01 November 2022, 05:05 WIB

Menjadi Jokowi


IGK Manila Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) dan anggota merangkap Sekretaris Majelis Tinggi Partai NasDem |

MENJADI Jokowi, dalam bulan-bulan ini, bahkan sebenarnya sejak pandemi covid-19 melanda dunia pada akhir 2019, tak pernah mudah. Jika tanpa seni memimpin, baik memimpin diri diri maupun memimpin negara, Jokowi mungkin tak akan mampu membawa Indonesia bertahan, dan bahkan keluar dari krisis demi krisis.

Saya mengenal Jokowi dan Jokowi mengenal saya. Pertemuan dan percakapan kami terbatas, apalagi dalam periode presidensi kedua ini. Mungkin hanya satu atau dua kali kesempatan. Namun, dalam interaksi langsung yang terbatas tersebut, dan berdasarkan pendengaran dan penglihatan saya dari luar tembok istana, Jokowi ialah manusia Indonesia, sahabat, dan pemimpin yang hebat.

Dedikasi Jokowi pada bangsa ini, seperti juga dedikasi enam presiden Indonesia sebelumnya. Penilaian ini tidak bermaksud membanding-bandingkan secara negatif karena hemat saya itu akan lebih banyak mudaratnya. Tujuan saya, ialah untuk mengajak kita melihat betapa dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Jokowi telah dan sedang melanjutkan apa yang telah diperbuat para pendahulunya.

Seperti dengan Jokowi, saya pernah berinteraksi langsung, mendapat tugas atau bekerja dengan kelima presiden sebelumnya. Berdasarkan interaksi tersebut, saya ingin berefleksi terlebih dahulu, menyampaikan legacy mereka sebelum kemudian menyampaikan beberapa hal yang menjadi pokok tulisan ini.

Saya pernah berinteraksi langsung sebagai seorang perwira muda polisi militer dengan Bung Karno. Beliau bercerita cita-cita kebangsaan, situasi politik, dan masa depan Indonesia. Salah satu yang paling saya ingat ialah betapa Bung Karno mengutamakan kelanggengan bangsa Indonesia di atas kepentingan pribadi. Beliau menolak untuk memanfaatkan pengaruhnya, yang kalau itu dilakukan akan menyebabkan keterbelahan bangsa.

Sementara itu, karier militer terpanjang saya ialah di zaman Pak Harto. Bukan hanya dalam bidang militer, interaksi saya dengan presiden kedua tersebut, juga mencakup urusan sipil seperti Operasi Ganesha, sepak bola dan wushu. Bangsa ini, hemat saya, juga beruntung mendapat presiden yang menekankan pembangunanisme ini. Modernisasi Indonesia terjadi secara masif di masa beliau, dan itu berpengaruh terhadap semua bidang kehidupan.

Setelah masa Pak Harto, saya berkarier sipil di masa kepresidenan Pak Habibie. Meskipun memerintah dalam masa yang amat singkat, beliau berupaya meletakkan, menegakkan, dan mempraktikkan demokrasi. Meskipun tak terpilih lagi karena konsisten dengan prinsip demokratisasi, beliau juga berhasil melakukan stabilisasi perekonomian pascakrisis 1997-1998.

Gus Dur, sementara itu, ialah pendekar demokrasi yang berusaha memberi hak dan ruang bagi kelompok-kelompok minoritas. Walaupun mengalami pemakzulan, presiden yang pernah sama-sama menjadi komentator sepak bola bersama saya ini, telah meruntuhkan “keangkeran” stratifikasi kekuasaan, berusaha mengurangi dinding-dinding birokrasi yang kaku.

Mbak Mega, demikian kami sebagai taruna dan kemudian perwira muda TNI pada 1964 biasa memanggilnya, menggantikan Gus Dur. Srikandi demokrasi yang terus bertahan menjadi oposisi di zaman Orde Baru ini, dalam pandangan saya, berusaha “mengademkan” dan menyalurkan gegap-gempita semangat dan cita-cita reformasi, yakni ke arah konsolidasi kebangsaan. Semua elemen bangsa harus dapat tempat.

