23 October 2022, 05:00 WIB

Budaya Minum Obat


Adiyanto Wartawan Media Indonesia |

INDONESIA  merupakan surga bagi industri farmasi. Dengan jumlah penduduk mencapai 275 juta per semester 1 (Juni) 2022, masyarakat di negara ini ialah pasar yang potensial. Bahkan, bayi yang belum mbrojol ke dunia pun merupakan konsumen produk industri tersebut. Seperti dikutip dari situs www.bkpm.go.id, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan ada 220 perusahaan industri farmasi di Indonesia. Dari jumlah itu, sebagian besar di antaranya (90%) berfokus pada sektor hilir dalam produksi obat-obatan. Menurut data Kementerian Kesehatan, hingga 2021, ada 241 industri pembuatan obat-obatan, 17 industri bahan baku obat, 132 industri obat-obatan tradisional, dan 18 industri ekstraksi produk alami.

Larisnya bisnis di bidang medis itu bukan lantaran masyarakat di negara ini penyakitan, melainkan lebih kepada mudahnya mereka dalam mengonsumsi obat. Entah lantaran betul-betul peduli pada kesehatan atau karena terbujuk rayuan iklan. Tidak heran jika hampir di sejumlah ruas jalan banyak kita jumpai apotek dan toko obat. Dari yang menjual obat kuat hingga vitamin dan suplemen kesehatan. Bahkan, mamang-mamang pemilik kios rokok pun menjual obat, ya, minimal untuk flu, pilek, dan sakit kepala.

Obat memang baik untuk kesehatan. Namun, selain menyembuhkan, ia juga dapat memicu penyakit jika dikonsumsi dengan cara yang tidak benar atau tidak sesuai takaran dan petunjuk dokter. Namanya bahan kimia, tiap obat pasti memiliki efek samping, mulai alergi hingga keracunan. Makanya, dalam setiap kemasannya, selalu dicantumkan kontraindikasi. Masalahnya, tidak semua konsumen mau membacanya, apalagi secara cermat dan teliti.

Sosialisasi semacam itu semestinya yang digencarkan para stakeholder di bidang kesehatan, termasuk pelaku di industri farmasi. Hal itu mungkin bisa dijadikan sebagai bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), entah lewat seminar atau penyuluhan di posyandu ataupun puskesmas. Jangan cuma gencar memasarkan produk dengan berbagai bujuk rayu lewat iklan yang setiap hari wara-wiri di televisi.

Para tenaga medis, terutama dokter dan pihak pengelola rumah sakit atau klinik, mungkin juga harus lebih selektif dalam menerima tawaran obat dari perusahaan farmasi. Itu karena bukan rahasia lagi jika para sales obat ini begitu gencar dan atraktif dengan berbagai bujuk rayu agar produk mereka diresepkan kepada pasien. Utamakan keselamatan konsumen, jangan cuma memikirkan keuntungan pribadi. Abaikan jika produk tersebut memang memiliki dampak buruk atau berpotensi berbahaya bagi konsumen atau masyarakat.

Seandainya benar dugaan kasus ginjal akut yang dialami sejumlah anak yang terjadi baru-baru ini lantaran senyawa berbahaya dalam kandungan obat yang mereka konsumsi, berarti ada yang salah dalam tata kelola industri farmasi dan dunia kesehatan kita. Ini tentu perlu pembenahan dari hulu hingga hilir dengan melibatkan seluruh pihak terkait, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), perusahaan farmasi, dan Badan POM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Sementara itu, pihak kepolisian bisa menyelidiki siapa yang bersalah dan harus bertanggung jawab dalam kasus tersebut.

Peristiwa semacam itu juga mungkin bisa jadi pelajaran bagi kita semua untuk tidak sembarangan mengonsumsi obat. Sebaiknya konsultasikan dengan ahlinya, entah dokter atau bidan. Jangan pula malas membaca tiap peringatan yang tercantum dalam setiap kemasan obat. Ingat, tidak semua obat manjur bagi setiap orang karena ada juga yang memiliki resistansi atau alergi terhadap obat tertentu.

Satu hal lagi, dan ini yang saya kira paling penting, ialah menjalani pola hidup sehat dengan menjaga kebersihan, mengonsumsi makanan bernutrisi, rajin berolahraga, serta istirahat yang cukup. Bukankah ada ungkapan yang mengatakan mencegah lebik baik daripada mengobati? Salam sehat dan selamat berakhir pekan.

BERITA TERKAIT