20 November 2022, 09:16 WIB

Falsafah Sepak Bola


Adiyanto, Wartawan Media Indonesia |

HARI ini, miliaran pasang mata akan tertuju ke Qatar, tempat dihelatnya kejuaraan akbar sepak bola, Piala Dunia. Aksi para seniman bola itu mungkin akan mengalihkan sejenak wacana publik dari perbincangan terkait sejumlah krisis, entah itu pangan, energi, iklim, maupun politik.

Nama-nama seperti Kylian Mbappe (Prancis), Kevin de Bruyne (Belgia), Christian Eriksen (Denmark), atau dua pemain veteran, Lionel Messi (Argentina) dan Cristiano Ronaldo (Portugal), mungkin akan lebih ‘terbaca’ oleh algoritma Google ketimbang Vladimir Putin atau Xi Jinping. Artinya, mereka akan lebih banyak diperbincangkan, baik di jagat maya maupun sejumlah warung dan kedai kopi, ketimbang dua tokoh elite dunia tersebut.

Mengutak-atik prediksi siapa yang bakal keluar sebagai jawara tahun ini, rasanya juga lebih asyik ketimbang menerka-nerka siapa yang bakal jadi presiden di Republik ini. Lagi pula pilpres masih lama, dua tahun lagi. Bahkan, boleh jadi para kandidat itu pun akan memanfaatkan momen ini untuk nonton bareng. Rileks sejenak. Biarkan saja, netizen tidak usah nyinyir. Politik jangan terlampau dibawa serius, santai saja. Syukur-syukur para elite itu bisa mendapat inspirasi dari sepak bola, seperti Albert Camus, filsuf Prancis yang mengaku berutang budi pada sepak bola untuk moralitas dan rasa tanggung jawab.

Di masa mudanya, Camus yang gemar bermain bola adalah kiper di tim Racing Universitaire Algerios (RUA). Dari posisinya yang jauh di garis belakang, pria asal Aljazair ini dapat melihat dengan jernih beberapa hal dalam permainan itu, seperti moralitas dan etika untuk tidak mementingkan diri sendiri, kerja sama, keberanian, dan ketangguhan. Dalam kesepiannya di bawah mistar gawang, posisinya mungkin absurd. Dia memang tidak akan pernah dianggap jika timnya mencetak gol. Namun, sebaliknya, jika gawangnya kebobolan, itu semua salahnya. Bukankah absurditas semacam itu juga kerap kita temui dalam realitas kehidupan sehari-hari?

Kata Camus, banyak hal tentang hidup yang dapat dipelajari dari sepak bola. Bola kadang datang dari arah yang tidak pernah kita duga. Begitu juga kejutan-kejutan yang terjadi dalam kehidupan ini. Ia tidak selalu datang dari sudut yang kita harapkan. Kalau boleh meminjam sepenggal lirik yang ditulis Mick Jagger, ‘You can’t always get what you want’. Menurut Camus, pengalamannya bermain sepak bola inilah yang menempanya ketika menjalani kehidupan yang sulit, termasuk ketika kesehatan paru-parunya semakin memburuk, sehingga memaksanya untuk hijrah menjadi filsuf dan pemikir.

Suatu kali, saat diwawancara wartawan setahun sebelum wafat, Camus mengatakan, selain teater, lapangan sepak bola adalah salah satu universitas sesungguhnya tempat dia belajar banyak hal. Begitulah seharusnya kita menikmati sepak bola. Datang ke stadion atau duduk di depan televisi, jangan semata berharap tim favorit kita menang. Kompetisi bukan semata persoalan menang-kalah. Lihat bagaimana proses yang mesti dilalui para pemain. Bagaimana mereka menerapkan strategi dan taktik permainan, jatuh bangun menghindar dari tebasan kaki lawan, sambil menjunjung sportivitas sepanjang pertandingan.

Mungkin begitulah semestinya kita menikmati perhelatan Piala Dunia yang digelar selama kurang lebih sebulan di Qatar. Tidak perlu ada kegembiraan dan rasa kecewa berlebihan, apalagi sampai menyulut amuk massa atau bunuh diri cuma lantaran kalah judi. Biasa-biasa sajalah, seperti halnya kita menikmati hidup, yang katanya memang absurd ini. Enjoy the show. Wasalam.

BERITA TERKAIT