APA makna usia 77 tahun? Bagi seorang manusia, berhasil mencapai umur 77 bisa dikatakan luar biasa meskipun ketika angka harapan hidup semakin meningkat, lebih banyak lagi yang mampu mencapainya. Walau demikian, ada hal yang tak bisa ditolak; penurunan kemampuan fisik dan sering kali juga kemampuan psikis.
Bagi sebuah negara, sudah barang tentu harus berlaku sebaliknya. Dalam alur berpikir linear, semakin berumur sebuah negara, seyogianya semakin kuat bangunan tubuhnya dan semakin matang jiwanya. Atau dengan kata lain, negara yang berhasil membangun diri akan semakin berdaulat dan sejahtera. Pada manusia, ada fenomena yang umum terjadi; berumur panjang dan sehat atau berumur panjang, tetapi sakit-sakitan. Jika bisa memilih begitu saja, tentu semua akan memilih berumur panjang dan sehat lahir dan batin.
Demikian pula perjalanan hidup sebuah negara. Ada negara yang sudah merdeka dari penjajahan sejak abad ke-19, awal abad ke-20, atau bahkan ada yang jauh sebelum itu atau dikatakan tidak pernah dijajah sejak menjadi sebuah negara. Namun, negara yang sudah berumur panjang tersebut sakit-sakitan, berkonflik, mengalami resesi ekonomi, dan seterusnya.
Namun, ada pula negara-negara yang baru berumur pendek, merdeka di 1970-an, 1980-an, atau lebih muda lagi. Atau negara-negara yang porak-poranda setelah Perang Dunia II dan Perang Dingin. Walau demikian, secara cepat mereka mampu membangun sistem pemerintahan, ekonomi dan aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara lainnya.
Bagaimana dengan 77 tahun kemerdekaan Indonesia? Secara internasional, dalam konotasi lebih positif kita disebut sebagai negara berkembang atau juga sebagai emerging economy. Sehubungan dengan disparitas kemajuan, Indonesia juga dikategorikan sebagai salah satu di antara global south, negara selatan yang misalnya rentan dengan dampak perubahan iklim—untuk membedakan dari global north, negara-negara maju yang lebih mapan secara sistemis.
Namun, itu tidak berarti, dalam pandangan saya, Indonesia termasuk 'negara sakit-sakitan'. Bahwa ada persoalan-persoalan yang sistemis seperti demokrasi, pemerataan ekonomi, dan sebagainya tentu tidak perlu disangkal. Namun, seperti halnya kehidupan manusia, itu semua sejauh ini termasuk kategori solvable problems, hal-hal yang bisa diselesaikan.
Dalam dua setengah tahun terakhir fundamen ekonomi Indonesia, sebagaimana halnya negara-negara lain di dunia, dihantam pandemi covid-19. Ketika tak sedikit ahli atau pengamat yang pesimistis, Indonesia ternyata menjadi salah satu negara yang survive, berhasil keluar dengan relatif aman. Harapan saya, dan pastinya kita semua, Indonesia bisa 'pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat'.
Merdeka mandiri
Dalam khazanah etika kita tahu bahwa kebebasan mengandaikan tanggung jawab. Demikian pula, orang bisa bertanggung jawab jika memiliki kebebasan untuk bertanggung jawab. Dalam logika itu, kemerdekaan juga berarti mengandaikan tanggung jawab bahwa setiap orang dan demikian pula sebuah negara menjadi merdeka (atau bertanggung jawab) mengurus diri sendiri. Tidak lagi diatur-atur orang atau negara lain.
Dengan kata lain, kemerdekaan memberikan kedaulatan sekaligus tuntutan bagi kemandirian. Merdeka dari penjahan fisik, yang secara formal tidak ada lagi negara asing yang mengangkangi Bumi Pertiwi, akan bertukar tangkap dengan lepas jika secara ekonomi, politik, dan lainnya kita pada hakikatnya tidak mandiri.
Memang ada perkara interdependensi, saling ketergantungan. Namun, jika kemerdekaan dipahami secara penuh, itu harus dibedakan dari dependensi, ketergantungan yang mencekik leher pada negara-negara lain. Dalam hal ini, kemandirian, atau dalam bahasa politik 'kedaulatan' menjadi perkara yang tak bisa ditawar-tawar.
Pulih lebih cepat ialah soal bagaimana stabilisasi aspek-aspek kehidupan bisa dilakukan berdasar tolok ukur normalitas sebelum krisis. Namun, bangkit lebih kuat, yang tentu saja lebih berat, ialah daya upaya untuk lebih berdaulat, lebih mandiri, dan dengan sendirinya lebih bertanggung jawab.
Mampukah kita? Untuk yang pertama, pulih lebih cepat, hemat saya, sudah terbukti. Agenda kedua, bangkit lebih kuat, jauh lebih menantang, untuk tidak mengatakan berat. Secara ekonomi, misalnya, kita akan sulit untuk bangkit lebih kuat jika tingkat ketergantungan pada sumber-sumber daya alam ekstraktif tak berubah. Sumber daya alam mentah ada batasnya. Ketika sumber minyak mentah semakin mengering, hal yang sama juga berlaku bagi gas, emas, timah, atau bahkan nikel yang kini menjadi salah satu primadona.
Apa alternatifnya? Mau tidak mau, kita harus bergeser pada pengembangan sektor manufaktur dan jasa. Namun, itu mensyaratkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dengan sendirinya mensyaratkan kemajuan sumber daya manusia sehingga merdeka mandiri—pulih lebih cepat dan bangkit lebih kuat secara ekonomi—berarti hanya mungkin jika kita berhasil mencerdaskan diri, mencerdaskan bangsa sebagaimana amanah UUD 1945.
Sustainability
Memperingati kemerdekaan ke-77, di samping upacara dan kegiatan-kegiatan bebas merdeka yang menghibur dan kompetitif, harus tidak melupakan bahwa sebagai sebuah negara kita harus sustainable, mampu bertahan dan berkembang dari waktu ke waktu. Penjajahan fisik dalam arti kolonialisasi tempo dulu rasanya mustahil terjadi lagi. Namun, bisa dikatakan bahwa terjadi pergeseran pola kolonialisasi, dengan penjajahan ekonomi, politik, dan kultural telah berlangsung tanpa disadari.
Kita, misalnya, tetap bebas memakai simbol-simbol berbangsa-bernegara atau menjalankan upacara-upacara. Namun, apa yang dipakai, dikonsumsi, atau bahkan yang dibangga-banggakan ialah buah kreativitas orang atau bangsa lain. Demikian pula, peringatan kemerdekaan boleh membuat kita lupa sejenak bahwa ada persoalan pangan, kejahatan aparatur sipil dan militer negara, rendahnya mutu pendidikan, dan seterusnya. Namun, lupa sejenak tersebut cukuplah sebagai pemulihan psikologis, saat untuk mengambil napas sebelum melanjutkan langkah selanjutnya.
Jalan masih panjang. Mungkin perlu satu, dua, atau bahkan tiga dekade lagi kita sampai pada titik sustainability, mapan dalam arti terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga peringatan kemerdekaan bukan lagi sekadar upacara atau obat pelipur lara bagi rakyat yang merayakan, melainkan betul-betul menjadi cita-cita yang terwujud dan sama-sama dinikmati.