09 November 2022, 05:00 WIB

Kristalisasi dan Implementasi Gagasan Kesetaraan Gender


Alimatul Qibtiyah Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan Komisioner Komnas Perempuan |

MUKTAMAR Pemikiran Ahmad Syafii Maarif, 12 November 2022 di Surakarta mengusung tema Islam, kebinekaan, dan keadilan sosial, sedangkan Muktamar ke-48 Muhammadiyah-‘Aisyiyah, 18-20 November 2022 di tempat yang sama, antara lain mengusung Risalah Islam berkemajuan dan Risalah perempuan berkemajuan. Kedua risalah yang menguatkan kesadaran bahwa setiap orang ialah makhluk yang bermartabat dan mempunyai hak yang sama dan setara dalam menjalankan kehidupannya. Kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan, juga diulas dengan terperinci dalam risalah ini.

Walaupun risalah ini baru menjadi materi utama Muktamar ke-48, bukan berarti Muhammadiyah-‘Aisyiyah kudet (kurang update), atau terlambat dalam menyuarakan isu kesetaraan dan keadilan gender. Sejak lahir, Muhammadiyah merupakan organisasi yang sangat peduli terhadap hak-hak perempuan. Di antara bukti kepeduliannya ialah didirikannya ‘Aisyiyah pada 1917, yang dipelopori Nyai Siti Walidah (istri KH Ahmad Dahlan).

Salah satu yang melatarbelakangi berdirinya 'Aisyiyah, ialah karena kondisi yang memprihatinkan terkait dengan posisi dan peran perempuan yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking (teman untuk urusan rumah tangga saja). Kondisi ini menjadikan sumber kebodohan dan ketertinggalan. Konsep Sadar Gender Muhammadiyah, terlacak dari statement pendirinya KH A Dahlan melalui nasihatnya: “Urusan dapur jangan engkau jadikan alasan tidak melayani masyarakat."

‘Aisyiyah didorong untuk berkiprah aktif di masyarakat, sebagai perwujudan amal saleh sebagaimana laki-laki. Peran-peran publik perempuan Muhammadiyah dicontohkan salah satunya tokoh Siti Umniyah, salah satu murid Ahmad Dahlan yang rajin bersilaturahim, pandai berbahasa Arab, dan memiliki perhatian khusus pada pendidikan remaja. Beliau pernah memimpin protes pada penjajah Belanda dengan membuat lagu yang berisi kritik dan dinyanyikan anak-anak saat ‘dipaksa’ menyambut Ratu Wihelmina di muka jalan (https://aisyiyah.or.id/tokoh).

 

Buya Syafii dan kesetaraan gender

Pemikiran kesetaraan dan keadilan gender dalam sejarah Muhammadiyah dikuatkan Prof Buya Syafii. Pemikiran beliau tentang kesetaraan gender dalam buku Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan tertulis apik, jelas, dan argumentatif melegakan gerakan perempuan di Indonesia, termasuk ‘Aisyiyah. Beliau menuliskan bahwa sebuah kecelakaan sejarah, selama berabad-abad kaum perempuan dalam komunitas muslim tidak dihargai dan dihormati sebagaimana mestinya. Buya mengutip Riffat Hasan dan juga Yunahar Ilyas, tentang direnggutnya hak-hak perempuan selama ratusan tahun dengan menggunakan dalil agama yang dipahami secara tidak benar dan harus dikembalikan melalui perjuangan yang berliku dan berat.

Terlihat sekali gejolak jiwa Buya Syafii dalam menuliskan nasib perempuan yang terenggut hak-hak mereka. Misalnya beliau menuliskan, “Jiwa saya mendidih membaca perlakuan keji terhadap perempuan (perlakuan pemerintah Taliban yang melarang perempuan menuntut ilmu) dengan memakai teks agama lagi karena mereka ialah jenis ibu yang saya muliakan. Siapa di antara tuan dan puan yang mau jenis ibunya diperlakukan serendah itu dalam lingkungan patriarkhi yang menindas?” (h. 185).

Buya Syafii juga menandaskan bahwa berislam jangan berhenti pada moto dan jargon, tetapi harus fungsional dan dapat dipraktikkan. Memahami Al-Qur'an harus dari jarak dekat dan dapat menjadi sahabat Al-Qur'an. Beliau menekankan bahwa Al-Qur'an tidak punya tangan dan kaki, dan kita-kitalah yang dapat menjadi tangan dan kaki Al-Qur'an sehingga idealisme Islam yang rahmatalil’alamin, Islam yang menjadi wasit peradaban manusia (ummatan wasathon), dan juga Islam yang khaira ummah dapat terwujud. Jangan sampai ada gap yang terlalu lebar, antara idealisme keislaman dalam kitab suci dan keislaman yang dipraktikkan Nabi dengan realitas yang ada. Banyak umat Islam yang terkungkung pada tafsir-tasfir klasik yang tidak relavan, juga karena adanya orang yang non-Arab, tidak dapat membedakan antara Islam dan Arab, (Misguided Arabism).

