25 September 2022, 05:00 WIB

Belajar dari Sejarah


Adiyanto Wartawan Media Indonesia |

ADA dua peristiwa pekan ini yang menurut saya menarik untuk diperbincangkan. Pertama, peristiwa ditemukannya pipa saluran air kuno, jembatan, rel bekas trem, dan beberapa artefak lainnya, saat dilakukannya pembangunan jalur MRT di kawasan Glodok, Jakarta. Peristiwa kedua ialah hasil studi yang dilakukan para peneliti dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura, mengenai kota-kota pesisir di Asia Selatan dan Tenggara, termasuk Jakarta, yang berpotensi tenggelam lebih cepat daripada di tempat lain di dunia. Peristiwa pertama menyangkut sejarah, sementara peristiwa kedua mengenai lingkungan. Namun, menurut saya, secara tidak langsung keduanya memiliki keterkaitan. Mengapa demikian?

Sejarawan Universitas Indonesia, Dr. Bondan Kanumoyoso, menyebut pipa saluran air kuno yang ditemukan di Glodok itu dibangun pada abad ke-18 tepatnya pada 1730-an. Ketika itu, kata Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia ini, pemerintah Hindia Belanda membangun jaringan pipa saluran air tersebut sebagai upaya menyediakan air bersih bagi warga kota. Ketika itu, lanjut Bondan, Batavia dilanda berbagai wabah, seperti penyakit pes, kusta, dan kolera lantaran banyak warga membuang sampah ke saluran air yang ada di seputar wilayah itu. “Ditambah lagi di situ banyak pabrik gula, yang juga membuang limbahnya ke sungai sehingga pemerintah merasa perlu menyediakan air bersih untuk warga,” katanya saat berbincang dengan saya melalui sambungan telepon, Sabtu (24/9).

Apa yang dilakukan pemerintah kolonial ketika itu merupakan bentuk mitigasi bencana. Makanya, saya menganggap peristiwa itu berkorelasi dengan studi yang dilakukan para peneliti dari Singapura. Sebab, studi itu menyebut, turunnya permukaan tanah di sejumlah kota pesisir di Asia Selatan dan Tenggara, termasuk Jakarta, salah satunya dipicu oleh urbanisasi dan pembangunan yang kian masif. Menurut studi yang dipublikasikan pada jurnal Nature Sustainability pada pekan lalu itu, urbanisasi yang cepat telah membuat kota-kota itu sangat membutuhkan air bersih untuk melayani populasi warga kota yang terus berkembang.

Para peneliti itu memang tidak menyebut berpotensi tenggelamnya kota-kota itu sebagai akibat langsung dari perubahan iklim. Namun, mereka bilang penelitian itu setidaknya dapat memberi gambaran yang lebih baik, tentang bagaimana fenomena tersebut (pembangunan yang masif dan urbanisasi yang berdampak pada penyedotan air tanah secara berlebihan) akan memperparah efek dari rata-rata kenaikan permukaan laut yang diakibatkan oleh perubahan iklim.

Di kolom ini pada Agustus tahun lalu, saya juga pernah menulis hal serupa. Kala itu, yang memicu saya ialah pernyataan Presiden AS Joe Biden yang bilang Jakarta berpotensi tenggelam. Apa yang disampaikan Biden memang bukanlah hal baru. Banyak ahli lingkungan, termasuk pakar tata kota di Indonesia, telah mengingatkan semakin menurunnya permukaan tanah di Jakarta. Bahkan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, JP Coen, pun ketika memerintah di zaman VOC sudah tahu kalau wilayah yang dulu bernama Jayakarta itu memiliki kontur labil karena merupakan hasil sedimentasi.

Awal Februari tahun lalu, tim peneliti Kebencanaan Pusat Teknologi Reduksi dan Risiko Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTRRB BPPT) mengungkapkan, dari berbagai hasil kajian/studi ditemukan fakta terjadinya penurunan tanah di DKI selama 50 tahun terakhir. Menurut mereka, ada empat penyebab penurunan permukaan tanah yang terjadi di Jakarta. Pertama, akibat ekstraksi air tanah. Kedua, akibat beban konstruksi. Ketiga, akibat konsolidasi alami tanah alluvium, serta akibat faktor tektonik.

Apa yang dipaparkan para peneliti Singapura, Biden, dan BPPT, tentunya semacam warning, terutama bagi para pemangku kepentingan kota untuk menyiapkan sejumlah langkah mitigasi. Apalagi, seperti yang dipaparkan para peneliti NTU, masalah urbanisasi di kota-kota besar membuat warga kini semakin membutuhkan ketersedian air bersih. Oleh karena itu, temuan saluran pipa air kuno di proyek pembangunan jalur MRT itu, kiranya merupakan salah satu pelajaran yang sangat berharga bagaimana pemerintah kala itu mengantisipasi bencana. Apalagi, selain perubahan iklim, ancaman berbagai wabah kini bukan lagi sekadar wacana.

BERITA TERKAIT