan dalam membangun komunikasi. 

Sebab itu, pentingnya saling keterkaitan komunikasi menjadi efek pada kesalingpertukaran. Di sinilah kata kunci jaringan industri halal perlu dijaga. Bagi Indonesia, kekuatan ini juga terletak pada menjaga modal sosial “kepercayaan” dan kolaborasi antar kelompok dan negara untuk memperkuat ekosistem bisnis halal. 

Para produsen, konsumen, pasar dan negara perlu menempatkan halal industry sebagai asset yang akan menumbuhkan keberuntungan bersama. Kesadaran ini bagi dunia bisnis membutuhkan sinergi, yaitu negara sebagai pembuat kebijakan yang menfasilitasi dipasarkannya produk dan diterimanya oleh masyarakat konsumen Muslim. 

Proses sertifikasi adalah bagian penting yang perlu menjadi kesadaran pelaku industry dari sisi biaya produksi dan tanggung jawab produk. Bagi negara, pada sisi lain, hal ini perlu menfasilitasi proses cepat dan harga yang rasional. Secara mendasar, isu inilah yang masih menjadi tantagan industri halal di Indonesia. 

Kekuatan industri ini juga menjadi model ekonomi baru. Artinya branding produk halal perlu menampilkan “friendly market” bagi masyarakat dunia. Kebutuhan masyarakat global pada utamanya yaitu terstrukturnya standar yang jelas dan inovasi yang berkelanjutan. Artinya Indonesia perlu mengambil peran ini untuk mengakselerasi lompatan pertumbuhan income negara.

Tantangan industri halal

Dalam konteks global, posisi halal Industri Indonesia masih menghadapi tantangan untuk bersaing dengan produk halal global. Permasalahan ini dijumpai pada level pelaku industry dan publik pada umumnya. Pelaku Industri dihadapkan pada persiapan kerangka komprehensif bagaimana persaingan pasar bisa dikendalikan. Sebab itu, keunggulan industry halal terletak pada pengembangan inovasi yang kontinyu. 

Kondisi Indonesia sebagai sasaran pasar produk halal adalah penting, namun dalam perkembangannya pasar ini tidak menjadi target negara-negara lain. Artinya, Indonesia juga perlu menjadi pemain utama di negerinya dan produsen halal bagi dunia. Salah satu target forum H20 ini adalah kolaborasi mutualisme dengan negara-negara lain.  

Rendahnya industri halal juga disebabkan oleh lemahnya kerjasama antarsesama sektor industri. Ekosistem di Indonesia secara umum belum terbentuk dengan kuat. Problem ini tentu memperlemah posisi Indonesia dalam persaingan halal industry global. Ketika dunia melakukan ekspansi ke semua produk, sementara kolaborasi antar unit industri belum terhubung dengan baik. Di sini, negara perlu terus menfasilitasi asosiasi usaha sehingga menumbuhkan ekosistem yang lebih mapan. 

Keberhasilan di negara-negara maju seperti Jepang, Jerman dan Amerika adalah terletak pada ekosistem usaha yang difasilitasi negara. Di sinilah halal Industri perlu mendapatkan perhatian serius negara. 

Di samping itu, kerangka kebijakan negara dalam memberikan perlindugan dan kepastian usaha juga berperan penting bagi kuatnya produk halal. Artinya, kebijakan negara perlu melingkupi level teknis dan praksis. Pada tataran teknis, proses sertifikasi memberikan kemudahan dan kepastian proses sehingga biaya produksi dan persaingan pasar dapat diatasi dengan terukur. 

Secara praksis, produk halal memberikan jaminan dan kemudahan bagi konsumen baik dari sisi akses dan daya beli. Jika pemahaman masyarakat, posisi negara dan pelaku usaha bersinergi, maka halal industry global menjadi milik Indonesia. Semoga. 

BERITA TERKAIT