Kitab suci akan selalu relevan, yang tidak relevan ialah cara berpikir, yang jauh dengan ajaran autentik. Contoh pemahaman kontekstual Buya Syafii pada Al-Qur'an Surat An-Nisa’ 34. Beliau mempertanyakan jika rijal (sering diartikan laki-laki) qawwam diartikan pemimpin, penegak urusan, pelindung, penjaga, pengawal, dan sejenisnya pada nisa (perempuan), maka apakah kemudian perempuan tidak dapat menjadi pemimpin, pelindung, penjaga, dan seterusnya bagi komunitas laki-laki?

Beliau memberikan ilustrasi bahwa jika ada seorang istri yang jago karate, sedangkan suaminya tidak pintar bela diri, si perempuan tersebut bisa jadi yang harus maju menghadapi si perampok, sedangkan suami bersembunyi di tempat aman. Dengan perubahan suasana dan konteks tertentu, penafsiran dapat berubah tanpa harus mengubah teksnya yang dalam peristiwa masuknya orang jahat yang hendak merampok. Artinya pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan bisa fleksibel, sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Pemikiran ini didukung beberapa hasil penelitian yang mengungkapkan semakin fleksibel peran gender dalam keluarga, semakin bahagia keluarga itu (https://theconversation.com/the-secret-to-a-happy-marriage-flexible-roles-101275).

Buya Syafii tidak termasuk kategori pengkaji gender yang menunda implementasi kajiannya dalam kehidupan sehari-hari. Beliau tidak berslogan gender is ok but not for me and my family. Beliau ialah sosok suami idaman yang ikut terlibat pada urusan pengasuhan, dan domestik, seperti menyetrika, mencuci, dan belanja sendiri.

MI/Seno

 

Kristalisasi kesetaraan gender

Muhammadiyah-‘Aisyiyah ialah organisasi berkemajuan, yang menjadikan ajaran Ilahi dan Nabi sebagai spirit gerakan dakwah pencerahannya, termasuk dalam memperhatikan hak-hak perempuan. Sejak awal, Muhammadiyah sangat mendorong perempuan untuk beramal saleh sebagai khalifatul fil ard. Produk-produk Tarjih, di antarnya terkait dengan bolehnya perempuan menjadi hakim, menjadi guru di kelas campuran laki-laki dan perempuan, serta adanya tuntunan keluarga sakinah yang berperspektif kesalingan, ialah wujud dari keberpihakan Muhammadiyah-‘Aisyiyah terhadap pemenuhan hak-hak perempuan.

Secara keorganisasian, pembahasan isu gender di Muhammadiyah-‘Aisyiyah dapat dikatakan sudah selesai. Pembumian Al-Qur'an dan sunnah Nabi yang maqbulah di tengah dinamika kehidupan zaman yang semakin maju, modern, dan kompleks meniscayakan aktualisasi nilai-nilai Islam yang shalhun likulli zamn wa makn (berkesesuaian dengan perkembangan situasi dan tempat) sehingga mampu menghadapi, dan memberikan solusi terbaik dalam kehidupan.

Risalah Perempuan Berkemajuan, yang menjadi materi Muktamar ke-48 dimaksudkan sebagai landasan, arah, dan acuan bagi setiap insan perempuan. Perempuan, diharapkan menjadi maju dan menjadi penggerak organisasi perempuan. Mereka dapat membangkitkan potensi dan peran perempuan dalam menjalani kehidupan di berbagai bidang sehingga terwujud peradaban maju yang tercerahkan dan berwawasan rahmatan lil-‘alamin.

Sebagai perwujudan dari implementasi Risalah Perempuan Berkemajuan, terdapat 10 Komitmen Perempuan Berkemajuan, meliputi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pelestarian lingkungan, penguatan keluarga sakinah, pemberdayaan masyarakat, filantropi berkemajuan, aktor perdamaian, partisipasi publik, kemandirian ekonomi, peran kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Terdokumentasi dan terbahasnya Risalah Perempuan Berkamajuan ini, mengukuhkan bahwa secara konsep pembahasan konsep kesetaraan dan keadilan gender nyaris paripurna di persyarikatan Muhammadiyah.

