KASUS operasi tangkap tangan (OTT) rektor Universitas Lampung (Unila) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sungguh mengagetkan. Betapa tidak, pejabat yang terkena setingkat rektor, wakil rektor, dan ketua senat.
Perguruan tinggi (PT) adalah tempat berkumpulnya para cerdik cendekia. Manusia-manusia berilmu tinggi dan penanam nilai-nilai kejujuran, yang boleh salah tapi tidak boleh bohong. Mereka kerap memberikan pandangan filosofis dan kritis demi perbaikan kondisi masyarakat, bangsa dan negara. Maka dari itu, PT pantas diposisikan sebagai benteng moral tertinggi. Pada saat elite kampus melakukan praktik korupsi, wajar bila ada yang menganggap benteng moral terakhir roboh.
Saya berharap, praktik tak bermoral itu berakhir di Unila. Tidak menjalar kemana-mana. Meski saya ragu. Sebab godaan korupsi di PT sangat kuat. Oleh sebab itu kita perlu mengenal pintunya. Sekaligus menutupnya rapat-rapat.
Pintu korupsi
Paling tidak ada empat pintu korupsi pada PT. Pertama, transaksi sogok penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri (PMJM). Mengapa jalur mandiri? Karena jalur ini dikelola oleh PT penyelenggara. Mulai dari ujian, kelulusan, dan penentuan besaran biaya di atas biaya uang kuliah tunggal. Ini yang dipraktikkan oleh Karomani et al.
Kedua, korupsi di PT bisa masuk melalui pengadaan. Pada pintu pun sangat rawan. Bayak celah. Mulai dari perencanaan, proses pemilihan penyedia, pengawasan hingga penerimanaan hasil pekerjaan. Pada tiap celah banyak setannya. Ada yang mengajak mengatur proses pemilihan penyedia, pengawasan, dan pemeriksaan hasil pekerjaan. Dengan iming-iming imbalan mulai dari sekadar ucapan terima kasih berupa bingkisan hingga cash back ratusan juta, bahkan miliaran rupiah. Tergantung besar nilai proyeknya.
Ketiga, korupsi di kampus dilakukan dengan melambungkan nilai anggaran. Pemain biasanya 'tikus-tikus' kecil yang eksekusinya melalui belanja dan surat pertanggungjawaban (SPJ) fiktif. Nilainya tidak signifikan tapi menyebar di mana-mana. Kendati demikian secara akumulatif nilainya bisa besar juga.
Keempat, korupsi di kampus dapat pula dilakukan melalui insentif pengelola dan bukan pengelola. Tujuannya memberikan apresiasi kepada pengelola yang dianggap berprestasi atau pekerjaannya berisiko, strategis, berat, dan lain-lain. Insentif tersebut dilegalkan dengan surat keputusan (SK) pimpinan, namun tetap menyisakan ruang gelap pada tahap pelaksanaanya.
Pada ruang gelap itulah para pihak berkewenangan berkelindan dengan segenap kepentingan, dapat memberikan insentif tersebut kepada siapa pun yang disukai dengan mengabaikan kriteria dan objektivitas. Lebih mengedepankan subjektivitas dan preferensi.
Praktik ini sulit terendus sebab melibatkan banyak pihak yang sama-sama menikmati sehingga saling menutupi. Namun, bila kita ingin mempraktikkan prinsip-prinsip good university governance, praktik ini tetap harus dibongkar.
Strategi penguatan
Sebagai akademisi, saya tidak rela dan sepantasnya membiarkan benteng itu roboh. PT harus menjadi model lembaga bebas korupsi dan tempat menanamkan nilai-nilai moral anti korupsi. Maka dari itu, saya menawarkan enam strategi penguatannya.
Pertama, setiap pejabat yang dilantik mulai dari rektor hingga urutan paling buncit mestinya berikrar, berkomitmen, dan menandatangani pakta integritas secara berjamaah. Harus disaksikan bersama bahwa mereka tak menyalahgunakan jabatan, kewenangan, dan pengaruhnya buat memperkaya diri atau orang lain dengan dalih apapun secara ilegal atau pura-pura legal.
Kedua, PT harus memberikan sanksi kepada pejabat yang terindikasi korupsi. Mereka mesti diberhentikan dari jabatannya. Untuk itu, PT mesti mengaturnya lewat peraturan rektor sehingga sanksi yang diberikan memiliki landasan hukum yang kuat.
Ketiga, bila ada pengaduan masyarakat yang melaporkan indikasi praktik korupsi, PT harus memberikan kebebasan kepada aparat penegak hukum (APH) untuk menindaklanjutinya. PT tidak boleh membuka ruang kompromi dengan APH dan harus tegak lurus terhadap hukum. Tidak ada istilah demi reputasi institusi, PT diam-diam memeraktikkan korupsi. Apapun risikonya, PT tidak boleh berkompromi, toleransi apalagi permisif dengan korupsi.
Keempat, PT mesti memperkuat pengawasan internalnya lewat instumen peraturan rektor. Auditor internal PT harus bebas kepentingan dan terbebas dari pengaruh pejabat kampus dalam melakukan tugasnya. PT harus bermitra dengan BPK maupun KPK. Paling tidak dalam meningkatkan kapasitas auditor dan kualitas auditnya.
Kelima, bila ada elite kampus terindikasi memiliki peningkatan kekayaan secara tidak wajar, mesti dibuka ke publik. Ia harus dapat mempertanggungjawabkan dari mana asal usul kekayaan tersebut. Keenam, PT perlu mengajarkan pendidikan antikorupsi kepada mahasiswa, minimal 3 SKS. Substansi yang diajarkan meliputi sejarah kehancuran peradaban, kegagalan negara dan bangsa di dunia akibat korupsi; korupsi penghambat pencapaian kesejahteraan dan penggerus nilai-nilai moralitas; dan lain-lain.
Nilai moral anti korupsi juga mesti masuk dan disisipkan dalam setiap mata kuliah. Dengan cara ini, diharapkan dari PT akan lahir SDM unggul yang mengusung nilai antikorupsi. Inilah enam usulan penulis sebagai upaya menjadikan kampus PT sebagai model masyarakat ideal bebas korupsi sekaligus tempat penanaman nilai moral anti korupsi. Dengan begitu kampus benar-benar menjadi zona integritas. Bukan sebatas seremonial. Ingat spanduknya, namun lupa esensinya.