12 August 2022, 05:00 WIB

Lesson Learned Problem dan Solusi Stunting di Indonesia Timur


Ali Khomsan Guru Besar Pangan dan Gizi IPB |

LEBIH dari seperempat balita di kawasan Indonesia timur menderita stunting. Potret buram masalah gizi ini terungkap jelas dalam Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021. Dengan prevalensi stunting (anak pendek) sebesar 37,8%, NTT menjadi provinsi dengan problem stunting
tertinggi di Indonesia. Provinsi di Indonesia Timur dengan prevalensi stunting lebih dari 25% selain NTT adalah: NTB (31,4%), Papua (29,5%), Maluku (28,7%),Maluku Utara (27,5%), dan Papua Barat (26,2%).

Kunjungan saya ke Kabupaten Sumba Barat Daya NTT (Juli 2022) membuka mata bahwa banyakpihak yang sebenarnya menaruh perhatian untuk mengentaskanproblem gizi yang dihadapi anakanak balita di NTT. Ada 7 dari 22 kabupaten di NTT dengan angka stuntinglebih dari 40%, yaitu Rote Ndao (40,1%), Kupang (40,4%), Manggarai Timur (42,9%), Sumba Barat Daya (44,0%), Alor (44,8%), Timor Tengah Utara (46,7%), dan Timor Tengah Selatan (48,3%). Persoalan gizi lainnya adalah underweight (gizi kurang) dengan prevalensi di seluruh NTT 29,3%.


Kompleks

Di NTT, problem sosial-ekonomi dan sumber daya alam sungguh kompleks. Semuanya berkelindan dan membelit masyarakat seperti kemiskinan, laju pertumbuhan ekonomi yang lamban, rendahnya derajat kesehatan, dan ketidaksuburan lahan akibat curah hujan rendah. Kemiskinan tentu bukan hanya problem masyarakat NTT karena di provinsi-provinsi lain kemiskinan juga masih menjadi persoalan yang sulit diatasi. Hanya, angka kemiskinan di NTT sangat tinggi, yakni 20,44% di tahun 2021 atau dua kali lipat angka kemiskinan nasional.

Kemiskinan menyebabkan terkendalanya akses pangan masyarakat. Selain itu, kemiskinan juga menyebabkan masyarakat sulit meraih pendidikan yang tinggi sehingga kualitas hidup menjadi rendah. Terkait pemenuhan kebutuhan pokok, yakni pangan, maka kemiskinan seringkali menjadi pemicu masalah gizi karena rumah tangga tidak dapat membeli pangan bermutu seperti pangan hewani (telur, susu, daging, dan ikan).

BPS telah menetapkan tiga indikator kemiskinan, yaitu pertama Headcount Index, kedua indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index), dan ketiga, indeks keparahan kemiskinan (Poverty Severity Index). Headcount Index terdiri atas dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan nonmakanan; batas pengeluaran minimum untuk konsumsi makanan setara dengan 2.100 Kalori per hari.

Persoalan pangan, dan kesehatan yang kompleks dan memicu masalah gizi menyebabkan NTT menghadapi problem besar yang memerlukan strategi khusus untuk penanganannya. Sumba Foundation ialah sebuah LSM yang didirikan pada 2001, dengan fokus kegiatan perbaikan masalah kesehatan dan sosial untuk meringankan beban kemiskinan masyarakat Sumba di NTT.

Sejak 2008, Sumba Foundation telah berkiprah dalam perbaikan gizi masyarakat dengan memberikan bantuan pangan berupa telur, susu, dan kacang ijo dengan lama intervensi 2-8 bulan.

Hasilnya, sangat prospektif untuk menjadi model penanganan masalah gizi. Angka gizi buruk turun dari 42,1% menjadi 4,2% dan gizi normal naik dari 13,6% menjadi 68,0% dari total 1.579 anak balita yang diberi intervensi.

