SEWAKTU mengantar putra bungsu saya yang masih duduk di bangku SMA, pada Jumat (28/10) lalu, saya agak terperangah melihat dia mengenakan batik. Tumben. Biasanya setiap Jumat ia mengenakan baju koko (muslim). “Kan, hari Sumpah Pemuda,” katanya menjelaskan ketika saya bertanya mengapa ia memakai batik hari itu. Di jalan, saya melihat anak-anak sekolah juga banyak mengenakan busana daerah. Pelajar perempuan berkebaya dan kain, sementara yang laki-laki mengenakan batik. Dalam hati saya bersyukur, setidaknya bapak dan ibu guru masih mengingatkan tentang peringatan momen tersebut.
Sebagian dari kita yang pernah mengenyam pendidikan tentu tahu dan mungkin hafal butir-butir Sumpah Pemuda karena telah ‘diindoktrinasi’ sejak di bangku sekolah dasar, bahkan mungkin sejak taman kanak-kanak. Namun, sedikit barangkali yang memaknai lebih jauh pentingnya momen tersebut sebagai salah satu pilar penting dalam tonggak sejarah perjalanan bangsa. Bayangkan ketika negara ini belum lagi terbentuk, para pemuda dan pemudi yang ketika itu rata-rata baru berumur 20-an tahun sudah memikirkan ‘benang merah’ yang dapat menyatukan penduduk yang tersebar di wilayah kepulauan ini.
Sebuah sikap politik bahkan telah mereka gaungkan melalui ikrar tersebut. Pemilihan kata ‘kami’ (putra dan putri Indonesia) seolah menjadi garis pembatas antara mereka dan kaum kolonial. Jika ditarik ke belakang, kelahiran Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 tentu tidak terlepas dari pengaruh organisasi pergerakan yang lahir sebelumnya, semisal Sarekat Dagang Islam yang didirikan pada 1905 (kelak bermetamorfosis menjadi Sarikat Islam) dan Budi Utomo (1908). Mereka gelisah melihat penindasan yang dialami kaum bumiputra. Lewat ideologi yang masing-masing mereka usung, ide-ide untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka lepas dari penindasan mulai disemaikan.
Mungkin dalam kurikulum pendidikan sejarah, terutama di sekolah menengah, pemahaman konteks historis semacam inilah yang perlu ditekankan. Siswa jangan cuma disuruh menghafal isi Sumpah Pemuda, teks Proklamasi, atau butir-butir Pancasila tanpa dibekali pengetahuan tentang makna, konteks, tujuan, dan sejarah terciptanya naskah-naskah tersebut. Aktivitas belajar mengajar sejarah bukan semata kegiatan akademis, melainkan kegiatan yang bermakna sosial dan politis.
Begitu pula dengan peringatan Sumpah Pemuda. Peristiwa yang terjadi hampir seabad lalu itu mesti dimaknai untuk membentuk karakter dan jati diri bangsa. Masyarakat, bukan hanya generasi muda, mesti memahami dan kembali menghayati bahwa negara ini lahir dan berdiri di atas semua golongan. Ia merupakan cita-cita bersama dengan menafikan berbagai kepentingan, baik suku maupun ego kedaerahan. Kini, di tengah makian dan ujaran kebencian yang bertebaran, memang sudah selayaknya kita mengingat dan merenungi kembali sumpah itu.
Kita juga mesti tahu dan memahami proses serta dinamika bagaimana peristiwa itu terjadi. Bagaimana seorang Muhammad Yamin, pemuda asal Mingakabau, Sumatra Barat, dengan begitu percaya diri meyakinkan rekan-rekannya yang ketika itu lebih senang dan fasih berbahasa Belanda untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa yang kini digunakan hampir 300 juta penduduk dan dipelajari di lebih dari 50 negara tersebut sudah sepatutnya membuat kita bangga seperti halnya kita mesti bangga pada batik dan kebaya. Itulah gunanya belajar sejarah. Salam budaya !