HARI Kesehatan Nasional (HKN) tahun ini yang diperingati pekan lalu mengangkat tema Bangkit Indonesiaku, Sehat Negeriku. Target nasional peningkatan kualitas bangsa agar bisa bangkit dan tumbuh sehat tidak akan tercapai tanpa membenahi perbaikan kesehatan ibu dan anak.
Laporan WHO (2022) mengungkapkan setiap tahun sekitar 800.000 nyawa bayi terselamatkan dengan menyusu air susu ibu (ASI) ibunya. Demikian juga bagi ibu, menyusui telah mengurangi risiko terjadinya 20.000 angka kematian akibat kanker payudara. Bayi berada pada risiko kematian yang lebih besar karena diare dan infeksi lain ketika mereka hanya diberi ASI sebagian atau tidak disusui sama sekali. Menyusui juga dapat meningkatkan IQ, kesiapan sekolah dan kehadiran, bahkan dikaitkan dengan pendapatan yang lebih tinggi di masa dewasa.
Menyusui tidak hanya bermanfaat, tetapi juga teramat penting. Fakta-fakta ilmiah membuktikan bahwa promosi, pelindungan, dan dukungan terhadap menyusui merupakan strategi yang sangat efektif untuk meningkatkan kesehatan, menurunkan kematian, dan mengurangi beban penyakit ibu dan anak. Menyusui juga berkaitan dengan pemberian gizi, kesehatan, dan kesejahteraan ibu dan anak yang lebih baik. Saking pentingnya, aktivitas menyusui itu berkontribusi langsung pada tujuan-tujuan utama Sustainable Development Goals (SDGs) 2030.
Bagi umat Islam, menyusui tidak hanya dilihat sebagai anjuran kesehatan dan tujuan SDGs, tapi juga merupakan anjuran agama. Studi Ismail (2018) menyebutkan kata rada' dan radaah yang berarti menyusui disebutkan sebanyak 10 kali dalam Al-Qur’an, yaitu di dalam Surat Al-Baqarah [2]: 233, An-Nisâ’ [4]: 23, QS Al-Hajj [22]: 2, Al-Qashash [28]: 7 dan 12, serta QS Al-Thalâq [65]: 6.
Pada lima surat Al-Qur’an tersebut terdapat perintah inisiasi menyusu dini (IMD), durasi menyusui, penyapihan, keringanan untuk menggunakan ibu susu (wet nursing), serta tanggung jawab dan peran suami dalam mendukung menyusui.
Selain itu, tak sedikit hadis Nabi Muhammad SAW seputar menyusui. Salah satu yang paling populer, Nabi SAW bersabda, "Ketika seorang wanita menyusui anaknya, Allah membalas setiap isapan air susu yang diisap anak dengan pahala memerdekakan seorang budak dari keturunan Nabi Ismail. Dan, manakala wanita itu selesai menyusui anaknya, malaikat pun meletakkan tangannya ke atas sisi wanita itu seraya berkata, 'Mulailah hidup dari baru, karena Allah telah mengampuni semua dosa-dosamu'."
Oleh karena itu, menyusui tidak hanya bermanfaat, tetapi juga penting dan bernilai ibadah. Lalu, bagaimana tingkat keberhasilan menyusui di negara-negara mayoritas muslim?
MI/Duta
Arab Saudi dan Indonesia
Pengalaman menyusui di Arab Saudi menunjukkan fenomena menarik. Dr Batterjee dalam buku A Fading Art, Understanding Breastfeeding in the Middle East (2016) menuliskan praktik menyusui di negara Arab ini. Meskipun menyusui dianjurkan dan direkomendasikan, pada praktiknya sulit dijalankan. Pada banyak kasus, sekalipun pasangan suami istri di Arab Saudi memiliki niat dan kesungguhan untuk menyusui anaknya, tapi lingkungan sekitar, terutama tradisi budaya Arab kurang mendukung. Akibatnya banyak keluarga yang mengalami kegagalan menyusui.
