19 August 2022, 05:10 WIB

Kemerdekaan Ideologis


Muhammad Abdul Aziz Program doktoral Institut PTIQ dan Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal Jakarta |

KEMERDEKAAN Indonesia sudah berusia 77 tahun. Artinya, selama itu Pancasila yang sudah diresmikan sebagai dasar negara sejak 18 Agustus 1945, terbukti mampu menjadi titik temu (common ground) bagi rakyat Indonesia yang demikian majemuk. Meski demikian, masih ada sebagian warga negara yang tampak kurang puas dengan posisi Pancasila tersebut.

Tertangkapnya beberapa anggota dan jenderal Negara Islam Indonesia (NII) beberapa bulan lalu, berikut beragam fenomena serupa sebelumnya, ialah contoh nyata bahwa Pancasila sebagai dasar negara ternyata belum sepenuhnya diterima rakyat Indonesia. Pertanyaannya, apakah benar Pancasila tidak cukup merepresentasikan ajaran Islam?

Sebenarnya hubungan antara Pancasila dan Islam sudah banyak dieksplorasi oleh sekian sarjana seperti Nurcholish Madjid yang menyimpulkan Pancasila sebagai kelanjutan dari Islam. Termasuk juga Yudi Latif yang mengurai kemampuan sintesis Pancasila terhadap tiga ideologi, yakni religius, nasionalis, dan sosialis. Meski demikian, satu hal dalam Islam yang belum banyak dieksplorasi ialah dimensi ajarannya yang bersifat baik eksklusif maupun inklusif.

Yang pertama, kebenaran dan kemanfaatannya lebih diperuntukkan pemeluknya. Sementara itu, yang kedua cenderung bersifat universal sehingga cocok untuk diterapkan, bahkan oleh umat agama lain. Berangkat dari fakta ini, penulis akan mencoba meneropongnya dari perspektif maqasid al-shariah.

 

Inklusifitas Maqasid al-Shariah

Tesis utama maqasid al-shariah adalah bahwa segala bentuk aturan dan etika yang disyariatkan Tuhan, terdapat tujuan di dalamnya. Salah satu tujuan tersebut ada yang disebut sebagai tujuan umum (al-maqasid al-‘ammah) yang merupakan sekumpulan nilai universal yang berada di balik sebuah aturan. Imam Al-Ghazali mengidentifikasinya sebagai penjagaan terhadap agama, nyawa, keturunan, akal, dan harta. Kelima hal ini oleh Imam Al-Shatibi disebut sebagai al-kulliyyat al-khams. Dalam pandangan penulis, selain terhadap eksklusifitas, lima penjagaan ini merupakan representasi inklusifitas ajaran Islam.

Pertama, dalam penjagaan agama (hifz al-din), yang eksklusif ialah melakukan segala ritual yang telah diperintahkan Tuhan demi tegaknya agama. Salat ialah contoh ritual utama yang memang diperuntukkan hanya kepada umat Islam. Sementara itu, yang inklusif ialah menjaga kebebasan beragama (Al-Baqarah 256) setiap anak manusia. Meski demikian, kebebasan ini bukan lantas berarti semua agama sepenuhnya sama sehingga bebas dianut, tetapi lebih sebagai konsekuensi diberikannya akal kepada manusia (‘illat al-taklif). Ibnu Ashur menyebutnya sebagai hurriyyat al-i’tiqad, yaitu kebebasan berkeyakinan.

Spirit penghargaan Islam terhadap kebebasan berkeyakinan sesungguhnya dapat kita temukan dalam sila pertama Pancasila. Disebutnya kata Ketuhanan pertama kali menunjukkan bahwa spirit keberagamaan merupakan hak manusia paling mendasar. Karena itu, sila pertama yang menempati aras ontologis filsafat hidup rakyat Indonesia, menjamin kebebasan dan keragaman keyakinan mereka. Sementara itu, Yang Maha Esa merujuk pada karakter monoteisme yang jelas selaras dengan prinsip tauhid.

Terkait dengan penjagaan nyawa (hifz al-nafs), kedua, eksklusifitas Islam dapat dicontohkan pada diundangkannya qisas (pembalasan setimpal) ketika seorang muslim terbunuh tanpa alasan yang dibenarkan. Adapun inklusifitas Islam tampak jelas pada deklarasi penghargaan Al-Qur’an terhadap kemanusiaan (Al-Isra’ 70) yang termanifestasikan pada karakter ajaran Islam yang antroposentrik. Ia melindungi jiwa segenap manusia tanpa memandang perbedaan latar belakang agamanya.

Penghargaan Islam terhadap kemanusiaan secara nyata terefleksikan pada redaksi Kemanusiaan dalam sila kedua. Pancasila mengajarkan bahwa setelah mengakui transendensi Ketuhanan, seseorang harus menyadari kemanusiaannya. Untuk menjadi manusia paripurna, kualifikasi utamanya ialah bersikap adil dan beradab.

Ketiga, dalam penjagaan keturunan (hifz al-nasl), eksklusifitas ditunjukkan pada diundangkannya institusi perkawinan sesama umat Islam yang kemudian melahirkan hukum keluarga (fiqh al-usrah). Adapun yang inklusif adalah dilonggarkannya pernikahan beda agama dalam kondisi tertentu. Ketiadaan intervensi Islam terhadap pernikahan sesama nonmuslim juga satu bentuk pengakuan terhadap kelestarian manusia apa pun agamanya. Semangat pelestarian ini juga dapat ditemukan pada sila ketiga. Persatuan rakyat ialah syarat utama untuk mengusir penjajahan yang antikemanusiaan agar kemudian terbentuk negara bernama Indonesia.

Dalam penjagaan akal (hifz al-‘aql), keempat, yang eksklusif ialah diwajibkannya menuntut ilmu kepada setiap diri umat Islam agar rasionalitas mereka terus menyala dan berkembang. Sementara itu, yang inklusif terletak pada ketiadaan pembatasan untuk saling berkolaborasi keilmuan dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan agamanya.

Spirit keilmuan ini jelas berkelindan dengan sila keempat, yakni usaha Kerakyatan yang dipimpin oleh rasionalitas atau hikmat dan kebijaksanaan dalam menerjemahkan keputusan. Dalam situasi kontemporer, hal ini terefleksikan dalam demokrasi yang berlandaskan pada permusyawaratan yang dilakukan perwakilan rakyat.

Terakhir, dalam penjagaan harta (hifz al-mal), yang eksklusif tampak pada disyariatkannya zakat yang berfungsi memberdayakan umat Islam secara ekonomi. Termasuk sistem ekonomi Islam yang berasaskan pada proporsional (iqtishad) terbukti tidak hanya bermanfaat untuk umat Islam, tetapi juga inklusif untuk kemanusiaan. Hal ini selaras dengan sila Keadilan sosial yang merupakan tujuan berbangsa dan bernegara. Kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu ialah nilai kemanusiaan yang dicita-citakan setiap rakyat apa pun agamanya.

Dengan demikian, terbukti bahwa Pancasila demikian representatif terhadap ajaran Islam. Keduanya bertemu pada nilai-nilai inklusif seperti spirit keberagamaan, pengakuan terhadap kemanusiaan, urgensi persatuan demi pembangunan, rasionalitas proporsional dalam implementasi kebijakan, dan keadilan sosial yang menjadi tujuan bernegara. Dengan kesadaran ini, sudah semestinya kita merdeka dan terbuka; tidak terkungkung dalam eksklusifitas ideologi.

BERITA TERKAIT