 

Tantangan implementasi

Walaupun konsep kesetaraan dan keadilan gender di persyarikatan nyaris paripurna, di level implemenasi masih menghadapi tantangan. Misalnya, isu kepemimpinan perempuan di organisasi induk Muhammadiyah. Berdasarkan Anggaran Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah Pasal 4 disebutkan bahwa keanggotaan Muhammadiyah terdiri dari “laki-laki dan perempuan yang telah berusia 17 tahun” dan jenis kelamin tertentu bukan menjadi syarat calon pimpinan Muhammadiyah di semua level. Namun, pada realitasnya hampir semua pemilihan pimpinan Muhammadiyah di semua level, calon laki-laki sangat mendominasi, jika ada perempuan itu pun dapat dihitung dengan jari.

Guna mengatasi persoalan kesenjangan tersebut, Muhammadiyah bersepakat adanya kebijakan agar melibatkan lebih banyak perempuan di kepengurusan Muhammadiyah. Sejak 2010, Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menjadi salah satu ketua di Pimpinan Pusat Muhammadiyah secara ex-officio atau otomatis, tanpa harus dipilih. Namun, kebijakan ini baru diikuti sekitar 10% di level wilayah/provinsi.

Menariknya, ada banyak daerah yang justru sudah mengadopsi kebijakan tersebut, walaupun tingkat provinsi belum mengadopsinya. Bersyukur saat Pleno 1 Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah yang sudah dilaksanakan 5-6 November 2022 di Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta, ada wilayah yang mengingatkan kebijakan ini. Harapannya akan banyak lagi yang mengadopsi kebijakan ini, pada periode kepemimpinan 2022-2027 di semua level.

Walaupun, konsep kesetaraan dan keadilan gender sudah menjadi mental model (paradigma, keyakinan, dan perspektif) sejak awal persyarikatan ini tumbuh dan berkembang, tetapi tantangannya terletak pada sosialisasi ide-ide kesetaraan tersebut, yang belum merata ke seluruh warga persyarikatan. Upaya membumikan nilai kesetaraan gender ini memang tidak mudah.

Salah satu bentuk belum meratanya pemikiran kesetaraan ini dapat terlihat saat Sidang Pleno 1, belum semua wilayah menempakan posisi ibu-ibu ‘Asiyiyah secara setara, menempatkan ibu-ibu di belakang yang nyaris tidak terlihat, bahkan ada beberapa yang tidak terlihat (male panel isu). Selain itu, masukan agar produk-produk tarjih juga dokumen Risalah Islam Berkemajuan dan Risalah Perempuan Berkemajuan dapat disajikan lebih sederhana serta mudah dipahami dan disosialisasikan secara masif, sistematis, dan turukur juga banyak disampaikan anggota dan peserta Pleno 1 Muktamar pada sesi tanggapan materi muktamar.

Nilai kesetaraan dan keadilan gender bagian dari bingkai “keislaman-keummatan, keindonesiaan-kebangsaan, dan kemanusiaan semesta” yang harus ditarik dalam satu tarikan napas dalam Muktamar kali ini. Nilai-nilai dan normativitas yang sudah digagas, dituliskan dan dicontohkan oleh para tokoh, termasuk Buya Syafii dapat menjadi pemandangan yang indah dan bercahaya, seperti kristal dan membudaya menjadi nilai semua warga, jika dilakukan upaya-upaya untuk membumikannya secara sistematis.

Diperlukan upaya sistematis yang mengarah perubahan dari nilai individu (ego-system), menjadi nilai bersama (eco-system). Otto Scharmer menjelaskan upaya-upaya perubahan dari downloading (melihat pola lama) menjadi performing (dilakukan secara menyeluruh). Upaya dilakukan dengan memahami dengan detail fenomena dan persoalan yang ada, lalu melihat dari dekat, merasakan, dan menemukan mental model untuk selanjutnya diperlukan cara berpikir baru, yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan, program, dan kegiatan dan selanjutkan dimasifkan, dan berdampak pada perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan itu akan dapat berjalan dengan efektif jika ada open will, open heart, dan open mind.

Alhamdulillah, keterlibatan perempuan di organisasi induk Muhammadiyah mengalami peningkatan. Situasi ini perlu disyukuri, tetapi juga perlu ditingkatkan. Jumlah perempuan sebagai kader persyarikatan yang mempunyai wawasan, ketangguhan, dan pengalaman memimpin, baik di level nasional maupun internasional juga semakin bertambah. Karena itu, semoga pada periode 2022-2027, juga akan semakin banyak jumlah perempuan yang terlibat di semua level pimpinan Muhammadiyah sehingga dapat memberikan pengabdiannya bersama laki-laki dalam mengumpulkan amal jariah untuk kemaslahatan umat, sebagaimana dimimpikan almarhum Buya Syafii. Semoga!

BERITA TERKAIT