Menurut Batterjee, salah satu hambatan kegagalan menyusui diawali sejak periode oil boom pada 1970-an hingga 1980-an. Ketika itu, peningkatan masif yang berkaitan dengan industri energi telah membuat perubahan dramatis di Arab Saudi hanya kurang dari satu generasi. Ekspansi bisnis dan investasi energi terjadi besar-besaran. Konsekuensinya berimbas pada perubahan gaya hidup di kalangan masyarakat, termasuk perempuan. Di samping itu, kemajuan industri di Arab Saudi juga berdampak pada meningkatnya kebutuhan perempuan untuk bekerja sehingga para ibu mulai memikirkan pengganti ASI.
Di saat yang bersamaan, investasi dan ekspansi bisnis yang terjadi pada era itu juga membuat bermunculannya perusahaan-perusahan susu formula di Arab Saudi. Pemasaran susu formula juga berlangsung secara agresif dan tidak terkontrol. Iklan susu formula yang tidak tersaring, pembagian sampel, dan rendahnya kontrol pemerintah terhadap pemasaran susu formula telah mengubah praktik perempuan Arab Saudi untuk menyusui menjadi pemberian susu formula sebagai asupan bayinya.
Baru pada 2004, pemerintah Arab Saudi pertama kali membuat undang-undang turunan dari Kode Internasional Pemasaran Produk Pengganti ASI (International Code of Marketing or Breast-milk Substitute 1981). Kode tersebut merupakan sebuah kerangka kebijakan kesehatan internasional yang mengatur pemasaran pengganti ASI untuk melindungi praktik menyusui. Meski kebijakan nasional Arab Saudi terkait implementasi Kode telah ada sejak 18 tahun yang lalu, pada praktiknya pemberian susu formula telah telanjur menjadi hal yang lumrah dan masif dilakukan di negara ini.
Kondisi hampir senada terjadi di Indonesia, sebagai negara muslim terbesar di dunia dan telah meratifikasi Kode. Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), di Indonesia masih ada sekitar 48% bayi di bawah 6 bulan tidak disusui secara eksklusif. Masih rendahnya tingkat menyusu eksklusif di Indonesia tidak lepas dari pelanggaran Kode. Menurut Irma Hidayana (2022), Presidium Gerakan Kesehatan Ibu dan Anak (GKIA) Indonesia, meski sudah 40 tahun Kode dibuat (1981), praktik pemasaran susu formula yang tidak patut justru semakin menguat, masif, dan menyebar ke mana-mana di Indonesia.
Pandemi justru memberikan peluang untuk melakukan praktik pemasaran susu formula secara terselubung. Menurut kanal www.pelanggaranKode.org, situs pengaduan pelanggaran Kode yang dilakukan produsen susu formula, terdapat lebih dari 1.000 laporan pelanggaran pemasaran susu formula, dengan 75% terjadi di media sosial, sejak pertengahan 2021 hingga saat ini.
Menyusui di negara anggota OKI
Selain Indonesia dan Arab Saudi, sebanyak 57 negara muslim yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menghadapi masalah serupa. Data OIC Health Report 2019 menyebutkan, rata-rata hanya 30% bayi baru lahir disusui secara eksklusif selama enam bulan pertama hidupnya di negara-negara anggota OKI. Angka itu masih jauh dari target yang ditetapkan oleh Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA) bahwa pada 2025 angka capaian menyusui eksklusif perlu mencapai setidaknya 50%.
Secara umum, data indikator yang berkaitan dengan menyusui, yaitu IMD, ASI eksklusif, dan menyusui hingga dua tahun, menunjukkan bahwa sejumlah besar anak tetap rentan terhadap malanutrisi di semua negara anggota OKI. Di antara negara-negara anggota OKI, prevalensi menyusui terendah ditempati oleh Djibouti (1%) dan tertinggi oleh Uganda sebesar 60% (WHO, 2012). Sementara itu, sebanyak 15 dari 57 negara anggota OKI (15%) memiliki prevalensi menyusui masih kurang dari 15%.
