25 August 2022, 05:00 WIB

Mencegah Pola Konsumsi Memburuk


Razali Ritonga Pemerhati Fenomena Sosial-Kependudukan, Alumnus Georgetown University, AS |

MENKO Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan tingginya harga minyak mentah dunia mendorong meningkatnya harga BBM, khususnya pertalite dan solar. Maka, jika tidak segera dilakukan penyesuaian, diperkirakan akan menyebabkan kenaikan subsidi dan kompensasi mencapai Rp550 triliun pada akhir tahun ini, atau melebihi alokasi anggaran yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp502 triliun (Media Indonesia, 22/8/2022).

Dalam konteks itu, kekhawatiran kian membengkaknya subsidi BBM bukan hanya karena faktor kenaikan harga minyak dunia, melainkan juga karena penggunaan BBM melebihi target yang ditetapkan pemerintah. Hal ini terjadi hampir setiap tahunnya. Pada dekade lalu (2012), misalnya, pemerintah menetapkan target 40 juta kiloliter untuk semua jenis BBM, tetapi realisasinya mencapai 45 juta kiloliter.

Selain menyebabkan subsidi BBM meningkat, anggaran yang dialokasikan juga kurang tepat sasaran. Studi yang pernah dilakukan pada 2010 di negara-negara berkembang menunjukkan 40% penduduk kaya menikmati 80% subsidi BBM yang dianggarkan pemerintah. Pada tataran global, tercatat hanya 8% dari subsidi BBM yang disalurkan pemerintah yang dapat dinikmati 20% penduduk kelompok terbawah.

Namun, celakanya, jika harga BBM dinaikkan, hal itu akan berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya akan menyebabkan penduduk miskin meningkat. Pengalaman naiknya harga BBM pada 2005, misalnya, menyebabkan angka kemiskinan meningkat dari 15,9% pada 2005 menjadi 17,8% pada 2006 (BPS, 2007).

Secara faktual, meningkatnya harga BBM akan menyebabkan penduduk hampir miskin menjadi jatuh miskin, serta memperdalam dan memperparah derajat kemiskinan penduduk miskin. Jika hal itu dibiarkan berlarut-larut, akan kian mempersulit dalam penanganan kemiskinan. Bahkan, berpotensi menyebabkan kemiskinan ekstrem. Padahal, pemerintah mencanangkan untuk menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024.

 

Pola konsumsi memburuk

Salah satu faktor penyebab meningkatnya penduduk miskin, antara lain karena menurunnya daya beli masyarakat, akibat naiknya harga barang dan jasa, sebagai imbas dari meningkatnya harga BBM. Pada tahap lanjut, menurunnya daya beli masyarakat berpotensi menyebabkan pola konsumsi memburuk.

Memburuknya pola konsumsi masyarakat, terutama disebabkan berubahnya kuantitas dan kualitas barang dan jasa yang dikonsumsi. Untuk pengeluaran pangan, misalnya, penduduk miskin terpaksa mengurangi kuantitas pangan yang dikonsumsi. Bahkan, untuk menyesuaikan daya beli, penduduk miskin juga kerap menurunkan kualitas pangan yang dikonsumsi, yang pada kasus ekstrem mengonsumsi nasi aking.

Secara umum, memburuknya pola konsumsi pangan ditandai dengan mengerucutnya konsumsi pada pemenuhan kalori, seperti beras dengan mengurangi atau meniadakan konsumsi protein, seperti daging, susu, ikan, dan telur. Hal ini, pada gilirannya berpotensi menyebabkan derajat kesehatan penduduk berdaya beli rendah berpotensi memburuk, terutama pada tumbuh kembang anak.

Memburuknya derajat kesehatan penduduk berdaya beli rendah, terutama pada usia produktif, pada gilirannya mempersulit upaya untuk meningkatkan produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, sebaliknya akan menjadi beban pemerintah. Di India, misalnya, pemerintah di negara itu terpaksa mengalokasikan dana hingga US$30 miliar guna mengatasi kekurangan zat besi bagi penduduk miskin, agar pulih dari ketidakberdayaan (UNDP, Asia-Pacific Human Development Report, 2006).

Memburuknya pola konsumsi penduduk berdaya beli rendah, juga terekam dari mengecilnya, atau bahkan meniadakan porsi pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. Padahal, pendidikan dan kesehatan merupakan faktor penting dalam menentukan kapabilitas penduduk dan menjadi dimensi penting dalam pembangunan manusia. Maka, memburuknya pola konsumsi secara perlahan berpotensi menurunkan kualitas hidup penduduk. Hal ini tentunya bertentangan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM, terutama untuk menuju Indonesia Emas 2045.

 

Upaya pencegahan

Atas dasar itu, pemerintah perlu secara cermat memperkirakan dampak buruk dari naiknya harga BBM. Dalam konteks itu, ada dua opsi yang barangkali dapat dilakukan pemerintah. Opsi pertama, pemerintah tetap menaikkan harga BBM, tetapi perlu disertai dengan kompensasi, atau bantuan sosial bagi penduduk rentan yang mengalami penurunan daya beli, akibat imbas kenaikan harga BBM. Besaran kompensasi, tentunya perlu disesuaikan secara proporsional dengan kenaikan harga BBM.

Semakin besar kenaikan harga BBM, sepatutnya alokasi bantuan sosial juga semakin besar. Semakin besar kenaikan BBM akan kian berpotensi meningkatkan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya kian menurunkan daya beli masyarakat dan semakin memperburuk pola kunsumsi.

Secara faktual, alokasi anggaran untuk bantuan sosial yang kian besar, proporsional dengan kenaikan harga BBM diyakini bisa dilakukan pemerintah. Hal ini mengingat semakin besar kenaikan harga BBM semakin besar pula anggaran subsidi yang dapat dihemat. Pemerintah dapat mengalihkan sebagian subsidi yang dihemat itu ke bantuan sosial.

Opsi kedua, pemerintah masih perlu melakukan subsidi BBM secara selektif. Terutama, pada penduduk berpenghasilan rendah yang dalam kegiatan dan usahanya bergantung pada BBM, seperti nelayan untuk menjalankan perahu motornya. Dalam konteks itu, sejumlah negara seperti Malaysia telah memberlakukan subsidi BBM untuk nelayan. Sementara itu, pemerintah di Bangladesh dan Kazakhstan memberlakukan subsidi BBM pada petani (World Bank, 2009).

Sangat diharapkan, pemerintah perlu secara cermat mendesain tidak hanya skema kenaikan BBM, akan tetapi juga dapat merancang skema bantuan sosial sehingga pola konsumsi masyarakat berdaya beli rendah tidak sampai memburuk.

BERITA TERKAIT