DALAM keseharian, cuaca kadang suka dihubungkan dengan penyakit. ‘Ya, lagi musim, cuacanya memang sedang tidak menentu,” begitu yang sering kita dengar jika ada seseorang yang terserang flu atau pilek. Maksudnya tentu saja menghibur. Meski bukan diucapkan pakar, pendapat atau ucapan itu tidak sepenuhnya salah. Pilek tentunya memang disebabkan oleh virus, bukan cuaca. Namun, karena suhu udara dan kelembapan berubah di sekitar, hal itu juga akan memengaruhi pernapasan. Meski tidak benar-benar tersumbat, udara yang lebih panas dan lembap akan membuat hidung terasa mampet.
Cuaca adalah keadaan suhu, tekanan udara, curah hujan, angin, serta sinar matahari pada waktu dan tempat tertentu. Selain memengaruhi kondisi dan daya tahan tubuh manusia, faktor-faktor itu juga ikut memengaruhi kondisi ekosistem tumbuhan maupun hewan. Hujan, misalnya, (apalagi yang mengakibatkan banjir), pastinya juga membawa bakteri/kuman ke dalam rumah. Penyakit demam berdarah biasanya juga marak di musim hujan, seperti yang terjadi di bulan-bulan terakhir ini. Begitu pun mereka yang mengidap penyakit asma, kadang kambuh jika suhu udara drop atau berubah dingin. Itu adalah sebagian contoh bagaimana cuaca ikut memengaruhi kesehatan manusia.
Itu baru cuaca, belum iklim. Orang mungkin tidak bisa membedakan di antara keduanya. Iklim adalah keadaan rata-rata cuaca pada suatu wilayah dalam jangka waktu yang relatif lama. Perubahan iklim inilah yang kini tengah jadi perbincangan, termasuk oleh sejumlah elite dunia di Mesir. Mereka khawatir suhu bumi yang semakin panas. Apalagi, skalanya global. Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan perubahan iklim adalah satu-satunya ancaman kesehatan terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini. Seperti dikutip AFP, Jumat (11/11), lembaga itu memperkirakan perubahan iklim akan menyebabkan 250.000 kematian tambahan per tahun akibat kekurangan gizi, malaria, diare, dan stres karena panas, antara tahun 2030 dan 2050.
Laporan tahun ini dari IPCC, panel pakar iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyebutkan hampir 70% dari semua kematian di seluruh dunia berasal dari penyakit yang dapat diperburuk oleh pemanasan global. Para pakar mengatakan pemanasan global memengaruhi kesehatan dalam berbagai cara, mulai bahaya langsung dari meningkatnya panas dan cuaca ekstrem hingga kekurangan makanan dan air jangka panjang, polusi udara, serta penyakit. “Ketika perubahan iklim memburuk, kita akan melihat ancaman terbesar terhadap kesehatan manusia meningkat," kata Jess Beagley, pemimpin kebijakan di LSM Global Climate and Health Alliance, kepada AFP.
Laporan bulan lalu dari The Lancet Countdown, yang mengukur dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, menyatakan jumlah mereka yang mengalami rawan pangan parah meningkat hampir 100 juta pada 2020 jika dibandingkan dengan selama periode 1981-2010. Selain itu, kekeringan ekstrem telah meningkat hampir sepertiga selama setengah abad terakhir. Hal itu menyebabkan ratusan juta orang berisiko kekurangan akses ke air bersih. Laporan tersebut juga mengungkapkan polusi udara berkontribusi pada 3,3 juta kematian di 2020, 1,2 juta di antaranya terkait langsung dengan emisi yang dihasilkan bahan bakar fosil.
Peringatan ini sepatutnya kita cermati. Terlebih itu diutarakan oleh para pakar yang telah melakukan studi atau penelitian. Tidak mudah memang untuk mengatasi persoalan ini. Solusinya pun tidak bisa tunggal. Bukan sekadar dengan memberi pendanaan iklim untuk mereka yang paling terdampak atau dengan program menanam pohon. Pendekatannya pun tidak bisa semata dari sisi ekonomi, tapi juga perlu melibatkan antropologi, biologi, geografi, geologi, dan sebagainya. Manusia bukanlah penguasa tunggal yang memutar jalannya roda kehidupan di planet ini. Ada hal lain yang perlu mereka hormati, bahkan termasuk benda mati. Itulah yang menurut Bruno Latour, filsuf-antroplog Prancis yang wafat bulan lalu, makna sesungguhnya dari politik ekologi.