Sebagai contoh, cakupan praktik menyusui yang direkomendasikan juga sangat bervariasi di antara negara-negara anggota OKI. Presentasi inisiasi menyusu dini (IMD) di negara anggota OKI berkisar 46% untuk wilayah sub-Sahara Afrika; 61% untuk Eropa dan Asia Tengah; 42% untuk timur dan selatan Asia serta Amerika Latin; dan 40% untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.
Peran ormas Islam
Apa yang perlu dilakukan negara-negara muslim untuk mempromosikan, melindungi, dan mendukung menyusui? Dr Miriam Harriet Labbok (2008), seorang tokoh laktasi dunia, merumuskan empat pilar untuk memberikan dukungan kepada ibu dan bayi agar program menyusui dan menyusu berhasil. Pertama, terbentuknya kebijakan pemerintah yang bebas kepentingan. Kedua, adanya komitmen pemerintah dalam menjalankan program-program yang mendukung menyusui. Ketiga, adanya peningkatan kemampuan dan pemahaman tenaga kesehatan terhadap kegiatan menyusui. Keempat, adanya dukungan dari keluarga dan masyarakat, termasuk pemuka agama dan organisasi massa.
Dari sini, organisasi masyarakat (ormas) perempuan keagamaan, seperti Muslimat Nahdlatul Ulama, ‘Aisyiyah Muhammadiyah, dan Persistri, memiliki peluang strategis dalam mendukung empat pilar keberhasilan program menyusui.
Setidaknya, ada tiga langkah yang dapat dilakukan oleh ormas perempuan keagamaan untuk mendukung keberhasilan program menyusui. Pertama, ormas perempuan diharapkan memiliki keseriusan, terlibat aktif, dan menjadi contoh untuk dukungan sesama perempuan dalam program menyusui. Kedua, ormas perempuan keagamaan tidak hanya dapat memberikan penyuluhan atau pendidikan kesehatan, tetapi perlu juga membekali para kader dengan pengetahuan tentang Kode dan melatih para kader ormas untuk menjadi konselor menyusui.
Ketiga dan terpenting, gerak dukungan ormas-ormas perempuan keagamaan ini akan lebih berdampak apabila membekali pengetahuan dan keterampilan tentang Kode bagi para pemuka agama. Dengan begitu, nantinya, pemuka agama dapat turut mempromosikan, melindungi, dan mendukung menyusui bagi masyarakat. Dukungan menyusui pun akan berdampak mengakar dan permanen di tengah masyarakat.
Kendati demikian, kewaspadaan juga perlu terus dihidupkan. Waspada program dukungan menyusui oleh ormas perempuan ini ditunggangi produsen susu formula untuk melakukan pemasaran yang tidak patut. Pasalnya, bentuk pelanggaran pemasaran ini telah menjangkit para tenaga kesehatan dan social media influencer. Jangan sampai para pemuka agama juga melakukan pelanggaran yang sama.
Agenda terdekat
Di Mesir pada Maret 2023 mendatang akan diadakan the 4th World Breastfeeding Conference oleh International Baby Food Action Network Arab World. Pada konferensi ini akan dibahas topik-topik penting menyusui, seperti Kode, menyusui dalam keadaan darurat, bank ASI, dan menyusui di negara Arab dan Islam. Saya berharap delegasi dari Indonesia tidak hanya diisi para pegiat ASI, tetapi juga ormas perempuan keagamaan, yang nantinya akan dapat meneruskan dukungan menyusui lebih mengakar luas di masyarakat.
Akhirnya, anjuran agama tidak serta-merta menempatkan negara-negara muslim pada tingkat keberhasilan menyusui yang tinggi. Diperlukan upaya-upaya strategis yang komprehensif, masif, dan mengakar untuk promosi, perlindungan, dan dukungan terhadap menyusui. Di situlah ormas perempuan keagamaan dapat berperan signifikan.