BERITA tentang lembaga filantropi beken diterpa masalah sedang ramai beberapa pekan terakhir ini. Mereka sedang tidak baik-baik saja. Aksi Cepat Tanggap (ACT) dikenal sebagai lembaga filantropi yang paling depan jika ada bencana. Lembaga pengepul donasi itu dikabarkan sedang berada pada krisis keuangan, berbagai program tidak jalan akibat salah dalam pengelolaan, serta berbagai penyelewengan yang terjadi di dalamnya. Mantan pendirinya dan ketua barunya saling mengadu untuk mencari dukungan publik dan berupaya mencuci tangan dari berbagai problem yang dihadapi.
Masyarakat terbelah, ada yang mendukungnya karena merasa pernah menerima manfaat dari berbagai program yang telah dijalankan. Akan tetapi, juga banyak yang kecewa karena sebagiannya ialah penyumbang donasi, yang melihat perilaku para pejabatnya mengambil gaji sangat besar serta manajemen yang dijalankan ternyata sangat kapitalis.
Filantropi yang disalahartikan
Besarnya gengsi para petinggi menginginkan gaji yang tinggi dengan dibiayai dari uang yang didapat dari sedekah masyarakat. Dilansir dari laporan Media Indonesia, ACT dikabarkan memotong gaji dari dana umat sebesar 20% dan memotong hingga Rp12 miliar untuk gaji dan operasional dari rerata sumbangan yang masuk Rp60 miliar per bulan. Gaji besar yang didapat para pejabatnya itu setara dengan gaji para petinggi di BUMN.
Mereka menggalang donasi, mengeksploitasi bencana dan musibah, kemudian menggunakan uang yang didapat untuk gaji dan fasilitas pribadi. Ibarat mereka hidup di atas bencana yang ditimpa sesama. Mereka itu seperti orang yang meminta-minta sumbangan atas nama orang lain, kemudian ikut menikmati sedekah yang diberikan untuk orang lain itu, bahkan mengambilnya lebih banyak, ironis memang.
Di sisi lain, lembaga amal global Charities Aid Foundation (CAF) kembali mengukuhkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia pada 2021. Pada 2018 Indonesia mendapatkan skor 59%, sedangkan pada 2021 skornya naik menjadi 69%, yang mengantarkan Indonesia pada peringkat tertinggi dalam World Giving Index sebagai negara dengan penduduk paling dermawan.
Hamid Abidin, Direktur Filantropi Indonesia, memaparkan keberhasilan Indonesia itu didukung beberapa factor, di antaranya karena kuatnya doktrin keberagamaan yang ada di Indonesia. Donasi yang berbasis pada doktrin agama, seperti zakat, infak, maupun sedekah, menjadi penggerak utama meningkatnya kegiatan filantropi yang ada di Indonesia. Di samping itu, perekonomian yang cenderung stabil, penggalangan dana via digital, serta keterlibatan influencer dalam hal ini juga ikut meningkatkan animo masyarakat dalam bersedekah.
Potensi keuangan dalam bidang filantropi di Indonesia ini sangat besar. ACT rata-rata per bulan berhasil mengumpulkan dana donasi sebesar Rp60 miliar. Angka itu fantastis jika bisa dikelola dengan baik dan dikembalikan manfaatnya secara maksimal kepada masyarakat. Sayangnya, kita belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur moral hazard para pengumpul donasi ini. Mereka bisa dengan leluasa mengatur dan memanfaatkan uang yang didapat dari masyarakat.
‘Agama adalah candu’, mungkin perkataan itu ada benarnya. Jauh sebelum Marx mengatakan hal itu, Ibnu Rusyd telah menyinggung hal tersebut. Berdagang dengan menggunakan agama ialah jualan paling menjanjikan keuntungannya. Di situ, banyak orang yang bisa ditipu dengan kedok agama, tinggal bungkus daganganmu dengan agama, orang-orang akan berbondong membelinya.
Filantropi dalam Islam
Tidak sulit untuk melacak jejak-jejak filantropi dalam Islam. Bahkan, banyak syariat dan hukum dalam Islam yang esensinya ialah implementasi dari filantropi itu sendiri. Sebut saja, zakat (Al-Baqarah (2) ayat 177), infak (Al-Baqarah ayat 270, At-Taubah (9) ayat 121, Al-Baqarah ayat 215), sedekah (At-Taubah ayat 60 dan 103), dan masih banyak lagi ayat terkait.