Di sepanjang 10 tahun pemerintahannya, Pak SBY berusaha mengukuhkan kembali sendi-sendi stabilitas sosial-politik, ekonomi, dan aspek-aspek kehidupan berbangsa lainnya. Perlahan, tetapi pasti, kegetiran akibat krisis besar pada akhir 1990-an, yang berujung gerakan reformasi, mereda. Proses demokratisasi terus berlangsung.

 

Kedewasaan politik

Ini ialah pokok pertama yang ingin saya sampaikan. Dalam amatan saya yang terbatas, terasa sekali suhu politik memanas, ketika situasi ekonomi Indonesia tengah terancam dalam situasi ekonomi dunia yang diprediksi bisa saja mengalami resesi. Berita-berita, talkshow, atau media sosial seperti mengipasi api perpecahan politik, terutama di lingkungan koalisi pendukung Jokowi.

Sejauh ini, Jokowi terlihat berusaha keras untuk tenang dan dengan segala macam upaya mengatasi kipasan-kipasan atau bahkan ragam tuntutan yang mungkin saja diajukan satu atau dua partai. Terkait Partai dengan Partai NasDem, misalnya, yang selalu menjadi yang pertama dan utama mendukung Jokowi, mengalami framing sedemikian rupa sebagai “pengkhianat” ketika berinisiatif mencari dan mengumumkan nominator calon presiden berikutnya. Namun, Jokowi, jika dilihat sikap dan langkahnya, berlaku sebagai negarawan, menunjukkan kedewasaan berpolitik.

Kenegarawanan Jokowi semestinya menjadi teladan bagi semua, baik pemimpin partai politik maupun para pengurusnya. Seorang negarawan berpikir objektif, mampu melihat persoalan dari ragam perspektif, menghormati hak orang atau kelompok lain. Bahkan, harus memiliki kemampuan bersyukur atas apa yang sudah diperoleh sehingga tak nyinyir dengan apa yang dilakukan orang atau kelompok berbeda.

Politisi dan partai pendukung pemerintah, yang kini telah makin membengkak seyogianya mengurus tugas dan tanggung jawab masing-masing. Tidak perlu Jokowi bolak-balik dibebani lagi pikiran atau persoalan remeh-temeh atau bahkan ‘bikin-bikinan’ hanya karena cemburu hati atau ketidakmampuan diri.

 

Legacy

Baik bagi Jokowi maupun tokoh-tokoh, serta partai-partai pendukungnya, dua tahun terakhir ini seharusnya menjadi masa menuntaskan pembangunan legacy. Daripada merepotkan diri mengurus persoalan ‘bikin-bikinan’ lebih baik memastikan warisan terbaik bagi bangsa ini, yang akan dikenang di sepanjang sejarah oleh generasi demi generasi.

Merepotkan diri dengan urusan reshuffle menteri atau tidak, misalnya, jika pertimbangannya bukan profesionalisme, tetapi hanya ketakutan-ketakutan temporer dan asumtif, hanya akan memubazirkan daya dan waktu sebab riak di laut ialah perkara biasa dan pasti sehingga lebih baik terus membangun kapal dan dermaga yang akan bisa dipakai oleh jutaan rakyat kini dan esok hari.

Sebagai rakyat, pendukung, dan sahabat, saya yakin Jokowi akan tetap “menjadi Jokowi” sebagaimana yang saya kenal dan juga menjadi sebab kedipilihan beliau. Meskipun kenyinyiran, sindiran, tuntutan, atau bahkan ancaman memang mudah mengganggu hati dan pikiran, Jokowi rasanya tak akan reaktif dan bertindak gegabah. Dengan kejokowiannya, Jokowi akan terus menorehkan legacy-nya seperti kelima presiden sebelumnya.

BERITA TERKAIT