Sumba Foundation telah menggandeng kerja sama dengan pihak swasta seperti PT Nestle Indonesia. Langkah PT Nestle terlibat dalam supplemental feeding intervention di Sumba NTT ini dapat diikuti perusahaanperusahaan lain di Indonesia, untuk mengalokasikan dana CSR (corporate  social responsibility) di bidang perbaikan gizi masyarakat. Dalam kiprahnya mengatasi masalah gizi, Sumba Foundation bergandengan tangan dengan tenaga-tenaga kesehatan di puskesmas setempat, kader gizi posyandu, serta PKK. Kehadiran saya di NTT, sebagai akademisi yang memberikan edukasi gizi bagi masyarakat, tenaga pelaksana gizi, dan pemangku kepentingan lainnya.

Konsep pentahelix, secara tidak langsung telah diterapkan dalam kegiatan-kegiatan Sumba Foundation yang menggabungkan peran akademisi, badan usaha (bisnis), komunitas, pemerintah (pemda), dan media. Dengan menggaungkan problem gizi di NTT melalui mediamassa, berbagai potensi yang dimiliki unsur pentahelix akan bersinergi untuk membantu masyarakat NTT terbebas dari masalah gizi. Pentahelix di bidang gizi masyarakat antara lain bisa diarahkan untuk mengembangkan intervensi perbaikan gizi berbasis pangan, yang memiliki daya ungkit signifikan untuk mengatasi masalah gizi anak-anak balita dan kelompok rawan lainnya.


Upaya percepatan

Meski pemerintah telah menugaskan 23 kementerian/lembaga, untuk melaksanakan intervensi spesifik dan sensitif untuk mengatasi masalah gizi (stunting), tetapi dengan melibatkan sektor swasta upaya percepatan mengentaskan problem gizi masyarakat akan lebih mudah terwujud. Perusahaan swasta umumnya memiliki dana CSR, yang dapat dialokasikan untuk membantu program pemberdayaan masyarakat, penanganan masalah gizi dan kesehatan, serta kegiatan yang bersifat income generating untuk mendukung kesejahteraan masyarakat kurang mampu.

Peran CSR dalam perbaikan gizi masyarakat dapat dilakukan dalam beberapa komitmen. Pertama, CSR bersinergi dengan perguruan tinggi melaksanakan pengabdian pada masyarakat bidang gizi. SDM di perguruan tinggi, yaitu dosen dan mahasiswa, tentu akan bersemangat melaksanakan pengabdian pada masyarakat bertema perbaikan gizi, termasuk dalam kegiatan KKN atau praktik lapang.

Kedua, CSR menggandeng LSM yang berdedikasi untuk programprogram kemasyarakatan. Kerja sama CSR dan LSM tidak bisa berlepas diri dari peran pemda. Pemda, dengan data-data yang dimilikinya tentu lebih paham akan problem kemasyarakatan di daerahnya. Dalam hal masalah gizi balita, data stunting dan gizi buruk dari level desa, kecamatan, kabupaten, sampai provinsi semuanya ada di tangan pemda.

Ketiga, CSR menyediakan dana pendamping anggaran pemda dalam rangka mendukung program pengentasan masalah gizi. Setiap tahun, dana CSR masuk ke pemda dan program-program yang telah disepakati kedua belah pihak (CSR-pemda) dilaksanakan secara bersamasama. Ini cocok untuk CSR yang bergerak di sektor pertambangan karena lokasi pelaksanaan kegiatan pembangunan masyarakat biasanya berdekatan (ring 1, ring 2 dst.) dengan wilayah operasional tambang. Model kerja sama CSR-pemda seperti ini, juga menjamin bahwa masyarakat sekitar tambang menerima manfaat akibat keberadaan tambang di daerahnya.

Intervensi gizi dengan food-based approach, seperti dilakukan Sumba Foundation di NTT, dapat menjadi model yang baik untuk pengentasan problem gizi di kawasan timur Indonesia. Selain itu, menerapkan pendekatan pentahelix diharapkan mampu mempercepat solusi masalah gizi, yang hingga kini masih merupakan PR yang belum selesai. Sinergi pemerintah, swasta dan LSM di dalam memutus mata rantai
stunting akan berjalan efektif, manakala perbaikan gizi dilakukan secara berkesinambungan, dengan memperhatikan faktor-faktor determinan seperti kemiskinan, pengetahuan masyarakat, dan aspek sosial budaya lainnya.

BERITA TERKAIT