Seperti yang dikatakan Aria Nakissa dalam The Anthropology of Islamic Law, bahwa berbagai praktik syariat seperti sedekah dan zakat ialah justru melatih para pelakunya untuk tawadu (humility), bukan malah dipamerkan, atau untuk kepentingan duniawi diri sendiri. Karena semangat besar dan tujuan utama dari praktik syariat ini ialah untuk membantu mereka yang kurang mampu serta di dalamnya terdapat unsur kebaikan bersama.
Perbedaan mendasar dari zakat, infak, dan sedekah ialah yang disebutkan terakhir mempunyai makna yang lebih luas, praktik yang lebih luwes, dan dampak yang mungkin bisa lebih signifikan. Jika zakat dan infak mempunyai aturan yang rigid dan lebih berkaitan dengan materi, sedekah di samping mencakup yang materi juga yang nonmateri. Akan tetapi, justru mungkin karena keluwesan sedekah inilah yang kemudian membuka peluang untuk diselewengkan.
Lalu, bolehkan para pengumpul donasi itu mengambil bagian dari uang sedekah tersebut? Muhammad Taqi Al-Utsmani dalam Qadhaya Fiqhiyyah Mu'ashirah memaparkan, kebolehan mengambil uang administrasi dalam sebuah transaksi jasa perbankan misalnya diperbolehkan, asalkan memang nilainya sepadan dengan nilai jasa yang berlaku. Uang jasa administrasi perbankan bukanlah uang yang diminta dan menjadi syarat dalam pemberian utang yang dilarang, melainkan uang jasa administratif dan operasional.
Hal tersebut seperti halnya dalam kasus seseorang mufti atau lembaga fatwa, boleh meminta uang jasa administratif pengganti untuk mengeluarkan dokumen atau surat-surat penting yang diperlukan dalam lembaga fatwa. Yang tidak boleh ialah mengambil atau meminta uang kepada si peminta fatwa dalam rangka menjawab fatwanya, begitu kata al-Hashkafiy dalam Al-Rad Al-Mukhtar.
Besaran jasa yang diambil juga bisa tidak sama, bergantung pada nilai transaksi dan expertise yang dimiliki seseorang. Meski begitu, Ibnu Abidin mengomentari bahwa besaran yang diambil tersebut tetap haruslah sesuai dengan besaran yang berlaku bagi sesamanya saat itu (tsaman al-mitsl) dan tentunya tidak boleh memberatkan.
Fiqih prioritas (Fiqh Aulawiyyat) sebagaimana yang disampaikan Yusuf Qardawi harus ditegaskan kembali, yakni urusan yang menyangkut masyarakat harus menjadi prioritas daripada urusan yang berkaitan dengan Tuhan. Yang berkaitan dengan hajat banyak orang harus didahulukan dan mengakhirkan persoalan yang berhubungan dengan personal.
Langkah preventif
Apa yang bisa kita lakukan melihat fenomena itu? Setidaknya ada dua langkah penting yang mendesak untuk segera kita laksanakan. Pertama, dengan melakukan pengawasan dan audit terhadap lembaga amal dan filantropi. Mendesak mereka untuk melakukan audit terbuka karena masyarakat ialah pemberi sumbangan yang mereka kelola. Jadi, masyarakat juga berhak untuk mengetahui akuntabilitas keuangan yang ada. Setidaknya PPATK bisa mengambil peran di sini.
Kedua, mendesak pemerintah untuk membuat regulasi yang mengatur dan membatasi penggunaan lembaga filantropi dalam mengelola keuangan umat tersebut. Selama ini, kita mempunyai aturan lawas, yaitu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1980, yang isinya ialah pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan, maksimal bisa mengambil 10% dari hasil yang terkumpul.
Undang-undang itu hanya mengatur regulasi perizinan dan operasional pengelola sumbangan. Belum mengatur akuntabilitas dan sanksi yang diterapkan jika terjadi penyimpangan. Maka, diperlukan regulasi detail yang mengatur dan memberikan ancaman hukuman bagi yang melakukan pelanggaran.
Meskipun seperti itu, esensi sebuah ketulusan dalam filantropi juga tak boleh dikesampingkan. Jalaluddin Rumi berkata, coemertlik ve yardim etmede akarsu gibi ol, menjadilah pemurah dan menolong sesama bagai sungai, yang memberikan kesegaran dan pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkan. Air sungai mengalir dari hulu (pemberi) ke hilir (penerima) tanpa henti dan tanpa pamrih. Hulu memang tidak pernah bertemu hilir, tetapi hulu tak pernah berhenti memberi ke hilir.